Seni & Budaya

Trajektori Terbalik Albert Yonathan Setyawan dalam “Capturing Silence”

Oleh : Moh. Jauhar al-Hakimi / Rabu, 11 Oktober 2023 09:16
Trajektori Terbalik Albert Yonathan Setyawan dalam “Capturing Silence”
Helios – 2000-an keramik – variable dimensi - Albert Yonathan Setyawan – 2017. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Gudeg.net – Puluhan karya series/projek dalam medium keramik, gerabah-terakota, drawing, dan karya videografi dari seniman Albert Yonathan Setyawan dipresentasikan di tiga lantai Jogja National Museum (JNM).

Pameran tunggal Albert Yonathan Setyawan bertajuk “Capturing Silence” dibuka pada Jumat (6/10) sore dan akan berlangsung selama satu bulan. Sejumlah karya yang dipamerkan sebagiah telah menjadi koleksi pribadi/museum seni.

Keseluruhan karya dipajang sesuai series/projek menempati space tersendiri memanfaatkan dinding, lantai, maupun  lorong JNM dengan keramik (stoneware) dan gerabah/tembikar/terakota (pottery-terracotta/earthenware) sebagai elemen utama desain karya tersebut.

Pameran tunggal seniman Albert Yonathan Setyawan bertajuk “Capturing Silence” di Jogja National Museum, 6 Oktober – 5 November 2023. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Capturing Silence” menampilkan karya-karya Setyawan sejak tahun 2008 hingga saat ini. Pemilihan dan kurasi karya dilakukan sendiri. Saat ini Setyawan berproses kreatif di Tokyo, Jepang.

Capturing Silence menjadi penanda fase awal Setyawan bekerja kreatif setelah menyelesaikan studinya di FSRD-ITB pada tahun 2007. Salah satu karya awalnya berjudul ‘Human Nuance’ (2008) dalam medium keramik dengan objek-figur manusia dalam berbagai ukuran dipamerkan bersama karya-karya awal diantaranya Nature's Assembly (2008), Dwelling Places (2010), Fortress (2010).

Mandala Study #4 – terakota, serbuk marmer – Ø230 x 5 cm – Albert Yonathan Setyawan – 2015. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Capturing Silence’ sendiri merupakan judul karya awal 2007 dimana ketika itu Setyawan membuat karya objek-figur manusia dalam medium gerabah/terracotta dengan cetakan mold press. Dari karya tersebut, setahun berikutnya lahir karya ‘Human Nuance’.

Pada fase lainnya Setyawan mengeksplorasi keteraturan bentuk/desaim dalam pemajangan karya sebagai bagian dari artistika-estetika karya seni sehingga lahir objek-figur bunga, satwa, manusia, anggota tubuh, figur rekaan dalam medium keramik berukuran kecil. Fase ini ditandai dengan pembuatan objek-figur keramik yang sama, dibuat secara berulang dalam jumlah banyak. Pijaran (incandense) menjadi tawaran Setyawan dalam pemajangan karya dengan pola-pola tertentu yang simetris, teratur, dan berulang pada sebuah dinding sehingga lahirlah karya Demigods (keramik, 2014), Mystic Flowers (keramik, 2014), Archangel (keramik, 2013), Incandescence (keramik, 2014).

Albert Yonathan Setyawan sedang memberikan penjelasan karyanya, Jumat (6/10) sore. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Bersamaan fase incandense, Setyawan pun melakukan eksperimen penerapan pola desain untuk merespons lantai ruang sebagai ruang pajang karya. Setyawan menyebutnya sebagai projek ‘Mandala Study’. Objek stupa candi digunakan sebagai elemen desain Mandala. Pada stupa tersebut Setyawan membuatnya dalam dua jenis : gerabah-terakota (eathernware) dan keramik (stoneware). Mandala Study #1-#5 berubah menjadi sebuah karya instalasi dengan pola/pattern Mandala dengan lantai sebagai ruang presentasi, sementara pada Mandala Study #6 Setyawan memanfaatkan dinding sebagai ruang pajang.

