Gudeg.net – Lima seniman patung asal Bali yang tergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia (SDI) Yogyakarta mempresentasikan karya terbarunya di Indieart house. Kelima seniman tersebut adalah Putu Adi Gunawan, I Nyoman Ateng Adiana, I Koming Agus Wijaya, I Kadek Didin Junaedi, I Made Adiputra/Lampung. Mengangkat tajuk “Garis Berdimensi Tiga” presentasi karya berlangsung 23 September – 4 Oktober 2023.
Dosen Seni Rupa ISI Yogyakarta Gede Arya Sucitra dalam sambutan pengantar pameran memaparkan bagaimana realitas karya seni patung anggota diaspora SDI di Yogyakarta yang sering dihadap-hadapkan dengan seni patung tradisi Bali.
“Dibanding seni lukis (Bali), karya patung dari seniman patung dari SDI Yogyakarta agak jarang mendapatkan panggung dalam kontestasi seni rupa. Tentu kami menyambut niat baik (Indieart house) yang mengundang seniman patung SDI dalam program IndieBold#3 kali ini. Ini (tantangan) menarik ketika karya-karya patung seniman SDI kerap dipandang sebagai ‘kontra-identitas tradisi Bali’. Sering pula muncul pertanyaan kritik ‘(identitas tradisi) Balinya dimana dalam karya-karya tersebut?’ Pada pameran ‘Garis Berdimensi Tiga’ inilah teman-teman seniman patung SDI mencoba memberikan jawabannya.” jelas Arya Sucitra.
Pameran “Garis Berdimensi Tiga” di Indieart house, 23 September – 4 Oktober 2023. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pameran dibuka oleh dosen purnatugas Seni Patung ISI Yogyakarta Anusapati. Seturut dengan penjelasan Arya Sucitra dalam sambutannya Anusapati menyampaikan terbukanya peluang dan tantangan seni patung saat ini.
“Di era (seni) kontemporer sekarang ini apapun bisa jadi karya seni. Batasan antara seni patung, seni lukis, seni instalasi, bahkan dengan disiplin seni yang lain sudah saling silang campur aduk. Konsekuensinya definisi seni patung pun semakin (berkembang) luas. Ini menjadi tantangan bagi seniman patung diantara seni tiga dimensional lainnya. Perdebatan batasan-batasan seni hari ini sudah semakin cair dan sudah tidak relevans. Apapun wujud dari karya itu, selama itu merupakan bentuk ide, aspirasi, ekpsresi seniman tidak menjadi masalah (sejauh bisa dipertanggungjawabkan). ” jelas Anusapati saat memberikan sambutan pembukaan pameran, Sabtu (23/9) sore.
Dosen purnatugas Seni Patung ISI Yogyakarta Anusapati sedang mengamati karya pada pembukaan pameran, Sabtu (23/9) sore. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pameran patung “Garis Berdimensi Tiga” merupakan program reguler Indiebold dari Indieart house. Tahun ini merupakan penyelenggaraan yang ketiga setelah pada tahun 2021 IndieBold#1 mengangkat tema “In-Binoculars” dan IndieBold#2 tahun lalu mengangkat tema “Waskita Seni, Sang Guru Seniman”.
“Dalam dua kali penyelenggaraan IndieBold selalu dihelat pada bulan Agustus, tahun ini mundur sebulan karena kendala teknis. Program IndieBold tetap menjadi program reguler Indieart house.” jelas pengelola Indieart house Nuraeni Puji Astuti, Sabtu (23/9) siang.
Nuraeni menambahkan program Indiebold mengambil momen bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan Republik Indonesia. Tentunya dengan tema program yang dinamis, tidak melulu dalam kerangka bulan kemerdekaan. Dalam hal ini Indieart house akan mengundang seniman-perupa.
Barong – kawat besi – variabel dimensi – 2023 – I Nyoman Ateng Adiana. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
IndieBold, adalah sebuah program penguat ruang reflektif Indieart house pertama kali digelar pada 11-25 Agustus 2021 di IndieArt House Jalan AS-Samawaat No.99, Bekelan, Tirtonirmolo, Kec. Kasihan, Bantul. Presentasi yang disajikan memuat dialektika intelektualitas dan kreativitas dalam berbagai relasi objek-objek seni, eksistensi seniman maupun peristiwa dan dinamika sosial yang terjadi.
Dalam IndieBold#2 yang berlangsung 17 Agustus – 4 September 2022 dalam tema “Waskita Seni” mempresentasikan karya H. Widayat, Fadjar Sidik, Nyoman Gunarsa, Aming Prayitno, Suwaji, Wardoyo, Subroto Sm, Wardoyo Sugianto, Soewardi, Edi Sunaryo, Y. Eka Suprihadi, Nunung Nurdjan, Sudarisman, Titoes Libert, Effendi, Agus Kamal, Asnar Zacky sebagai tribute Ars Longa Vita Brevis bagi para dosen-seniman purnatugas yang sejak awal berdirinya ASRI hingga menjadi ISI Yogyakarta.
