Gudeg.net – Setelah pemberangkatan jenazah mendiang Djoko Pekik ke Pemakaman Seniman-Budayawan Giri Sapto, Imogiri-Bantul Minggu (13/8) siang, Gudeg.net menghubungi beberapa seniman-perupa yang memiliki kedekatan dengan Djoko Pekik.
“Harus mengingat-ingat dulu.” kata Laila Tifah, Minggu (13/8) sore melalui pesan WhatsApp (WA).
Pada saat hampir bersamaan pesan WA lain masuk dari Alex Luthfi R “Waduh... ini masih dalam perjalanan dari Surabaya menuju Yogyakarta. Nanti kalau sudah sampai saya buat catatan ringkas ya? Ok!?!”
Laila Tifah adalah seniman-perupa anak dari mendiang Nasjah Djamin yang merupakan kolega senior Djoko Pekik. Sementara Alex Luthfi merupakan pengajar pada Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta yang dalam dua dasawarsa berkarya seni dengan objek ‘Babi Berdasi’.
Laila Tifah bersama Djoko Pekik di depan karya di Plataran Djoko Pekik. (Foto : dokumen Laila Tifah)
“Secara tidak langsung, Om Pekik memberikan pesan bahwa lukisan (dan karya seni) bisa menjadi tabungan (sehingga harus dijaga dan dirawat). Semacam investasi.” kata Laila Tifah melanjutkan obrolannya.
Laila Tifah menceritakan, tanpa diketahuinya tiba-tiba saja Djoko Pekik sudah masuk ke rumah mendiang bapaknya dan sudah berada di depanya, sambil menenteng sebuah lukisan yang terpigura.
“Saya tanya sama Om Pekik "Punapa niku om? ~ Bawa apa itu, Om?" sambil menatap muka perempuan ledhek dalam lukisan itu. Om Pekik hanya menjawab "Iki hadiah seka aku nggo kowe. Ngko iso didol dinggo nukokke motor anakmu. ~ Ini ada hadiah untukmu. Nanti bisa dijual untuk membelikan motor untuk anakmu." Rasanya bercampur aduk gembira, haru, terlebih saat saya amati ternyata lukisan itu spesial karena ada ditorehkan tiga nama, namaku, nama calon suamiku, dan tentu saja nama Djoko Pekik. Lukisan itu memang untuk hadiah pernikahanku yang akan berlangsung seminggu kemudian.” papar Laila Tifah.
Tifah menambahkan, dalam perjalanannya sebagai pengantin baru, yang modalnya nol, beberapa kali lukisan tersebut hampir dijual, karena bosan jadi pengontrak dan ingin memiliki rumah sendiri waktu itu. Namun, mereka selalu berhasil mengurungkan niat untuk menjualnya. Beberapa kali berpindah rumah, lukisan perempuan ledhek itu tetap mengikuti mereka.
Dua sahabat pelukis Djoko Pekik (baju coklat) dan Subroto Sm (baju biru) sedang berbincang dalam sebuah pembukaan pameran di Yogyakarta, 2017. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Pesan Om Djoko Pekik mengenai lukisan itu, hingga Om Pekik tiada, biarlah tidak kuhiraukan dulu. Karena aku masih ingin perempuan ledhek dalam lukisan itu tetap menemani hari-hariku.” pungkas Laila Tifah.
Cukup mengejutkan ketika beberapa saat berselang Alex Luthfi mengirim kembali pesan singkatnya, “Saya mau memberikan catatan tentang wong melarat dan penari ledhek dalam karya Djoko Pekik. Malam ini saya tulis dulu sesampai dari perjalanan Surabaya-Yogyakarta.”
Lebih mengejutkan lagi mengingat ada setarikan napas yang sama dalam objek celeng yang dipakai Djoko Pekik dalam membahasakan realitas yang dialaminya dengan babi berdasi yang digunakan Alex Luthfi dalam metaforanya, dan justru Alex memilih objek lain dari karya Djoko Pekik yakni penari ledhek untuk catatan tentang Djoko Pekik.
