Seni & Budaya

“Ceriwis Cawis : Gaweyane beres to?”, Djoko Pekik dalam Kenangan

Oleh : Moh. Jauhar al-Hakimi / Senin, 14 Agustus 2023 16:15
“Ceriwis Cawis : Gaweyane beres to?”, Djoko Pekik dalam Kenangan
Prosesi tutup peti mendiang Djoko Pekik sebelum diberangkatkan ke Pemakaman Seniman-budayawan Giri Sapto, Imogiri-Bantul, Sabtu (13/8) siang. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Gudeg.net – Pelukis senior Djoko Pekik yang dikenal publik dengan karya “Berburu Celeng” Sabtu (12/8) pagi meninggal dunia setelah mendapat perawatan di RS Panti Rapih Yogyakarta. Dunia seni rupa Indonesia berduka dan kehilangan salah satu seniman-pelukis yang menjadi saksi sekaligus korban sejarah perebutan tampuk kekuasaan di Indonesia.

Pengalaman getir-pahitnya berkesenian banyak dituangkan kedalam karyanya dan menjadi salah satu ciri khas lukisannya. Diluar kekaryaan, banyak hal ditinggalkan Djoko Pekik pada dunia seni rupa Indonesia khususnya Yogyakarta. Hal tersebut sering disampaikan kepada seniman yang lebih muda maupun publik dalam obrolan ringan tanpa pretensi menggurui. Lebih banyak menceritakan pengalaman yang dialaminya di masa lalu agar tidak dialami oleh seniman-perupa hari ini sekaligus memberikan semangat kepada mereka.

Seniman-perupa Yaksa Agus saat mengobrol santai dengan Djoko Pekik (kaos putih) pada pameran bertajuk “Krama Bingah”, Juli 2019. (Foto : Dokumen Yaksa Agus)

Salah satu pesan penting mendiang Djoko Pekik disampaikan saat pembukaan pameran Seninjong #1, Kamis (26 Mei 2016) "Jogja telah menjadi magnet seni rupa dunia. Bulan-bulan ini (Mei-Juni) raksasa magnet seni rupa itu ada di Jogja. Harapan saya, semoga seniman pemula/menengah maupun senior bisa saling bersatu. Tidak ada jegal menjegal. Terus bersatu dalam berkesenian.".

Pesan Djoko Pekik secara jelas disampaikan kepada seluruh insan seniman-perupa dimanapun bahwa energi positif berkesenian telah membentuk Yogyakarta menjadi sebuah rumah besar yang lengkap, pepak, dan enak. Ini yang harus dijaga.

Ditemui Gudeg.net saat persiapan pemberangkatan jenazah mendiang Djoko Pekik di Plataran Djoko Pekik, Minggu (13/8) siang, seniman-perupa Yaksa Agus menjelaskan banyak nasihat diberikan Djoko Pekik disampaikan dalam cerita dan obrolan ringan.

“Tanpa kita sadari Mbah Pekik memberikan wejangan kepada kita dalam cerita yang mungkin terlihat remeh saat itu. Namun saya seringnya menyadari nasihat/wejangan itu setelah beberapa waktu kemudian. Nanti saya ingat-ingat lagi. Setelah pulang dari Giri Sapto, malam nanti coba saya tulis, mas.” kata Yaksa kepada Gudeg.net, Minggu (13/8) siang.

Setelah disemayamkan satu malam di Plataran Djoko Pekik di Dukuh Sembungan-Bangunjiwo, Kasihan-Bantul, Minggu (13/8) siang jenazah Djoko Pekik dimakamkan di Pemakaman Seniman-Budayawan Giri Sapto, Imogiri-Bantul.

Margi kaswargan jati, Pak Pekik.

Berikut tulisan lengkap Yaksa Agus yang diterima Gudeg.net mengenang mendiang Djoko Pekik.

===

Ceriwis Cawis

Sebagai pemuda ceriwis banyak omong yang masih sekolah di SMSR kala itu, mungkin membuat pelukis Djoko Pekik risih.  Dan kemudian beliau melontarkan nasihat : "Ceriwis ki oleh, ning nek isa ya ceriwis cawis. Ora mung omong thok, ning ya isa nandang gawe ngrampungke gaweyan" (cerewet itu boleh, tetapi cerewet yang bisa menyelesaikan pekerjaan).