Pola geometris Mandala banyak dijumpai pada karya Setyawan lainnya tidak sebatas pada karya ‘Mandala Study’, diantaranya Seer (terracota/2020), Eyes of the Void (terracota, 2019), Light & Ardor I-II (terakota, 2022), Earthly Radiance (keramik, 2016), Providentia (terakota, 2018), Provenance - Flower of Life II (terakota, 2022), Serpent’s Tails II (terakota, 2023), Luminiferous (terakota, 2019), Chrysopoeia (terakota, 2018). Keseluruhan karya tersebut diaplikasikan menempel pada dinding.

Karya-karya drawing Albert Yonathan Setyawan. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Saat mengunjungi pameran “Capturing Silence” pengunjung akan disuguhi karya-karya Setyawan dalam trajektori lini masa perjalanan kreatifnya meskipun tidak selalu berurutan. Penyajiannya dalam fase-tema yang memberikan gambaran kepada pengunjung titik-titik penting kekaryaannya mulai dari awal berkarya hingga karya terbarunya.

Membaca trajektori lini masa sebagai bagian proses kreatif

Menariknya penyajian trajektori lini masa dilakukan Setyawan secara terbalik dimana pengunjung akan diajak untuk menikmati karya-karya terbarunya terlebih dahulu di lantai dua JNM.

Pada dinding utama lantai dua JNM objek terakota ular-api dalam dimensi kecil berjumlah ribuan dipajang memenuhi dinding dalam pola teratur. Sesaat memasuki lantai dua sambutan karya terpajang tersebut akan menawarkan pancaran-pendaran cahaya akibat ilusi optik yang ditangkap mata saat pertama kali memasuki lantai dua JNM.  Pendaran tersebut akan semakin terasa saat pandangan dialihkan pada karya ‘Radiance of Being’ yang dipajang persis di sebelahnya secara bergantian.

Mandala Study #2 (cropping) – keramik, serbuk marmer – Ø230 x 5 cm – Albert Yonathan Setyawan – 2012. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Dua karya projek disajikan dalam ruangan berseberangan ‘Mandala Study #2’ dan ‘Cosmic Labyrinth, the Bells’. Pada ‘Mandala Study #2’ Setyawan membentuk pola Mandala menggunakan keramik stupa berwarna putih dengan taburan serbuk marmer warna senada. Pola Mandala tersebut akan mengingatkan pengunjung pada stupa Borobudur. Sementara pada ‘Cosmic Labyrinth, the Bells’ dibuat dari pecahan terracota dan disusun dalam bentuk lingkaran. Pada karya tersebut Setyawan melengkapinya dengan karya videografi proses penciptaan ‘Cosmic Labyrinth, the Bells’.

Memasuki lantai satu JNM pengunjung langsung disambut karya ‘Mandala Study #3 dengan objek keramik stupa yang berbeda berwarna putih.’ Di ruang sebelah-menyebelah karya fase incandense dipajang berdampingan dengan karya terbaru lainnya di ruang yang berbeda.

Humance Nuance – keramik – variable dimensi - Albert Yonathan Setyawan – 2008. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Satu karya ‘Mandala Study #4’ yang menjadi koleksi Museum OHD Magelang menjadi pembeda diantara karya ‘Mandala Study’ series dengan penggunaan objek stupa menyerupai pagoda dalam medium gerabah-terakota. Selain pola Mandala, warna gerabah-terakota yang kontras dengan serbuk marmer warna semakin memperkuat komposisi karya ‘Mandala Study #4’.

Pada ruang berseberangan ‘Mandala Study #4’, Setyawan mempresentasikan empat karya videografi tentang pembacaan atas proses kreatif beserta narasi yang coba dibangunnya. Pada lorong antara kedua ruangan tersebut Setyawan mempresentasikan karya tumbuh dalam medium terarium pada gerabah/terakota berjudul ‘Transitory Nature of Earthly Joy’ yang dibuat sejak tahun 2017 beserta karya videografi dengan judul yang sama.

