Gudeg.net – Beberapa pemancing dengan kail dan senar pancingnya sibuk memancing di sebuah bantaran sungai mencari ikan. Sesekali mereka dikagetkan oleh tangkapan yang didapatkannya dan berpindah spot/titik yang dirasa menjadi tempat berkumpulnya ikan.
Adegan tersebut menjadi pembuka pertunjukan teater boneka “Stream of Memory” yang dipentaskan Papermoon Puppet Yogyakarta berkolaborasi dengan Komunitas Sungai Gajah Wong dan empat penari dari Singapura,
Dikisahkan dua anak kecil -Jun dan Sang- asik bermain di bantaran sebuah sungai, berlari berkejaran mengikuti arah terbang burung dan dara di bantaran sungai yang mengalir air bersih dan suasana sejuk.
Sang dan Jun bertemu dan bermain di bantaran sungai. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Dalam sebuah momen Sang terperangkap dalam pusaran waktu yang membawanya pada sebuah tempat antah-berantah dipenuhi dengan makhluk astral dan timbunan sampah. Dalam ombang-ambing pusaran waktu dan badai itulah Sang bertemu dengan sesosok raksasa yang menyelamatkannya saat tenggelam di sungai. Kali, begitu nama sosok tersebut.
Dengan bentuk berukuran besar dan wajah yang menyeramkan meskipun sedang tersenyum, tak urung Kali membuat Sang takut saat pertama kali bertemu menyelamatkannya dari belitan makhluk-mahkluk astral.
Setelah berteman dengan Kali, bersama mereka melanjutkan perjalanannya dan bertemu dengan seekor anak gajah yang terantai kakinya. Dengan hati-hati Sang melepaskan rantai tersebut, meskipun setelahnya anak gajah tersebut masih melolong histeris karena terpisah dari induknya.
Saat anak gajah melanjutkan pencarian induknya, Sang dan Kali melanjutkan perjalanan pulangnya dari pusaran waktu hingga bertemu kembali dengan Jun di bantaran sungai tempat semula mereka bermain. Di bantaran sungai itulah Sang menceritakan perjalannya kepada Jun.
Kali, sosok raksasa baik hati dengan tampilan menyeramkan. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Mengawali pementasan berdurasi 55 menit, Papermoon puppet menghadirkan adegan pemancing yang membaur dengan penonton anak-anak di atas panggung yang disediakan untuk mereka. Setting panggung demikian memberikan pengalaman bagi anak-anak untuk terlibat langsung dalam pementasan tersebut, meskipun sebagai pemeran yang pasif tanpa mengeluarkan suara dan gerakan. Duduk menikmati pementasan langsung di panggung, menjadi bagian dari pementasan tanpa terlibat dalam skenario yang sedang berlangsung.
Dengan setting tersebut penonton anak-anak diuntungkan mengalami langsung sebuah pementasan teater dengan jarak pandang yang sangat dekat dan pilihan perspektif yang beragam sesuai keinginannya. Setting panggung tersebut mengingatkan pada snake pit stage (panggung sangkar ular) yang pernah digunakan grup musik Metallica saat pentas tahun 1992 ataupun festival musik Woodstock 1969, meskipun pada pementasan “Stream of Memory” di Gedung Laboratorium Seni ISI Yogyakarta panggung dibuat dalam level ketinggian yang sama.
Kali mencoba menyelamatkan Sang yang tenggelam. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Dalam hal tata suara, akustik gedung Laboratorium Seni ISI Yogyakarta mampu mengakomodasi kebutuhan sound system yang mendukung adegan-adegan dramatis. Begitupun kehadiran lighting designer dan koreografer James Tan dan Dapheny Chen yang didatangkan langsung dari Singapura menambah dramatisasi semakin hidup ketika selama pementasan menggabungkan unsur pencahayaan, tata suara, serta pemetaan video (video mapping) sebagai sebuah kesatuan pementasan.
Pemanfaatan video mapping yang ditembakkan ke dinding panggung dengan ilustrasi kilas balik tentang anak gajah yang terpisah dari induknya akibat penggusuran ruang hidup mereka memperkuat narasi lolongan anak gajah tersebut. Bisa dipahami, gajah adalah makhluk hidup dengan pola berkelompok (komunal). Terpisah dari kelompoknya karena penggusuran adalah derita yang tiada akhir: kehilangan ruang hidup sekaligus ruang sosialnya.
Agak berbeda dengan pementasan ataupun event yang dihelat Papermoon Puppet yang kerap memanfaat ruang terbuka sebagai panggung (stage), “Stream of Memory” justru dihadirkan dalam sebuah gedung pertunjukan.
Momen saat Kali berhasil menyelamatkan Sang. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pilihan tempat tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam kapasitas 600-an kursi yang ada di dalam gedung Laboratorim Seni ISI Yogyakarta, pementasan memungkinkan digelar dalam beberapa sesi dan dihadiri beragam audiens dalam jumlah banyak. Setidaknya pada “Stream of Memory” yang digelar selama tiga hari dalam tiga kali sesi, seluruh kursi habis dipesan.
Konsep tersebut tentu berbeda dengan yang dipakai pada Pesta Boneka yang menjadi acara reguler Papermoon Puppet memanfaatkan ruang-ruang terbuka di pedesaan: pelataran rumah warga, sawah, kolam, dan juga sungai sebagai panggung pementasan. Dua konsep tersebut tetap menawarkan keintiman tersendiri.
