Gudeg.net.– “Kalau Ayah-ayah kami ke lautan akan memanggil angin. Di sana kami menyebut angin dengan sangai. Jika Anda datang ke Labuan Bajo dan berkata ‘sangai... sangai...’, angin itupun akan datang.”
Kalimat tersebut disampaikan musisi Ivan Nestorman saat tampil di Jazz Mben Senen – Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Senin (22/5) malam.
Malam itu berkolaborasi dengan beberapa musisi, Ivan menampilkan dua repertoar yang diciptakannya ‘Sangai’ dan ‘Mogi Ee’. Sangai yang bercerita tentang ritual memanggil angin yang banyak dilakukan oleh nelayan di Manggarai-Flores, Nusa Tenggara Timur sesaat sebelum melaut. Repertoar Sangai dibawakan Ivan bersama musisi-aranger senior Andi Bayou.
Pada repertoar ‘Mogi Ee’ dua musisi lainnya bergabung bersama Ivan dan Andy yakni Gilang Ramadhan (drummer) dan Danny Eriawan Wibowo (bassist). Sebagaimana perhelatan Jazz Mben Senen, keempat musisi melakukan jamming tanpa persiapan panjang.
“Ini tidak direncanakan. Kebetulan Ivan sedang di Yogyakarta dan Gilang lagi ke Solo. Andy Bayou berinisiatif menghubungi keduanya untuk jamming di Jazz Mben Senen. Dan dalam waktu bersamaan dari Erasmus Huis sendiri ada kerja bareng dengan WartaJazz. Ya sudah... akhirnya dikolaborasikan dalam acara Jazz Mben Senen.” jelas Ajie Wartono dari WartaJazz yang merupakan salah satu penggagas Jazz Mben Senen saat ditemui Gudeg.net Senin (22/5) malam.
Program Erasmus Huis dengan WartaJazz sendiri berlangsung di tiga kota Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Ajie menjelaskan kali ini Erasmus Huis membawa musisi-sastrawan Robin Block berkolaborasi dengan beberapa pemain musik dari Indonesia.
“Sebagian pemain musik yang berkolaborasi dengan Robin Block berasal dari Bali. Seperti program-program Erasmus Huis yang lalu, mereka membuat workshop bersama terlebih dahulu tentang karya apa saja, bagaimana bentuk kolaborasinya dan seterusnya yang akan ditampilkan di tiga kota.” imbuh Ajie.
Robin Block adalah musisi sekaligus berkarya sastra dalam bentuk puisi. Dalam bermusik warna pop ballad mendominasi karya-karyanya. Bisa dipahami dengan gaya bertutur itulah karya puisi bisa lebih mengena ketika dijadikan sebagai lirik sebuah lagu.
Melansir dari laman situsnya, hingga saat ini musisi berusia 43 tahun dari Amsterdam ini telah merilis 5 album Comfort Zones (2012), Lagu Rindu (2018), WOLKEN (2019), Zo Zeg Je Geen Gedag (2019), Lost Tracks (2020). Saat tampil di Jazz Mben Senen Senin (22/5) malam selama hampir satu jam memainkan lagu-lagunya dari kelima album termasuk lagu berbahasa Indonesia.
Pada tahun 2004 Robin memenangkan Festina Poëzieslag, Poetry Slam Rotterdam dan setahun kemudian dia menjadi finalis di Kejuaraan Poetry Slam Belanda. Pada tahun 2005 ia menerbitkan koleksi debutnya Bestialen dalam serial puisi terkenal De Windroos. Beberapa puisi dari kumpulan ini telah dimasukkan ke dalam antologi, termasuk karya Gerrit Komrij. Tahun 2019 Robin menerbitkan kumpulan puisi Di Antara bersama Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) yang ia tulis bersama penulis Indonesia Angelina Enny. Puisi-puisi tersebut diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Pada tahun 2023 kumpulan puisi barunya Manual for Displaced Persons akan diterbitkan oleh Atlas-Contact.
Ivan Nestorman (gitar) saat jamming session dengan Danny Eriawan (bass), Andy Bayou (keyboard) dan Gilang Ramadhan (drum) di Jazz Mben Senen, – Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Senin (22/5) malam. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Diluar musik dan sastra puisi, Robin juga bermain teater. Sebagai seniman teater, Robin mendirikan grup teater musik Amsterdam Project Wildeman, dan sempat memenangkan Jur Naessens Muziekprijs pada tahun 2010 untuk grup interdisipliner paling inovatif. Project Wildeman dimainkan di berbagai panggung dan festival di Belanda dan luar negeri, seperti Operadagen Rotterdam, Neuköllner Oper Berlin dan Festival Aurillac.
Menarik ketika Robin membuat album Lagu Rindu dalam Bahasa Indonesia. Dari garis bapaknya mengalir darah orang Indonesia yang pergi ke Belanda saat Indonesia dalam kecamuk perang kemerdekaan. Hampir 70 tahun kemudian, dengan berbekal foto lama dan setengah dari alamat yang dia punya, dia memulai perjalanan menuju negara yang sebelumnya hanya ada dalam imajinasinya : Indonesia. Robin mencari jejak kakek-neneknya menyeberangi lautan kembali ke Indonesia, mencari akarnya, dan keluarga yang hilang. Perjalanan tersebut dituangkan Robin dalam projek storytelling performance berjudul Samudra.
Dua lagu dalam album Lagu Rindu berjudul ‘Aku kan Pulang’ dan ‘Kau Pergi’ menjadi pengobat kerinduan Robin pada tanah kelahiran kakek-neneknya.
Setelah tampil di Yogyakarta, Robin Block akan tampil lagi di Surabaya pada Sabtu (27/5).
Kirim Komentar