Radiance of Being – terakota – Ø 152 cm - Albert Yonathan Setyawan – 2019. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Sesaat memasuki lantai dasar JNM dua karya berukuran besar pada dua ruang terpisah langsung menyambut. Warna merah terracotta pada karya ‘Solar Worship’ menjadi daya pikat sesaat pengunjung turun tangga dari lantai satu. Belum selesai pengunjung mengamati ‘Solar Worship’, di ruang sebelah sebuah karya lain dalam ukuran yang lebih besar memenuhi dinding ruangan dengan dua objek : mata bersayap dan bunga padma. Karya yang menjadi koleksi Museum Tumurun Surakarta terdiri dua objek tersebut berjumlah sekira 2000-an.

‘Human Nuance’ dalam medium keramik berwarna putih dengan objek figur manusia dalam berbagai ukuran menjadi daya tarik berikutnya di lantai dasar JNM. Pada ruang seberang Setyawan mempresentasikan beberapa karya drawing yang dialihmediakan ke dalam karya gerabah-keramik.

Persis di sebelah ruang pajang ‘Human Nuance’, puluhan drawing yang dibuat Setyawan dalam berbagai medium di atas kertas menjadi catatan penting proses kreatif Setyawan dalam mengembangkan karya-karya gerabah-keramiknya. Tidak sekedar sebagai karya antara sebagai pintu masuk untuk menciptakan karya instalasi terakota-keramik, karya drawing yang dibuat Setyawan justru menjadi karya yang berdiri sendiri dimana Setyawan bisa mengekplorasi ide-imajinasinya untuk kemudian dituangkan ke dalam karya-karya lainnya. Kekuatan karya drawing menjadi inspirasi karya lanjutan.

Equanimity – terakota – 77x55x4 cm - Albert Yonathan Setyawan – 2009. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Trajektori lini masa mengajak pengunjung tidak sekedar menikmati karya tersaji, namun juga menjadi edukasi bagaimana proses kreatif tidak datang tiba-tiba namun melalui proses panjang dan tidak selalui linier. Adakalanya terjadi lompatan-lompatan berpikir, berproses kreatif, namun tidak jarang pula terjadi kemandegan/stagnasi. Dengan membalik lini masa pengunjung diajak untuk memahami proses sebelumnya sekaligus menghadirkan kejutan-kejutan yang bisa jadi berkebalikan dengan apa yang ada dalam benak pengunjung.

Saatnya gerabah-terakota naik kelas

Presentasi ‘Capturing Silence’ secara keseluruhan berangkat dari hal sederhana dengan mengangkat medium keramik dan gerabah-terakota sebagai elemen utama penyusun komposisi karya. Menjadi tidak sederhana ketika penyajian karya keramik-terakota tersebut dalam dimensi yang besar baik secara horisontal, vertikal, maupun kombinasi keduanya.

Keseimbangan (ballance) dalam banyak hal dijumpai hampir pada karya Setyawan sehingga karyanya banyak menawarkan bentuk-bentuk simetris dan berulang. Untuk ekeperluan tersebut Setyawan mencetak objek-figur dalam jumlah yang banyak, berulang, dalam berbagai ukuran dalam medium keramik dan terakota. Dari objek-figur itulah Setyawan menyusun sesuai kebutuhan pola/pattern karya instalasinya.

Provenance: Flower of Life II – terakota – 150x137x3,5 cm - Albert Yonathan Setyawan – 2022. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Citraan karya instalasi ritmis repetitif dengan objek-figur dari keramik dan gerabah-terakota menjadi penanda karya Setyawan. Penyajian karya dalam sebuah instalasi menjadi penguat karya-karya Setyawan meskipun objek-figur keramik-terakota maupun pola yang digunakan terkesan monoton.

