Gudeg.net – Sembilan lukisan dalam citraan ekspresionis dengan sapuan cat akrilik di atas kanvas berbagai ukuran dari seniman-perupa Riduan dipresentasikan di Indieart house. Pameran tunggal yang mengangkat tajuk “AlterScape” dibuka oleh kolektor karya seni Oei Hong Djien, Kamis (3/8) sore.
Lukisan tanpa objek figur manusia menjadi kecenderungan Riduan dalam banyak karyanya. Dan ini menjadi jalan metafora Riduan membahasakan realitas yang ditemuinya kedalam citraan lukisan. Sumbernya bisa dari apa yang dilihat, didengar dalam kesehariannya atau justru imajinasi dari apa yang dirasakannya.
Kolektor karya seni Oei Hong Djien berada di antara dua karya Riduan : Sound of Nature #2 (kiri) dan Flow #2 (kanan), Kamis (3/8) sore. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Dua tulisan pengantar pameran memberikan perspektif yang berbeda dari pameran tunggal Riduan bertajuk ‘AlterScape’. Dalam pengantarnya, pelukis Dedy Sufriadi menekankan pada pilihan gaya (teknik, inspirasi ide, proses berkreativitas) Riduan dalam karya terbarunya ditengah perkembangan teknologi dan informasi yang begitu masif berikut konsekuensi yang menyertainya, sementara Janu PU lebih melihat kecenderungan Riduan dalam mengekspresikan perasaan kedalam karyanya.
Dalam catatannya Janu PU menuliskan “...bagi Riduan, AlterScape adalah sebuah solusi dengan menciptakan ruang imajiner untuk sejenak beristirahat dari keriuhan dan rutinitas yang kadang terasa mengurung. Dirinya sadar bahwa tidak mungkin mengubah realitas hidup secara luas. Ikatan tidak benar-benar bisa dilepaskan, sisi sosialnya membutuhkan hubungan tersebut. Begitu juga hiruk-pikuk tak bisa diingkari, karena telah menjadi bagian diri...”
Dunia tanpa manusia. Apa jadinya? Kesan tersebut langsung menyeruak saat memasuki ruang pamer Indieart house. Sebuah lukisan dalam citraan gradasi warna biru-putih berukuran 180 cm x 250 cm berjudul ‘Flow #1’. Meskipun bukan di dinding utama, karya tersebut menjadi magnet awal bagi pengunjung untuk mendekat. Sebuah perahu kayu tanpa penumpang di tengah gelombang yang siap menggulung.
Saat hendak mendekati karya ‘Flow #1’, tiga lukisan justru akan menahan pengunjung untuk tidak sekedar berhenti sejenak. Diawali dengan ‘Gathering Point #1’ dalam ukuran 180 cm x 180 cm, berikutnya ‘Mindscape’ berukuran 150 cm x 150 cm, serta ‘Sound of Nature #2’ yang berdampingan dengan ‘Flow #1’. Dalam tata letak demikian seolah Riduan sedang menyampaikan pesan suara alam : kota-kota yang hingar bingar dengan interaksi mekanis antarmanusianya, keheningan dan kedamaian yang hanya hadir dalam pikiran manusia, dan berhenti pada sebuah perahu tanpa penumpang yang diombang-ambingkan ombak. Tanpa manusia, masih adakah drama-tragedi kemanusiaan?
Pengunjung sedang menikmati karya Riduan : Gathering Point #1 (kiri), Mindscape (kanan). (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Ini seolah mengulang pertanyaan retoris yang kerap dilontarkan banyak pihak tentang artistika-estetika. Ketika sudah tidak ada satu manusia pun di alam raya ini, masih adakah daya artistika-estetika pada sebuah karya masterpiece sekalipun? Tentu jawabannya bisa beragam.
Memotret kerusakan lingkungan dengan dampak yang dirasakan manusia akibat deforestasi, alih fungsi lahan menjadi salah satu eksplorasi Riduan dalam karya-karyanya. Di berbagai karya film banyak menawarkan wacana tentang dampak bencana tersebut. Sebutlah Water World, The Day After Tomorrow, Bird Box, I’m the Legend, ataupun IO. Yang agak terbaru adalah film Monster Hunter yang mengisahkan drama perebutan sisa-sisa teknologi masa lalu untuk keberlanjutan masa depan manusia.
Tentang dampak dari sebuah bencana, banyak ahli mengingatkan untuk melakukan mitigasi sebagai upaya preventif sebelum bencana tersebut datang. Kemampuan daya dukung-tampung lingkungan yang semakin menurun menjadi indikasi penyebab terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim pada gilirannya akan berujung pada bencana alam yang lebih besar akibat ketidakstabilan iklim pada kawasan yang lebih luas lagi.
Meski begitu, banyak pula ahli yang meyakini bahwa alam memiliki mekanisme untuk menyembuhkan dirinya sendiri seberat apapun eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan manusia sehingga dunia akan baik-baik saja. Dua pandangan yang saling berhadapan tersebut jika ditarik benang merahnya berujung pada penguasaan sumberdaya alam dimana kelompok kedua berkeyakinan bahwa perkembangan teknologi akan bisa membantu bumi menyembuhkan dirinya, dan sumberdaya alam tersedia sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Begitu Anda mendekat pada karya ‘Flow #1’, hamparan lautan itu seakan berubah. Perahu tersebut seolah terdampar pada daratan dalam warna hitam-biru. Pada daratan, warna tersebut identik dengan sebuah kawasan yang tercemar limbah beracun. Sebuah pemandangan yang mematikan.