Pada IndieBold#3 seniman muda Kadek Didin Junaedi mempresentasikan dua karya patung dalam medium cat mobil di atas lembaran plat baja (stainless steel) berjudul ‘Caru” dan ‘Actual Ocassions’. Memanfaatkan media campuran seniman Made Widya Diputra mempresentasikan karya ‘Blue and Light’ dalam dimensi 90 cm x 30 cm x 120 cm.
Kamu Nakal – fiberglass – 120 cm x 77 cm x 76 cm – 2023 – Putu Adi Gunawan. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pembacaan permasalah sosial-lingkungan dilakukan oleh I Koming Agus Wijaya dalam karya ‘Lindung untuk Generasiku’ dengan objek figur manusia dalam citraan warna oranye mengangkat seekor ikan. Program pembangunan kerap tidak dibarengi dengan upaya nyata pelestarian lingkungannya yang turut mendorong sikap apatis masyarakat pada permasalahan sosial-lingkungan di sekitarnya. Sebuah pesan yang menarik.
Eksplorasi medium-material dilakukan I Nyoman Ateng Adiana yang mencoba merekonstruksi Barong Bali dengan memanfaatkan material kawat-batang besi dalam karya patung berjudul ‘Barong’. Menariknya Ateng membuat karya tersebut dalam jalinan kawat-batang besi dengan citraan warna hitam putih. Ada proses ulang-alik antara rekonstruksi, dekonstruksi, deformasi, bahkan refleksi Barong Bali yang kaya warna menjadi karya drawing patung hitam putih.
Karya Ateng mengingatkan pada pameran SDI tahun 2019 bertajuk ‘Samasta’ dimana seluruh karya yang dipamerkan ketika itu dalam citraan warna hitam putih, sekaligus mengingatkan perjalanan seni lukis hitam-putih di Bali.
Perkembangan seni lukis hitam-putih di Bali bermula pada awal abad ke-20 saat muncul fenomena menarik di Batuan, yakni adanya ekspresi-ekspresi seni lukis yang genial dari puluhan pelukis remaja/muda yang memunculkan gelombang seni lukis hitam-putih (tanpa warna), dengan pilihan tema bicara tentang dunia magis, mistik, dan mitologi.
Kelahiran seni lukis hitam-putih di Bali saat itu merupakan respons dari penelitian antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson dalam meneliti psikologi orang Bali melalui ekspresi seni lukis remaja/pemuda Batuan. Para remaja/pemuda itu diberi kertas gambar secara cuma-cuma, kemudian mereka melukis dengan bebas, lahirlah kemudian seni lukis ‘surealistik’ itu.
Pada dua karya patungnya Putu Adi Gunawan secara jenaka dan cenderung nakal menawarkan perspektif yang berbeda. Dalam karya ‘Kamu Nakal’ dengan objek anjing mengenakan topi dan berkacamata dalam posisi sedang kencing seakan mengajak berdialog dengan pengunjung dengan satu pesan simpatik jangan buang sampahmu di sembarang tempat.
Sebagai catatan, di alam liar anjing dengan tingkat kasta tertinggi akan ‘menandai’ wilayahnya sebagai tanda kepada anjing lain bahwa mereka yang berkuasa di wilayah tersebut. Karena itulah mereka perli mengklaim suatu area, ruang, atau benda tertentu yang mereka anggap sebagai milik atau wilayahnya. Salah satu cara mereka adalah menandai area atau benda tertentu dengan air kencingnya. Perilaku itu disebut dengan urine marking. Perilaku marking biasanya dilakukan dengan jumlah urin sedikit dan ditemukan pada permukaan vertikal (misalnya dinding) namun kadang ditemukan juga pada permukaan horizontal (misalnya lantai). Perilaku tersebut dianggap sebagai kenakalan anjing yang kencing sembarangan.
Kenakalan Adi Gunawan berlanjut pada karya ‘Rajakopatasana/Yoga series’ dengan objek figur sedang melakukan salah satu gerakan pigeon pose yoga atau yang dikenal juga sebagai Kapotasana, sebuah gerakan yoga yang bisa membantu meningkatkan kelenturan terutama di area pinggang dan meredakan nyeri pinggang. Sebagaimana ciri khas karyanya, Adi Gunawan tetap menggunakan figur berbadan tambun dalam karya patung Yoga series tersebut. Dan figur itu berwarna magenta.
Kirim Komentar