Upaya tersebut dibarengi dengan penggalian ide dari arstitektur candi-candi sebagai desain dasar karya instalasinya. Keramik dan terakota menjadi wilayah kreatif Setyawan dalam membaca ulang, menerjemahkan, untuk kemudian direkonstruksi kedalam karya instasali menjadi sebuah proses transposisi media.

Pilihan menarik dilakukan Setyawan ketika mengeksplorasi karya gerabah/terakota berukuran kecil menjadi elemen utama karya instalasinya. Produk terakota/gerabah yang masih digunakan masyarakat sebagai barang fungsional sehari-hari bisa bersanding sejajar dengan karya keramik maupun porselen.

Mandala Study #3 – keramik – 250x250x7,5 cm– Albert Yonathan Setyawan – 2015. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Dua eksplorasi-eksperimentasi tersebut pun kerap dilakukan seniman keramik Dona Prawita Arissuta dan Sidik Purnomo. Saat menyelesaikan studi doktoralnya Dona melakukan transposisi media relief Candi Sojiwan dalam bentuk benda-benda keseharian menjadi materi disertasinya. Tidak berhenti pada disertasi, Dona mengeksplorasi kisah-kisah dalam relief Candi Sojiwan kedalam karya keramik serta diproduksi dalam bentuk benda-benda keseharian (tableware, kitchen set, permainan anak)

Sementara seniman muda Sidik Purnomo yang pernah belajar langsung dari seniman keramik asal Jepang Chitaru Kawasaki, sejak tahun 2015 hingga saat ini masih terus mengeksplorasi tanah liat (clay) Pagerjurang, Bayat-Klaten yang biasanya hanya digunakan untuk membuat gerabah/terakota perkakas rumah tangga menjadi karya keramik melalui eksperimen temperatur dalam tungku bakar di atas kebutuhan gerabah/terakota, pelapisan permukaan dengan menggunakan cat glazur, serta penggunaan teknik tradisional dengan alat putar miring.

Earthly Radiance – terakota – Ø 120 x 5 cm - Albert Yonathan Setyawan – 2016. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Dengan potensi sumber daya earthenware melimpah yang bisa ditingkatkan kualitasnya, serta kemungkinan pengembangan desain maupun pasar yang terbuka cukup lebar, karya gerabah (terracotta-pottery/earthenware) bisa memiliki nilai tambah. Bahkan bisa setara dengan keramik (stoneware) dan porselen (porcelain) sebagai sebuah karya seni.

Di Pendopo Ajiyasa JNM, sebanyak 1.628 buah stupa Pagoda berukuran masing-masing 15 x 15 cm x 30 cm ditata membentuk pola berukuran 10,75 m x 10,75 memenuhi ruang pendopo, menjadi penutup “Capturing Silence”. Karya berjudul ‘Cosmic Labyrinth : a Silent Pathway’ koleksi Anna BS Sunindar tersebut secara citraan akan membawa imaji pada Kota Terlarang (Forbidden City) di Beijing, China. Pada ‘Cosmic Labyrinth : a Silent Pathway’ ke-1.628 stupa tersebut dalam medium gerabah-terakota.

Demigods – keramik - 80x50x8 cm - Albert Yonathan Setyawan – 2014. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi

Pameran tunggal seniman Albert Yonathan Setyawan bertajuk “Capturing Silence” berlangsung di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta dari 6 Oktober hingga 5 November 2023.


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    UNIMMA FM 87,60

    UNIMMA FM 87,60

    Radio Unimma 87,60 FM


    JOGJAFAMILY

    JOGJAFAMILY

    JogjaFamily 100,9 FM


    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RetjoBuntung 99.4 FM


    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    JIZ 89,5 FM

    JIZ 89,5 FM

    Jiz 89,5 FM


    ARGOSOSRO FM 93,2

    ARGOSOSRO FM 93,2

    Argososro 93,2 FM


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini