Gudeg.net – “People talking without speaking//People hearing without listening//People writing songs that voices never share.” Potongan bait lagu “Sound of Silence” dari Simon & Garfunkel tertempel pada sebuah dinding.
Di sebelahnya, jendela yang menjadi pembatas ruangan terpasang teralis dengan objek partitur lagu dan burung-burung yang dibuat dari jalinan kawat bendrat serta garis partitur menggunakan kawat berduri (barbed wire).
Dari arah dalam ruangan berjendela terlihat sebuah karya grafis menggunakan teknik cetak saring stensil di atas kanvas dengan logo PBB bertuliskan UNITED NATIONS dimana peta dunianya pun terhubung dengan kawat berduri.
Pada dinding berseberangan, lima karya grafis dalam medium cat semprot stensil di atas kanvas serta sebuah partitur dalam kunci nada C yang dibuat dari kawat berduri dan jalinan kawat bendrat.
Pameran tunggal Wimbo Praharso “Sound of Silence” di Kebun Buku. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pada dinding tersebut pemajangan karya terbagi menjadi tiga. Bagian pertama dengan tiga karya visualisasi partitur dan instrumen musik lyra. Paranada dan senar lyra divisualisasikan dalam bentuk kawat berduri. Bagian kedua dengan dua karya yang menyampaikan pesan perdamaian dunia : helm prajurit bertuliskan “Cease Fire. Alive!”, dan sebuah troli belanja yang terguling. Di atas dua benda tersebut seekor gagak bertengger dengan bendera berlogo ‘peace’. Pada bagian ketiga, sebuah karya stensil dengan figur manusia berpeci dan berkacamata ala Robin sambil meletakkan telunjuk di depan hidung-mulut dalam gestur menyuruh untuk tenang.
Bentangan kawat berduri dengan objek burung dan partitur nada memenuhi langit-langit Kebun Buku dalam sorotan lampu yang temaram menyisakan bayangan di dinding dan langit-langit. Keseluruhan karya yang dipresentasikan tersebut merupakan karya seniman-perupa Wimbo Praharso dalam tajuk “Sound of Silence”.
“Tiba-tiba saya kok ingat dengan figur pelawak Kirun yang kerap memberikan pesan-kritik satire dan paradoks dalam guyonannya. Ya sudah.... saya bikin figur Kirun memakai kacamata Robin. Ha ha ha... Secara keseluruhan ini menjadi kelanjutan karya saya di Mural to Kampung.” jelas Wimbo kepada Gudeg.net, Selasa (31/10) sore.
Pameran bertajuk “Sound of Silence” dihelat dalam format open house di Kebun Buku tanpa proses pembukaan pada Selasa (31/10) sore.
Saat terlibat dalam Mural to Kampung di Pedukuhan Bandung Ngaglik, Pendowoharjo, Sewon-Bantul, Februari lalu Wimbo membuat sebuah mural dengan visual notasi lagu ‘Tanah Airku’ karya Saridjah Niung (Ibu Sud) lengkap dengan partiturnya. Seorang anak dengan ketapel yang siap dibidikkan mengarah pada partitur lagu tersebut yang dipenuhi belasan tikus yang riang-gembira berlari di baris-baris partitur. Tikus sebagai simbol praktik korupsi yang telah merugikan negara bahkan dengan riang gembiranya berlarian di segala lini-baris kehidupan “Tanah Airku”.
Sound of Silence – cat semprot, kawat bendrat, kawat berduri - Wimbo Praharso – 2023. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Karya tersebut saya kembangkan lagi pada pesan-pesan serta eksplorasi matra karya. Ide penciptaan tetap menggunakan teknik stensil, namun saya mencoba untuk membuat karya tiga matra. Saya mencoba memanfaatkan kawat sebagai medium karyanya. Untuk baris partitur saya gunakan kawat berduri sementara untuk objek dan nada saya gunakan kawat bendrat.” jelas Wimbo.
Realitas sosial-politik dalam lingkup lokal-regional maupun global menjadi pembacaan Wimbo dalam pameran tunggalnya kali ini. Ketegangan kawasan di jazirah Arab dan sekitarnya, semenanjung perairan/laut China Selatan, maupun Rusia vs Ukraina hanya menyisakan derita pada warga sipil tidak berdosa : anak-anak, kaum perempuan, dan lanjut usia yang suaranya lirih bahkan tidak pernah terdengar diatas perebutan kuasa, perebutan sumberdaya alam, dan derita yang ditanggungnya atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Belum lagi korban jiwa sanak-saudara yang akan menyisakan derita psikologis berkepanjangan.
Sound of Silence, realitas terkuburnya suara-suara sunyi
Pada banyak karyanya, bendera hitam dengan logo peace dan seekor gagak ataupun merpati hitam menjadi salah satu penanda karya Wimbo. Karya street art mural Wimbo dengan ciri tersebut banyak ditemui di berbagai dinding ruang publik di Yogyakarta. Jalanan menjadi wilayah yang terbuka untuk menyampaikan kritik sosial maupun pesan simpatik kepada publik dan juga pemangku kebijakan, ketika saluran-saluran penampung aspirasi masyarakat tidak bisa bekerja dengan optimal semestinya.
Dengan posisi demikian, karya street art Wimbo dan juga street artist lainnya tidak semata-mata menjadi ekspresi artistik senimannya. Namun lebih jauh lagi, menyuarakan suara-suara yang bisa jadi tidak terdengar oleh parapihak (stakeholders). Hingga saat ini ketika saluran-saluran tersebut mulai diperbanyak, realitasnya masih banyak silence voices yang tercekat di tenggorokan warga/masyarakat.
Cease Fire. Alive! – stensil cat semprot di atas kanvas – Wimbo Praharso – 2023. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Cukup menggelitik jika mengingat karya Wimbo yang dibuat pada tahun 2013 dengan dominan warna kuning-hitam dengan tulisan himbauan satire “Jangan takut Tuan-tuan. Ini hanya Street Art.”
Dalam pameran “Sound of Silence”, tidak ada satupun judul karya. Hanya ada dua frasa “UNITED” dan “NATIONS” dengan coretan merah pada huruf ITED dan “Cease Fire. Alive!”. Selebihnya warna hitam di atas material-medium lainnya. Simbol bendera hitam berlogo ‘peace’, burung gagak, helm perang, menjadi pintu masuk Wimbo untuk menyampaikan pesan kemanusiaan : perdamaian bagi seluruh umat manusia.
Simbol bendera hitam berlogo ‘peace’ yang digunakan Wimbo tidak sekedar ikonik, namun lebih dalam lagi menjadi pembawa pesan moral, Menariknya Wimbo tidak hanya menyandingkan dengan seekor burung hitam sebagai lambang perdamaian. Pada banyak karyanya Wimbo menyandingkan bendera hitam tersebut dengan figur Presiden RI keempat Gus Dur untuk menyuarakan semangat humanitarian memanusiakan manusia.
Sebuah semangat yang banyak tergerus ketika nilai-nilai relasi antarmanusia dihadapkan pada kapitalisme-materialisme dan lebih banyak tunduk pada kehendak pasar dan kuasa modal. Realitas relasi antarmanusia hari ini dibangun dalam konstruksi yang mekanistik : efektif-efisien, benar-salah, untung-rugi yang minim dialog sehingga meminggirkan manusia lainnya yang terkalahkan.
Memanusiakan manusia mensyaratkan kehadiran manusia di antara manusia lainnya dalam relasi yang seimbang, setara, dan saling menghormati. Pintu masuknya adalah menjadi manusia dengan akal-rasa-nurani secara bersamaan. Karena nguwongke itu sendiri adalah laku panjang perjalanan peradaban manusia.
“Sang Pemimpin Pemberani”, karya Wimbo Praharso pada Nandur Srawung 2019. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pada karya dua matra dengan basis paranada (notasi balok), musik sebagai sumber bunyi kehilangan maknanya saat kawat berduri yang sering digunakan sebagai batas demarkasi agar tidak dimasuki musuh ataupun pembatas untuk penanganan demonstrasi dihadirkan Wimbo dalam ketiga karyanya. Hadirnya kawat berduri menjadi drama bagi hilangnya kelembutan rasa dan kemanusiaan. Bahkan Dewi Psyche kehilangan gairah hidupnya saat mengetahui lyra yang bisa dimainkannya ternyata berdawai kawat berduri.
Di medan peperangan-pertempuran hanya mengenal menang-kalah atas nama membela kepentingan negara, kepentingan pimpinan, kepentingan golongannya sendiri, kepentingan industri persenjataan, dan berbagai kepentingan lainnya sehingga menepikan kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri. Korban yang berjatuhan pada masyarakat sipil hanyalah deretan angka statistik. Ini masih ‘diperkuat’ dengan slogan heroik kalau ingin damai, bersiaplah untuk perang. Sebuah slogan yang hanya mengedepankan ketamakan, kerakusan, kesombongan, serta sifat superiroritas lainnya. Fenomena tersebut terjadi hampir pada berbagai tingkatan relasi antarmanusia.
Tentang fenomena-fenomena tersebut Andrew Lumban Gaol yang memberikan catatan pengantar pameran “Sound of Silence” yang menarik diantaranya tentang perebutan ruang-hak hidup masyarakat sipil yang teralienasi oleh hegemoni kekuasaan dan hanya melahirkan suara-suara yang tidak terdengar bahkan dalam keheningan.
Begitupun dengan realitas dinamika sosial politik masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Dalam catatannya Andrew menuliskan : “Tahun ini hingga awal tahun depan akan kembali menjadi fase tertiuh bangsa ini. Kita akan dihadapkan pada kebisingan copras capres- yang berkaca dari pengalaman lima hingga sepuluh tahun lalu menjadi masa gontok-gontokan paling memuakkan dan menjemukan, karena kita sebagai sesama sipil yang sepanjang tahun lalu telah diabaikan akan kembali saling dibenturkan dalam panggung pemilu yang hasilnya bakal begitu-begitu lagi, fase keheningan yang rasanya kian menjadi asing, hingga kita merasa tak pernah bisa hidup tanpa harus berteriak dalam lingkar kompetisi yang menjatuhkan dan saling menghinakan. ‘Hening’ yang sudah dimonopoli penguasa menjadi operasi senyap bertudung ‘masa tenang’ menjelang pemilu.”
Saat ini di Indonesia yang sedang mengalami tahun politik, persaingan hegemoni antarkelompok pendukung akan terus hadir hingga terpilihnya presiden dan wakilnya. Rutinitas lima tahunan atas nama pesta demokrasi hanya melahirkan ketegangan bahkan benturan pada massa akar rumput yang terbelah membela yang didukungnya dan bukan pada nilai-nilai dan visi yang ditawarkan.
Secara keseluruhan pameran “Sound of Silence” menukik pada karya di langit-langit Kebun Buku yang menyisakan bayangan hitam-putih burung perdamaian yang bertengger pada paranada kawat berduri. Akankah perdamaian-kedamaian hanya menjadi bayangan -untuk tidak menyebut sebagai sebuah mimpi- realitas sesungguhnya yang sedang terjadi? Sebagai manusia, persoalan hidup dan kehidupan bukanlah persoalan tentang menang-kalah, benar-salah, dalam bingkai hitam-putih semata. Ada banyak warna dan gradasi kehidupan sebagai gambaran realitas relasi antarmanusia yang menjadi nilai dari kemanusiaan itu sendiri yang seharusnya didengar dalam posisi setara, saling menghormati secara bermartabat.
Pameran tunggal Wimbo Praharso bertajuk “Sound of Silence” di Kebun Buku Jalan Minggiran No. 61 A Suryodiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta hingga 6 Desember 2023.
Kirim Komentar