Nasihat tersebut saya dapat 30 tahun lalu, saat mengikuti lomba lukis Peringatan 1000 hari maestro Affandi. Ketika itu saya melukis di samping Pak Pekik yang juga terlibat melukis bersama pada acara tersebut.

Saat melukis bersama pada acara Takziah Pelepasan Jenazah Pelukis Djokopekik, Minggu, (13/8/2023) kemarin, mengingatkan suasana 30 tahun lalu, saat saya awal mengenal pelukis Djoko Pekik. Kala itu beliau sedang banyak dibicarakan setelah pameran tunggal keduanya di Taman budaya Surakarta (TBS) -sekarang menjadi Taman Budaya Jawa Tengah.

Konon, setiap hari rumah Djoko Pekik di Wirobrajan setiap malam selalu ada orang nongkrong di depan rumahnya. Tetapi di tahun-tahun awal 1990-an, sudah tidak seramai  sebelumnya. Kala itu, selain banyak pembicaraan plus dan minusnya Djoko Pekik mulai dari Pameran KIAS di Amerika kala itu, isu keterlibatan Sanggar Bumi Tarung dengan Lekra, begitu panas dibicarakan dan kemunculan Djoko Pekik dianggap sebagai bahaya laten.

Saya bisa ke rumah Djoko Pekik, kala itu hanya ketika disuruh pelukis senior, untuk mengantar undangan. Saat Nasirun, mendiang Nurcholis, dan mendiang Hardjiman mulai berpameran tunggal di tahun 1993-1994, saya mulai bisa berani berkunjung ke Studio Djoko Pekik, sebuah studio berbentuk gubug yang merupakan bekas tobong pembuatan batu bata.

Kalimat “Ceriwis Cawis” dijabarkan sejelas-jelasnya untuk membuka kesadaran berpikir saya saat itu. Nasihatnya diselipkan dalam cerita-cerita perjalanan hidupnya untuk menjadi pelukis kala itu. Untuk menjadi pelukis, Djoko Pekik melaluinya dengan perjalanan yang berat. Djoko Pekik menabung jasa dari membantu mengangkut karya hingga memajang karya saat kawan-kawannya berpameran. Saya menyaksikan sendiri secara langsung saat Djoko Pekik memasang lukisan di pameran KSRIY (Komite Kesetiakawan Senirupawan Indonesia Yogyakarta) yang diketuai Rais Rayan dan Hardjiman, atau mendisplay untuk pameran FKY dan Biennale kala itu.

"Saat menabung jasa  jangan berharap kelak kawan-kawanmu yang kamu bantu akan ganti membantumu, Jangan sakit hati kalau banyak yang lupa.", begitu seloroh Djoko Pekik suatu hari di saat saya sudah melakukan apa yang dinasihatkan beliau.

Dari sanalah ide-ide berkarya bisa dipetik, melihat kawan ‘salin srengat’ (berubah sikap) hanya karena pegang uang sedikit lebih. Dari situ kita bisa menertawai mereka dan diri sendiri, syukur-syukur bisa menjadi ide karya.

Pada pameran tunggal pertama saya di Bentara Budaya Yogyakarta (2000) ada obrolan menarik, lucu-konyol antara Djoko Pekik dan mendiang Hendro Suseno.

"Karyane Yekso saiki Posmo. ~Karya Yaksa sekarang posmo." komentar Djoko Pekik

Sing jelas lho, Posmo piye? ~ Kalau berkomentar yang jelas. Posmo itu bagaimana?" jawab Hendro Suseno

Antara seius dan bercanda Djoko Pekik menjawab "Posmo itu ya seperti karyane Yekso, lha kalau karyaku itu modern”. Guyonan dan bercanda ala Djoko Pekik, jika ditelaah sering kali melompat dari pakem yang berlaku. Mungkin sesungguhnya ketika itu Djoko Pekik sedang menyindir saya,  mengapa karya saya mengikuti gaya dan pendekatan pada seni kerakyatan kala itu.

Djoko Pekik bukan hanya banyak memberi inspirasi pada banyak  karya seni setelahnya, tetapi, juga orang yang loyal untuk memberi sumbangan/donasi. Mungkin saya cukup banyak meminta donasi pada beliau, dari kegiatan yang saya ampu sejak awal 1990 kala saya masih SMSR hingga sampai menjelang pandemi COVID 2020 kemarin.

Saya teringat, pada Agustus 2004 silam, saat saya bersama Agus Baqul  Purnomo akan membuat pameran kolaborasi dengan Kelompok Matahati (Bayu Utomo Radjikin, Ahmad Shukri Mohammed, Ahmad Fuad Osman, Hamir Sohib, Masnoor Ramli Mahmud ) dikuratori oleh Rain Rosidi, dan sedang mencari tempat pameran. Hendro Suseno lantas meminta saya  untuk menghubungi Djoko Pekik agar bisa pameran di Plataran-nya.

Djoko Pekik menyambut dengan gembira, karena pada 20 Mei 2004 beliau membuat “Pameran Reuni Bumi Tarung” di Plataran Djoko Pekik dengan ditambah beberapa seniman rekanan yang segenerasinya. Tepat setelah pameran reuni tersebut,  “Pameran Seni Rupa Halaman”,  dengan konsep environmental art yang kami buat digelar dengan lancar dan baik. Tidak hanya sebagai tempat pameran, tetapi fasilitas hingga konsumsi semua ditanggung Djoko Pekik. Yang tidak pernah terlupakan, kami diberi uang untuk membeli bahan bahan untuk membuat karya sekaligus merespons halaman Plataran Djoko Pekik.

Sadar atau tidak -tak hanya saya tentunya-, pasti banyak seniman yang dalam perjalanan kariernya pernah merasakan perhatian dan kebaikan hati Djoko Pekik. Bukan hanya dukungan dan apresiasinua pada para yuniornya, tetapi tak sedikit donasi yang pernah turut membuat membukakan jalan karier para seniman setelah generasinya.

Ketika saya memulai mencoba bermain-main dengan menjadi penulis dan kurator, Djoko Pekik menguji kerja saya. Dibantu oleh Nihil Pakuril putranya,  saya diminta mengurasi pameran. Selanjutnya saya memilih delapan pelukis muda dan akhirnya menjadi sembilan pelukis kala itu. Pameran  lukisan bertajuk “Terang Bulan” di Plataran Djoko Pekik menampilkan Laksamana Rio, Oktaviyani, Ridho Riski, Rizki Januar, Triana Nurmaria, Wayan Agus Novianto, Petek Sutrisno,  dan Nessar Ahmad. Pameran yang digelar Desember 2017 silam menjadi bagian dari perhatian Djoko Pekik untuk membukakan jalan karier para seniman muda.

"Tak enteni keplokmu ", kalimat tersebut identik dan melekat pada Djoko Pekik.  Menurutnya keplok atau tepuk tangan itu mahal, di ranah kesenian Yogyakarta. Ceriwis cawis bukan untuk mendapat tepuk tangan atau diapresiasi orang bukanlah tujuan. Namun, ceriwis dalam pekerjaan itu menjadi solusi dan bertanggung jawab, setidaknya untuk diri sendiri.

Selamat jalan Pak Pekik,

Maturnuwun atas tepuk tanganmu untukku. Satu yang tak pernah terlupa, adalah tepukan tanganmu di pundakku sambil berujar "Gaweyane beres to? "

13 Agustus 2023,

Yaksa Agus.

===


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    UNIMMA FM 87,60

    UNIMMA FM 87,60

    Radio Unimma 87,60 FM


    JOGJAFAMILY

    JOGJAFAMILY

    JogjaFamily 100,9 FM


    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RetjoBuntung 99.4 FM


    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    JIZ 89,5 FM

    JIZ 89,5 FM

    Jiz 89,5 FM


    ARGOSOSRO FM 93,2

    ARGOSOSRO FM 93,2

    Argososro 93,2 FM


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini