Gudeg.net - Yogyakarta, Sabtu (27/5/2006) beberapa menit menjelang pukul 06.00 WIB sebuah guncangan besar dirasakan oleh seluruh warga Yogyakarta dalam rentang waktu yang cukup lama hampir satu menit.
Seluruh warga dicekam kepanikan dan ketakutan karena pada saat bersamaan Gunung Merapi sedang dalam status siaga erupsi.
Guncangan tersebut diikuti dengan matinya listrik dan jaringan telepon kabel-seluler sehingga warga kesulitan mendapat informasi yang valid saat kejadian tersebut. Praktis warga tidak tahu apakah gempa yang terjadi bersumber dari arah Gunung Merapi.
Kekacauan tersebut bertambah saat muncul spekalusi yang berkembang di masyarakat bahwa gempa bersumber dari arah Merapi sehingga warga Yogyakarta bagian utara berbondong-bondong menuju ke arah selatan, sementara warga dari Yogyakarta yang merasakan langsung akibat runtuhnya banyak rumah berlari ke arah utara untuk menyelamatkan diri. Keadaan semakin kacau manakala kabar burung yang begitu cepat tersebar menyebutkan bahwa tsunami telah menerjang selatan Yogyakarta.
Belakangan hari diketahui bahwa gempa berkekuatan 5.9 SR selama 57 detik tersebut bersumber pada sesar aktif Opak, patahan aktif yang membentang di wilayah Yogyakarta.
Karya foto program mitigasi-edukasi kebencanaan dan simulasi tanggap bencana. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Bencana adalah fenomena alam yang akan terus terjadi. Berada di lintasan garis katulistiwa dan kawasan ring of fire, potensi bencana mengintai penduduk Indonesia sepanjang tahun. Indonesia memiliki iklim tropis yang ditandai adanya musim penghujan dan musim kemarau, ribuan pulau yang tersebar dari Merauke hingga Sabang, dari pulau Miangas hingga pulau Rote ndao, ratusan gunung berapi, hamparan hutan dengan segala potensi sumberdaya alam (SDA) baik hayati maupun non-hayati serta sungai-sungai besar di dalamnya; kesemuanya itu merupakan potensi SDA yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi untuk dikembangkan.
Ring of Fire merujuk pada sebutan Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik yang merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik dunia yakni Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Wilayah dalam kawasan Ring of Fire rawan dilanda bencana seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, hingga tsunami.
Mengenali potensi di sekitar kita dan menakar kesiapan menghadapi bencana alam
Potensi bencana alam di Indonesia secara umum bisa dipetakan dalam dua hal : bencana yang bisa diperkirakan (predictable disaster) serta bencana alam yang tidak bisa diperkirakan (unpredictable disaster). Bencana alam yang bisa diperkirakan biasa terjadi akibat ketidakmampuan daya dukung lingkungan atas aktivitas manusia di atasnya. Penyebabnya bisa beragam mulai dari eksploitasi sumberdaya alam lingkungan yang berlebihan sehingga menurunkan daya dukung-tampung lingkungan yang pada akhirnya berdampak pada munculnya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, dan seterusnya, termasuk perubahan iklim (climate changes).
Sementara bencana alam yang tidak bisa diperkirakan merupakan konsekuensi logis dari bumi yang terus bergerak dan berputar. Diantaranya adalah badai dan gempa bumi. Munculnya badai merupakan proses alam yang belum bisa diprediksi kehadirannya, namun masih bisa diantisipasi secara dini saat bencana badai tersebut mulai menampakkan tanda-tandanya. Berbeda dengan gempa dimana sampai saat ini belum ditemukan teknologi yang bisa memprediksi kapan datangnya.
Kesadaran hidup di wilayah rawan bencana dengan segala potensinya adalah modal awal bagi bangsa Indonesia untuk bisa secara damai berdampingan hidup dengan potensi bencana yang ada. Begitupun bagi masyarakat di wilayah Yogyakarta.
Pewarta foto Dwi Oblo (tengah) berbincang dengan pengunjung saat pembukaan pameran “Kilas Pitulas”, Jumat (26/5) sore. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Sejak bencana tsunami di Aceh pada tahun 2004, negara-pemerintah Indonesia sudah mulai serius berbenah dalam menangani bencana yang terjadi di tanah air. Salah satunya dengan pembentukan badan negara setingkat kementerian yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2008 diikuti dengan pembentukan satuan di tingkat provinsi dan kabupaten (Badan Penanggulangan Bencana Daerah-BPBD). Adanya pembentukan badan tersebut secara signifikan meningkatkan kesiapan warga dalam menghadapi bencana yang terjadi.
Mengutip dari laman BNPB, manajemen kebencanaan terbagi dalam tiga kategori. Pertama, Manajemen Risiko Bencana adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang mengurangi risiko secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada saat sebelum terjadinya bencana. Kedua, Manajemen Kedaruratan. Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan korban serta penanganan pengungsi secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada saat terjadinya bencana.
Ketiga Manajemen Pemulihan. Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh setelah terjadinya bencana.
Karya foto jurnalistik “Membantu Orang Tua”, (3/6/2006) - Dwi Oblo. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Saat tidak sedang terjadi kejadian bencana, seluruh pihak harus tetap siaga-waspada. Di sinilah perlunya pemahaman bersama terhadap manajemen risiko bagi seluruh pihak utamanya masyarakat luas yang kerap terdampak langsung bahkan menjadi korban bencana manakala ketidaktahuan, kepanikan, minimnya pengetahuan hidup dalam wilayah yang memiliki potensi bencana yang mengintai setiap saat.
Mengenang bencana gempa Yogyakarta 2006 yang menelan korban diatas 6.000 jiwa meninggal dunia dan puluhan ribu mengungsi, Sembilan jurnalis foto dari pewarta Foto Indonesia (PFI) Yogyakarta memamerkan 59 karya foto-foto peristiwa masa Tanggap Darurat dan Mitigasi Gempa Yogyakarta 2006 di berbagai tempat di Yogyakarta dan sekitarnya.
Kesembilan pewarta foto tersebut adalah Dwi Oblo, Wawan H Prabowo, Pamungkas WS, Tarko Sudarno, Surya Adi Lesmana, Guntur Aga Tirtana, Desi Suryanto, Fergata Indra Riatmoko, Andreas Fitri Atmoko.
Pameran foto jurnalistik bertajuk “Kilas Pitulas” dihelat di Warung Mie ayam dan Bakso Dhongso, Jalan Tegal Melati, Waras, Sariharjo, Ngaglik, Sleman.
Seorang pengunjung sedang mengamati foto “Sultan Menemui Demonstran” karya Wawan H Prabowo pada pameran foto jurnalistik “Kilas Pitulas”. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Sebanyak 59 karya foto anggota PFI Yogyakarta tentang bencana gempa, pascabencana gempa, dan juga potret terkini masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana gempa bisa disaksikan oleh masyarakat umum mulai tanggal 26 Mei hingga 2 Juni 2023.
Keseluruhan karya foto dicetak di atas kain dalam ukuran yang relatif besar berbentuk rontek (round tag) sehingga bisa dilihat secara detail oleh pengunjung. Secara umum pemajangan karya terbagi menjadi dua. Di bagian pendopo dipajang karya foto tanggap darurat yang menampilkan citraan kerusakan bangunan, kondisi pengungsi dan tempat pengungsiannya, evakuasi dan penanganan korban, distribusi bantuan logistik dan obat-obatan, hingga relokasi sementara korban gempa.
Sementara pada sebuah bangunan berbentuk kandang sapi yang ada di Warung Dhongso dipajang karya foto berkaitan dengan mitigasi bencana gempa mulai dari edukasi kebencanaan pada pelajar hingga program simulasi tanggap darurat saat terjadi bencana.
“Untuk mengingatkan kembali bahwa tujuh belas tahun lalu pernah terjadi gempa besar di wilayah Yogyakarta yang menelan ribuan korban jiwa. Semoga ini bisa menjadi bagian mitigasi bencana gempa di masa datang bagi masyarakat Yogyakarta yang berada di atas patahan Sesar Opak untuk selalu tetap siap siaga.” jelas Ketua panitia pameran ‘Kilas Pitulas’ Aka Rahman kepada Gudeg.net, Jumat (26/5) sore.
Rahman menambahkan bahwa pameran ini tidak semata-mata untuk membuka kenangan pahit duka para korban dan keluarga, namun melalui pameran foto jurnalistik “Kilas Pitulas” tersebut PFI Yogyakarta berharap bisa mengajak masyarakat untuk menjaga kesadaran tentang risiko bencana gempa, merawat memori kolektif akan bencana gempa, dan juga melihat ketangguhan masyarakat saat menghadapi bencana gempa.
Belajar dari pengalaman berbagai bencana alam yang pernah melanda wilayah Yogyakarta mulai dari kekeringan, banjir, luncuran awan panas dan banjir lahar dingin dari erupsi Gunung Merapi, terjangan angin puting beliung, serta berbagai bencana alam lainnya pendekatan kuratif penanganan bencana melalui edukasi manajemen risiko bencana harus terus dilakukan sepanjang waktu kepada seluruh warga.
Mitigasi bencana salah satunya. Mitigasi bencana yang merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana; kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Penangangan bencana tidak bisa berdiri sendiri. Saat BNPB-BPBD menjadi ujung tombak, pihak-pihak lain bisa mengisi celah-celah kosong untuk menutup kerja kemanusiaan agar bisa berjalan secara efektif-efisien dan cepat.
Kirim Komentar