Gudeg.net – “Ada sepuluh karya (yang disayat dengan cutter). Karya lama tahun 2018-2019, pelan-pelan saya respons kembali sejak tahun 2020 dengan jahit tangan agar (setidaknya) tidak bertambah kerusakannya. Tiga karya saya sertakan dalam pameran tunggal ini melengkapi karya-karya terbaru.”
Penjelasan tersebut disampaikan perempuan perupa muda Oktaviyani kepada Gudeg.net saat pembukaan pameran tunggal perdananya di RuangDalam art house, Rabu (24/5) sore. Delapan belas lukisan dan satu karya tiga matra dipresentasikan Yani dalam tajuk “Matayani”.
Pameran dibuka oleh perupa Ugo Untoro. Dalam sambutannya Ugo menyampaikan bagaimana traumatik bisa muncul dari banyak kejadian termasuk perundungan salah satunya dengan mencontohkan bagaimana saat dirinya kuliah di Gampingan dimana perundungan itu secara langsung ataupun tidak langsung justru menjadi faktor perekat dan pendekat diantara kita dan terbawa hingga saat ini.
The Savior – cat minyak di atas kanvas – 150 cm x 200 cm – Oktaviyani – 2023. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Saya tidak tahu seberapa besar dampak perundungan (antarteman) terjadi saat ini. Tentu berbeda dengan jaman saya dan kawan-kawan saat masih kuliah di Gampingan. Lebih dari itu, ada hikmah di balik peristiwa. (Peristiwa) yang dialami Yani memang berat (dan meninggalkan trauma). Namun dari peristiwa-peristiwa yang dialaminya saya berharap Yani bisa punya energi, kemauan yang besar, yang kuat untuk tidak (berhenti) di diksi visual semata. Sangat banyak yang bisa dirupakan dari peristiwa-peristiwa yang dialaminya.” papar Ugo Untoro saat membuka Pameran “Matayani”, Rabu (24/5) sore.
Karya pop art dengan citraan realis-surealis dunia mimpi (dreamland) yang menjadi kecenderungan seniman-perupa muda hari ini menjadi salah satu penanda proses kreatif karya Yani sejak masih duduk di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Padang sekira sepuluh tahunan lalu dan berlanjut hingga menyelesaikan studinya di Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta.
Selain citraan dreamland, ada fase penting dimana Yani melakukan eksperimen medium dengan memanfaatkan benang (thread) kedalam karyanya yang dilakukan sejak tahun 2016-an. Eksperimen tersebut menghasilkan karya lukisan yang diperluas secara dimensional, kontur-tekstur, maupun konteks-substansi karya. Ketika perupa banyak melalukan penumpukan warna demi warna dalam ketebalan tertentu untuk menghadirkan kontur-tekstur, Yani justru menghadirkan medium lain untuk membetuk kontur-tekstur dalam lukisannya. Dan pilihan benang menjadi menarik seolah menjadi pengganti arsiran garis yang menjadi elemen utama karya drawing.
Farewel in Tears (kiri/2022), Waiting (kanan/2022) – Oktaviyani. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Setelah menyelesaikan tugas akhirnya, tahun 2019 Yani mempersiapkan diri untuk pameran tunggal perdananya di Jakarta. Sepuluh karya lukisan ukuran sedang satu-dua meteran dreamland series dengan sentuhan benang telah dipersiapkan diantaranya Open Your Heart, Tell me a Story, Whisper of Heart, Moonchild.
Petaka datang saat orang yang dicintai dan diharapkan menjadi tambatan hidupnya justru menggagalkan rencana masa depan Yani setelah bersitegang dan merusak 10 karya yang dipersiapkan untuk pameran perdananya. Kesepuluh karya tersebut dirobek dengan sayatan menggunakan pisau cutter. Tak urung Yani harus berlari menyelamatkan diri untuk menghindari kejadian yang bisa membahayakan dirinya.
Karena peristiwa tersebut Yani harus menanggung banyak hal. Membayar denda pembatalan pameran di Jakarta kepada pihak galeri, rusaknya 10 karya lukisan terbarunya, dan lebih berat adalah trauma akibat peristiwa tersebut yang diakuinya masih membekas hingga saat ini. Peristiwa penyayatan yang merobek karya yang dipersiapkan sepenuh hati tersebut tentu tidak akan pernah hilang dalam ingatannya.
Pengunjung mencermati karya ‘Open Your Heart’. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Sejak itu Yani menarik diri dari dunia seni rupa dimana dalam sepuluh tahun terakhir Yani termasuk perupa muda yang aktif berproses kreatif dan mempresentasikan karya-karya terbarunya di berbagai pameran bersama baik di wilayah Yogyakarta maupun di luar.
Trauma tersebut menghantui Yani sehingga perempuan perupa muda tersebut seolah ditelan hiruk pikuk dunia seni rupa Yogyakarta yang tidak pernah sepi. Pandemi COVID-19 yang terjadi awal tahun 2020 dan mengharuskan setiap orang menjaga jarak dalam beraktivitas menjadi pintu lain Yani ‘menyembunyikan’ diri sekaligus menjadi berkah tersembunyi untuk mengobati perasaannya yang terluka. Blessing in disguise.
