Gudeg.net – Setelah empat tahun lalu menggelar pameran tunggal bertajuk “Nunggak Semi” di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), seniman sungging wayang Subandi Giyanto kembali menggelar pameran tunggal di tempat yang sama.
Menganggakat tajuk “Giling Wesi”, Subandi mempresentasikan delapan puluh lukisan wayang dalam medium cat akrilik di atas kanvas berbagai ukuran, lima karya drawing tinta di atas kertas berukuran 20 x 20 cm, satu karya tiga matra, serta satu karya instalasi.
Pada enam puluh lukisan dengan medium cat akrilik di atas kanvas berukuran masing-masing 50 cm x 40 cm Subandi membuat lukisan setiap wuku dari penanggalan Jawa. Tiga puluh lukisan dengan mendasarkan pada citraan wayang Beber sementara tiga puluh lainnya dengan citraan wayang kulit pada umumnya (wanda Prayudan). Keenam puluh lukisan tersebut dibuat Subandi saat dunina sedang dilanda pandemi COVID.
“Ini mengambil dari Kitab Pakuwon Jawa tentang kerajaan Giling Wesi yang dipimpin oleh raja raksasa (ratu buta) Watu Gunung. Dikisahkan setelah memperistri Sinta lahirlah 27 anak dimana 13 anaknya kembar. Di kemudian hari Sinta menyadari bahwa Watu Gunung -yang menjadi suaminya- sesungguhnya adalah anaknya sendiri yang karena kebandelannya di masa kanak-kanak telah meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali hingga akhirnya menjadi raja di Giling Wesi.” papar Subandi Giyanto saat ditemui Gudeg.net, Jumat (3/11) malam.
Wuku Mandasiya wayang Beber (kiri/2023), wayang Prayudan (kanan/2022) – Subandi Giyanto. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Subandi menjelaskan dari ke-27 anak Sinta itulah digunakan untuk pertanggalan dalam kalender Jawa (wuku/pawukon). Untuk melengkapi pawukon tersebut Watu Gunung dan kedua istrinya yakni Sinta dan Landep dipakai sebagai wuku agar genap menjadi tiga puluh.
Ketigapuluh pawukon tersebut secara berurutan adalah 1) Sinta, 2) Landep, 3) Wukir, 4) Kuranthil, 5) Tolu, 6) Gumbreg, 7) Warigalit, 8) Warigagung, 9) Julungwangi, 10) Sungsang, 11) Galungan, 12) Kuningan, 13) Langkir, 14) Mondosio, 15) Julung Pujud, 16) Pahang, 17) Kuruwelut, 18) Mrakeh, 19) Tambir, 20) Medangkungan, 21) Maktal, 22) Wuye, 23) Menail, 24) Prangbakat, 25) Bala, 26) Wugu, 27) Wayang, 28) Klawu, 29) Dukut, dan 30) Watugunung.
Dalam penentuan waktu berdasarkan pawukon tidak dikenal istilah tahun baru. Awal permulaan siklus dikenal dengan istilah wuku Sinta dan akhir siklusnya wuku Watugunung. Dalam satu wuku terdiri dari tujuh hari dimulai dengan Radhite (Ahad) dan berturut-turut Soma (Senin), Anggara (Selasa), Budha (Rabu), Respati (Kamis), Sukra (Jumat), dan Tumpak/Saniscara (Sabtu). Satu rotasi wuku terdiri dari 210 hari (7 hari x 30 wuku).
“Dari kisah tersebut, visualisasi pawukon yang ada saya eksplorasi lagi menjadi dua versi dalam wanda Wayang Beber dan wanda Prayungan/wayang kulit. Jumlahnya sama dan citraan objek-figurnya sama sesuai masing-masing pawukon. Hanya saya membuat pembedaan pada wajah wayang pada masing-masing wanda serta sentuhan yang berbeda dalam sunggingannya, Beberapa saya mencoba eksperimen sunggingan gaya Surakarta dan Yogyakarta.” jelas Subandi.
Subandi menambahkan bahwa visualisasi karyanya menggunakan basis wayang gaya Sala (Surakarta) namun menggunakan sunggingan gaya Yogyakarta. Eksperimen tersebut dilakukan untuk menghindari terjadi perubahan/perpindahan sunggingan yang frontal.
Wuku Maktal wayang Beber (kiri/2022), wayang Prayudan (kanan/2022) – Subandi Giyanto. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Sunggingan merupakan teknik pewarnaan yang digunakan dalam membuat wayang kulit. Bisa dalam bentuk blok warna, gradasi, maupun isen-isen (isian).
Untuk isian saya seringnya menggunakan drawing kisah-kisah pewayangan,” jelas Subandi.
Dalam pewarnaan Subandi menggunakan standar pewarnaan wayang kulit klasik gaya Yogyakarta dalam pola komposisi merah dengan hijau, biru untuk hal-hal tertentu dengan warna merah, ataupun warna oranye dengan biru atau ungu.
Dalam pola komposisi warna tersebut lukisan Subandi bisa dengan mudah dibedakan dengan dengan lukisan wayang gaya Sala/Surakarta ataupun dengan sesama pelukis wayang di Yogyakarta. Dan pola komposisi sunggingan tersebut menjadi ciri khas karya-karya Subandi Giyanto.
“Tujuan saya tetap mengenalkan sunggingan wayang (sebagai karya seni) adalah untuk mendekatkan generasi muda (hari ini) yang sudah tidak banyak mengenal wayang lagi. Tidak mengenal pawukon lagi. Kalau tidak ada upaya (konservasi) tersebut, (wayang) bisa hilang suatu saat.” kata Subandi.
Pawukon merupakan istilah yang digunakan sebagai patokan siklus alam. Pawukon juga disebut ilmu titen manusia diperkirakan sudah hadir secara turun temurun sebelum era Hindu menyebar ke wilayaj Nusantara. Dalam Prasasti Lintakan (bertahun 919) penghitungan pawukon telah digunakan sebagai dasar perhitungan untuk penyelenggaraan ruwatan atau upacara penolak bala bagi Raja.
Perhitungan tradisional dengan pawukon populer di masyarakat agraris, terutama wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan sistem pertanggalan tradisional Jawa. Pawukon dikenal juga sebagai petung (perhitungan) untuk menentukan usaha manusia agar mendapatkan hasil yang baik. Dalam pertanian pawukon digunakan untuk menentukan waktu tanam atau dikenal dengan pranata mangsa.
Subandi Giyanto (baju batik) memberikan penjelasan karya kepada pengunjung saat pembukaan pameran, Jumat (3/11) malam. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pawukon juga sering dikaitkan dengan aktivitas daur hidup manusia sejak kelahiran, pernikahan, pendirian rumah, perayaan hari-hari besar, upacara adat, upacara keagamaan, termasuk juga upacara kematian.
Ketika terjadi perubahan iklim global (climate changes) yang melanda dunia, pranata mangsa pun mengalami perubahan secara signifikan sehingga ilmu titen dalam aktivitas petani-nelayan pun mengalami ketidakpastian. Udan salah mangsa di wilayah Indonesia akibat perubahan iklim telah terjadi setidaknya dalam dua dekade terakhir. Ini menjadi pesan bahwa wuku/pawukon bisa menjadi tetenger/penanda bagi masyarakat ketika siklus di alam terjaga dalam keseimbangannya. Adanya udan salah mangsa maupun fenomena alam lainnya yang merugikan manusia sebagai pengingat bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan telah mengalami degradasi dalam mengakomodasi aktivitas manusia. Pawukon yang tidak sesuai dengan pranata mangsa-nya menjadi peringatan dini (early warning system) telah terjadi penurunan kemampuan lingkungan.
Pameran seni rupa bertajuk "Giling Wesi" berlangsung sampai tanggal 9 November 2023 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta.
Kirim Komentar