Dengan masuknya pesan WA tersebut setidaknya ada cerita lain lukisan Djoko Pekik diluar karya celeng yakni lukisan penari ledhek Tayub.
Rentang tahun 1995 hingga 2000 karya ‘Babi Berdasi’ banyak dibuat Alex mulai dari drawing, lukisan, hingga eksperimen menggabungkan wahana fotografi kedalam karya lukisannya. Selebihnya ‘Babi Berdasi’ masih berlanjut hingga saat ini sebagai silent project. Setidaknya dinamika sosial politik yang terjadi ketika itu turut pula mendorong lahirnya karya-karya dengan kritik satire atas kekuasaan dengan citraan karya ‘Babi Berdasi’. Babi Berdasi menemukan momentum dan relevansinya saat rezim berkuasa menjadi potret nyata kehidupan berbangsa dan bernegara yang turut mengakar hingga lapisan masyarakat paling bawah : praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kritik sosial ini pula yang menjadi ciri khas lukisan Djoko Pekik dalam lukisan berobjek celeng.
Berikut tulisan lengkap Alex Luthfi yang diterima Gudeg.net untuk mengenang mendiang Djoko Pekik.
===
Djoko Pekik Sang Maestro; Penggemar Wong Melarat dan Penari Ledhek.
Saya mengenal Djoko Pekik pada awal tahun 1980-an, waktu itu masih tinggal di Wirobrajan. Sesekali main dan ngobrol bersama beliau sambil melirik karyanya yang ada di tembok dinding belakang rumahnya. Rumah Djoko Pekik pada masa itu sering menjadi tempat berkumpulnya para guru saya; almarhum Aming Prayitno, almarhum Lian Sahar dan Subroto Sm, yang ditemani oleh beberapa mahasiswa senior terlihat serius berbincang mengerjakan proyek desain lukisan dinding (mural). Jadi, pada awal tahun 1980-an beberapa seniman lukis dan mahasiswa sudah banyak yang main atau sekadar berbincang tentang seni lukis di rumah Djoko Pekik di Wirobrajan.
Jujur, pertama kali melihat lukisan Djoko Pekik saya tidak paham bahkan menjadi bingung, sebab pada masa atau era tahun 1970-1980-an lukisan yang beredar di Yogyakarta coraknya dekoratif, kaligrafi, abstrak, ekspresionis, surealis dan pop art. Memang berbeda, karya Djoko Pekik yang objeknya rakyat jelata itu tidak seperti tema lukisan pada umumnya, kanvas lukisan Djoko Pekik didominasi dengan warna coklat “lethek” dengan sapuan kuasnya yang kuat dan bergerak meliuk memanjang ekspresif, kemudian pada bagian tertentu objek seninya diberi aksen warna merah kombinasi warna hijau. Dari pandangan selintas, karyanya biasa saja karena tekniknya sederhana, spontan dan objeknya terbaca naratif.
Affandi dan Anaknya, Kartika – cat minyak di atas kanvas - 120 x 140 cm – Djoko Pekik – 2020. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Program Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS) yang dijalankan sesuai dengan Instruksi Presiden No. 3/1987, di masa orde baru, prosesnya dimulai pada tahun 1987 dan pelaksanaannya tahun 1990-1991. Waktu itu saya dengan beberapa teman sebagai staf pengajar muda di Jurusan Seni Lukis STSRI-ASRI Yogyakarta diikutkan menjadi panitia dan bertugas mengambil karya-karya seni para seniman yang tinggal di Yogyakarta. Kurator yang terdiri dari Astri Wright, Josep Fischer dan Soedarso. Sp, bertugas mengkurasi serta memilih karya yang sudah siap didisplay di gedung Aji Yasa kampus STSRI-ASRI Yogyakarta.
Dari banyak karya yang terseleksi, ada satu seniman yang terpilih karena karyanya memiliki daya pesona, greget ekspresinya sangat kuat dalam menyuarakan ideologinya, pelukis itu adalah Djoko Pekik. Tentu keputusan dari para kurator membuat geger banyak seniman, protesnya disebabkan oleh pemahaman yang dangkal terhadap konsep program KIAS yang harus membeberkan sejarah dan perkembangan kesenian di Indonesia dari masa ke masa.
Anjing Menggonggong – cat minyak di atas kanvas - 115x150 cm – Djoko Pekik – 2018. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Para seniman yang protes itu cara pandangnya masih sangat personal dan berorientasi pada aspek seni artistik nan indah semata. Mereka tidak memahami bahwa diplomasi kebudayaan itu menggali ruang kesenian untuk tujuan menampilkan perkembangan kreativitas seniman yang ditinjau dari aspek sejarah dan dinamika pemikirannya. Untuk itu dengan tampilnya Djoko Pekik di pameran KIAS, banyak seniman yang bereaksi dan mempertanyakan mengapa eksponen dari pelaku sejarah jagat kesenian Indonesia tahun 1965 ini bisa lolos seleksi. Dalam pandangan saya keputusan dari para kurator sangat tepat dan terbuka, menilai figur Djoko Pekik sebagai seniman tulen yang gigih memperjuangkan ideologinya.
Karya seni lukis Djoko Pekik berkarakter kerakyatan dan konteksnya membaca situasi hidup yang sulit. Keberpihakannya pada wong melarat sudah menjadi ideologinya, sehingga sang maestro ini dikenal sebagai seniman yang narasinya menggambarkan potret kehidupan rakyat kecil yang susah. Dari peristiwa kuratorial KIAS, berdampak positif bagi kehidupan Djoko Pekik, lukisannya viral banyak diminati, dikoleksi oleh kolektor seni. Kemudian dampak dari tema seni lukisnya terhadap seniman muda, ideologi seni yang dimiliki oleh Djoko Pekik mampu membangunkan semangat bagi generasi dibawahnya, khususnya bagi mereka yang interes membaca dinamika kehidupan wong melarat.
Hari Pahlawan 10 November – cat akrilik di atas kanvas - 116 x 140 – Djoko Pekik -2014. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pada tahun 1990-an Djoko Pekik kembali rindu kampung halaman dan rindu penari ledhek. Tema lukisannya menggambarkan potret penari ledhek yang seronok dan menggairahkan. Bagi Djoko Pekik mengambar penari ledhek itu seperti ritual; menghayati kehidupan seniman tari yang hidupnya diabdikan untuk kesenian rakyat. Kesenian ledhek bagi masyarakat kelas bawah menjadi ikon yang dapat mengimbangi kesenian kelas borjuis. Maka pada masa pergerakan tahun 1950-an doktrin realisme sosialis, menginspirasi beberapa pelukis untuk melukis dengan objek kesenian ledhek yang dapat menyimbolkan pemikiran kerakyatan bagi seniman pro-wong melarat.
Penjiwaan Djoko Pekik sangat kuat dalam menggambarkan wajah “mbeluk” berbedak putih dan gerak gemulai dari sosok penari ledhek. Adegan inilah yang membuat darah kreativitas Djoko Pekik bergemuruh, libidonya terusik, ditumpahkan semua pengalaman estetiknya ke ruang kanvas dengan menggerakan sapuan kuas jauh lebih bebas mengikuti irama lekuk tubuh dan wajah sang penari Ledhek.
Kini Djoko Pekik sudah damai bersama-Nya, namun pemikiran serta karya seninya tetap abadi menjadi monumen bagi jagat kesenian di Indonesia.
Menggambar Model – cat akrilik di atas kanvas – 50 x 50 cm – Djoko Pekik – 2019. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Catatan pendek ini saya tulis di dalam gerbong kereta api Sancaka dari Surabaya menuju Yogyakarta. Rasa sedih dan permohonan maaf kepada keluarga besar Pak Djoko Pekik karena tidak bisa melayat dan menghantarkan beliau sampai ke pemakaman seniman Imogiri Yogyakarta,
Saung Banon Arts
Yogyakarta, 13 Agustus 2023.
Alex Luthfi R
Kirim Komentar