“Saat awal-awal pandemi itulah saya mulai lagi berkarya. Trauma? Tentu saja. Tapi hidup harus tetap saya jalani. Apapun keadaannya.” ucap Yani.
Empat belas dari delapan belas karya lukisan yang dipamerkan merupakan karya terbaru Yani. Satu karya lama berjudul Ask the Sky yang dibuat pada tahun 2016 dengan dominan warna gelap dan figur gadis menggendong kucing menjadi penjeda sejenak dan penjembatan pada karya terbarunya yang didominasi warna pastel cerah dan objek tunggal Arabella, figur rekaan seorang gadis imajiner yang dihadirkann Yani untuk diajak berdialog menggali lebih dalam lagi siapa diri Yani sebenarnya. Saat ini figur tunggal Arabella banyak mewarnai karya Yani.
Di ruang pamer yang sama, pada awal pandemi (Maret 2020) satu karya Yani berjudul Promises dengan citraan senada Ask the Sky turut dipamerkan dalam pameran “Mini Seksi #2”.
Pameran “Matayani" di RuangDalam art house berlangsung hingga 7 Juni 2023. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Sebuah karya tiga matra dalam medium cat akrilik-minyak di atas benang berjudul Secret Desire menjadi jeda sejenak berikutnya dimana karya-karya lukisan berkontur benang sebelumnya seolah dialihmediakan secara keseluruhan dalam karya tiga matra. Sebuah eksperimen yang menarik mengingat secara visual karya Yani lebih kuat dalam dua matra.
Sebagaimana disebutkan di awal tulisan, Yani mulai merestorasi karya yang rusak karena sayatan pisau cutter secara perlahan-lahan sejak tahun 2020. Pada titik ini sesungguhnya Yani dalam sebuah pertaruhan yang cukup berisiko mengingat karya yang ada di hadapannya tentu akan menghadirkan kembali trauma secara langsung. Ini bisa menjadi terapi atas trauma tersebut dengan menghadapinya secara langsung atau justru bisa menjadi bumerang manakala jebakan trauma itu begitu kuat membekas. Pertaruhannya antara membuka kembali ruang kreativitas di masa datang atau justru terjebak dalam trauma itu sendiri yang bisa memicu trauma-trauma baru.
Beruntungnya pandemi COVID membantu Yani dalam ‘kontemplasi’-nya menyusun serpihan-serpihan perjalanan kreatifnya dengan kembali merespons 10 karya yang tersayat sobek dengan beberapa metode. Beberapa karya dibiarkan begitu saja sobekan bekas sayatan tersebut, namun sebagian besar dijahit ulang secara manual dengan tangan menggunakan teknik tusuk flanel. Hasilnya adalah karya yang terlahir kembali dengan penanda yang menyimpan kisah, cerita, bahkan tragedi di sebaliknya. Lagi-lagi ini menjadi berkah tersembunyi bagi Yani.
Ask the Sky – cat minyak di atas kanvas – 50 cm x 100 cm – Oktaviyani – 2016. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Dua bola mata yang berbeda warna pada setiap pasang mata selalu hadir dalam figur yang dilukiskannya menjadi penanda lain karya Yani. Bisa jadi penanda tersebut sering terlewat dari pencermatan pengunjung. Yani tentu punya alasan tersendiri tentang bola mata itu.
Tiga karya lukisan tersayat yang telah diretus (retouch) dengan tusuk flanel berjudul Open Your Heart, Tell me a Story, Whisper of Heart dipajang dalam satu ruang tentu bukan sekedar pengingat semata bagi Yani. Tanda (marking) sobekan-sayatan yang hadir dalam karya tidak semata-mata menjadi artistik visual semata, namun ada estetika berikut tragedi yang menyertainya. Dalam kesatuan penyajian karya, sesungguhnya Yani sedang membacakan cerita perjalanan proses kreatifnya yang dituangkan dalam karya seni rupa.
Di ruang pamer RuangDalam art house, ‘Matayani’ menjadi dramatic reading Yani yang bisa membuka kesadaran bersama sekaligus membuka ruang dialog yang lain.
Ada pesan dalam bisikan lirih disampaikan Yani dalam satu karyanya. The Savior, karya berukuran 150 cm x 200 cm dalam medium cat minyak di atas kanvas yang dipajang di dinding utama secara citraan tidak begitu provokatif : gadis Arabella tiduran nyaman di antara lima ekor anak kucing, dan hamparan awan putih. Bisa jadi ini jeda sejenak Yani menatap masa depannya. Sebagai penyintas (survivor), ini bisa jadi pesan permintaan tolong dari Yani. Dan adalah kewajiban kita semua menemani siapapun mewujudkan dunia yang aman bagi siapapun.
Heal the world, Make it a better place, For you and for me, and the entire human race, There are people dying, if you care enough for the living. Make a better place for you and for me.
Ya... siapapun kita bisa menjadi penyelamat bagi kehidupan di sekitar kita.
Pameran "Matayani" berlangsung hingga 7 Juni 2023 di RuangDalam art house Jalan Kebayan, Gang Sawo No 55 Jeblog, Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul.
Kirim Komentar