Flow #2 – cat akrilik di atas kanvas – Ø 120 cm – Riduan – 2023. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Lima karya berikutnya Riduan lebih banyak memperbincangkan metafora dalam karya ‘Relung #1’, ‘Song of Nature #1’, ‘Sound of Nature #1’, ‘Slide’, ‘Flow #2’. Keseluruhan karya dalam ukuran yang relatif besar diatas 100 cm.
“Energinya sama saja untuk menghasilkan karya kecil-sedang maupun besar. Karya-karya terakhir saya memang banyak berdimensi besar.” ujar Riduan kepada Gudeg.net saat pembukaan pameran, Kamis (3/8) sore.
Meskipun secara citraan tidak terlalu berbeda, ukuran karya Riduan yang relatif kecil (kurang dari 100 cm) diakui beberapa pengunjung lebih memunculkan impresi yang berbeda. Bisa dipahami, karya kecil kerap memunculkan drama-tragedi tersendiri bagi audiens terkait dengan keseluruhan kesatuan karya saat menikmati dalam jarak yang dekat. Tentu ini preferensi masing-masing penikmat karya seni.
Metafora atas kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia menjadi poin tersendiri dalam karya Riduan. Jejak tersebut bisa dilihat dari karya-karya sebelumnya diantaranya ‘Marginal #1-2’ dan ‘Menu Utama’ yang dipamerkan di Jogja Gallery empat tahun lalu ataupun Ketika Musim Tiba (New Urban Series) yang dipamerkan lima tahun lalu di Bale Banjar Sangkring dimana tarikan napas dalam tema yang ditawarkan masih seputar bahwa dunia tidak sedang baik-baik saja terkait kerusakan, bencana alam, ketidakseimbangan ekologi yang berujung pada bencana kemanusiaan itu sendiri.
Apakah seni masih tetap menjadi indah ketika tidak ada satupun manusia tersisa akibat bencana itu sendiri? Setidaknya dari bencana alam di masa lalu kita bisa belajar banyak hal agar tidak terulang sekarang dan di masa datang. Awan panas piroklastik yang telah menghilangkan Kota Pompeii dengan segala peradabannya bisa diantisipasi lebih awal saat menerjang pada wilayah gunung berapi aktif salah satunya Gunung Merapi.
Sejarah mencatat runtuhnya peradaban bangsa-bangsa di dunia di masa lalu berawal dari rusaknya lingkungan sehingga tidak mampu mengakomodasi aktivitas dan kebutuhan manusia di atasnya.
Peradaban Maya yang hilang karena ketamakan dan keserakahan manusia akibat hilang dan rusaknya sistem pertanian pada peradaban bangsa Maya. Masalah politik dan lingkungan menjadi penyebab utama runtuhnya peradaban bangsa Maya. Runtuhnya peradaban bangsa-bangsa Mesopotamia ditengarai bermula dari rusaknya sistem irigasi yang digunakan di Mesopotamia yang menyebabkan erosi tanah pada lahan pertanian. Runtuhnya kekaisaran Akkadia di Mesopotamia akibat kekeringan berkepanjangan. Hingga saat ini, pangan dan sumberdaya energi masih menjadi perebutan bangsa di dunia sebagai akar konflik kemanusiaan itu sendiri.
Pengunjung sedang menikmati karya Riduan : Slide (kiri), Flow #2 (kanan). (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Peradaban Inca yang sempat berjaya dengan sistem pertaniannya runtuh pada abad ke-16 saat bangsa Spanyol menyerbu ke Amerika Selatan dan pada saat bersamaan membawa wabah cacar.
Secara spesifik Riduan tidak sedang merekam peristiwa kerusakan lingkungan tertentu meskipun dia hidup tidak jauh dari Sungai Musi yang juga menyimpan peradaban Sriwijaya yang pernah mengalami kejayaan di masa lalu. Dinamika sosial ataupun perubahan lingkungan sebagai inspirasi tema karyanya bisa terjadi kapanpun dan dimanapun.
Namun ada satu pertanyaan yang mungkin menggelayut saat menikmati karya Riduan sebagaimana menjadi tagline film The Day After Tomorrow 'Where You Will Be?’. Tanpa harus menengok jauh ke masa lalu, suka ataupun tidak realitas kerusakan lingkungan hari ini sudah ada di depan kita. Dan hari ini bumi tidak sedang baik-baik saja dengan bencana alam dimana-mana, bencana kemanusiaan, konflik kekuasaan, perlombaan persenjataan, kontestasi hegemoni akibat kerakusan, ketamakan, kesombongan, konflik kepentingan untuk golongannya yang berujung meniadakan sisi kemanusiaan itu sendiri. Ataukah kita memang memerlukan Alter(native)Scape untuk keberlanjutan peradaban manusia di masa datang?
Pameran tunggal Riduan bertajuk ‘AlterScape’ di IndieArt House Jalan AS-Samawaat No.99, Bekelan, Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul berlangsung hingga 12 Agustus 2023.
Kirim Komentar