Kekuatan “Stream of Memory” sesungguhnya ada pada tema serta pilihan penyajian yang menjadikan sungai sebagai lokus peristiwa dan memanfaatkan barang-barang yang ramah lingkungan dan daur ulang sebagai properti pementasan. Bahkan untuk keperluan bahan baku properti panggung, beberapa kali pihak Papermoon Puppet membuka open donation tas plastik bekas pakai untuk dijadikan properti pementasan.
Perbincangan Sang dan Kali. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Sungai sebagai jembatan peradaban yang terlupakan
Sudah sejak lama realitas sungai digunakan sebagai tempat sampah terpanjang menjadi paradoks dan ironi manakala sungai dengan berbagai potensi dan funsinya adalah penanda sekaligus tempat peradaban manusia berkembang sepanjang jaman, pada saat bersamaan justru jarang mendapatkan sentuhan pemuliaan. Yang terjadi kemudian justru sungai digunakan sebagai tempat pembuangan sampah.
Reflektif dan kritik, ini menjadi tawaran “Stream of Memory” selain narasi ceritanya sendiri. Realitasnya hari ini sampah menjadi salah satu masalah terbesar manusia yang belum tertangani secara komprehensif dan berkelanjutan. Krisis pengelolaan sampah hampir ditemui pada semua kota besar di Indonesia mulai dari kapasitas TPA yang sudah overload hingga kesadaran masyarakat dalam memperlakukan sampah. Alih-alih dikelola atas kesadaran, sungai menjadi jalan pintas masyarakat untuk dijadikan tempat sampah meskipun berbagai regulasi telah dibuat dengan insentif-disinsentif yang menyertainya.
Sang membantu anak gajah melepaskan rantai yang membelenggu kakinya. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Belajar dari peradaban sungai masa lalu telah meninggalkan situs-situs arkeologi berupa puing kota kuna dan sisa-sisa bangunan besar. Meskipun di sekitar lokasi tidak ada bebatuan yang memadai untuk membangun gedung, masyarakat setempat telah mengembangkan ketrampilan untuk membuat batu bata dari lumpur dan tanah liat yang dibawa sungai dari pedalaman.
Peradaban manusia di masa lalu banyak dibangun di pinggir sungai. Bangsa Sumeria telah membangun peradaban di antara Sungai Eufrat dan Sungai Tigris sejak 4.000 SM. Pada masanya mereka memiliki sistem pengairan yang mampu memenuhi kebutuhan air bersih untuk manusia serta keperluan pertanian sehingga pertanian berkembang dengan baik.
Peradaban Tiongkok diperkirakan sudah berkembang sebelum tahun 10.000 SM dengan berkembangnya negara kota di sepanjang lembah Sungai Kuning (Hwang Ho).
Secara administratif fungai sungai seing digunakan sebagai tapal batas antara dua wilayah kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan negara. Citanduy menjadi pembatas antara Jawa Barat dan Jawa Tengah), sebagai pemisah dua negara (Sungai Oder menjadi pemisah Jerman dan Polandia), Sungai Mekong (Thailand dan Laos), bahkan antara dua peradaban Rio Grande antara Amerika Utara dan Amerika Latin.
Di Tiongkok Sungai Yangzi membagi negeri tersebut dalam dua ' peradaban' yang berbeda: di sebelah utara masyarakat Cina yang bertani dan makan gandum dan di sebelah selatan yang bercocok tanam padi dan makan nasi.
Kota Allahabad dan Benares di India banyak didatangi pengunjung untuk mandi membersihkan jiwa raganya di Sungai Gangga. Sungai suci lainnya bagi orang Hindu adalah Brahmaputra yang bersumber di Tibet. Di Jepang bagi orang Kyoto, Sungai Kamo menjadi representasi simbol pelindung kota oleh dewa-dewi Kamo.
Foto bersama pengunjung dengan para pemain. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Jumlah penduduk yang besar dengan organisasi pemerintahan yang memadai telah menghasilkan bangunan monumental seperti Zigurat di Mesopotamia, piramida di daerah aliran sungai Nil, dan Tembok Besar di Tiongkok. Hal yang sama bisa dilihat dari reruntuhan kota Harappa dan Mohenjo Daro (peradaban sungai Indus/Sindhu)
Di wilayah nusantara hal demikian pun ditemukan pada kerajaan-kerajaan sungai Nusantara, seperti dalam sejarah Jambi, Sriwijaya, Tarumanegara, Majapahit, Kediri, Singasari, Pajang, hingga Mataram.
Sungai, beranda depan yang berubah menjadi tempat sampah
Di masa lalu sungai menjadi urat nadi perdagangan yang menghubungkan berbagai daerah dan wilayah. Hingga saat ini pun sungai masih memegang peranan penting dalam distrubusi logistik di berbagai wilayah di Indonesia.
Mengingat fungsinya, untuk kepentingan bersama diperlukan pengelolaan sungai yang baik, terintegrasi, dan berkelanjutan antara daerah hulu-hilir. Berkaca dari fenomena banjir di Jabodetabek yang tidak semata-mata akibat kiriman air dari daerah hulu, juga menjadi gambaran kegagalan pengelolaan 14 sungai yang mengaliri wilayah Jakarta yang berlangsung puluhan tahun.
Hal tersebut masih diperparah dengan belum tumbuhnya kesadaran masyarakat yang masih membuang sampah secara sembarangan ke badan sungai. Bisa ditebak, selain tidak bersih dan sehat, sungai menjadi sumber genangan bahkan banjir saat musim hujan datang di daerah hulu sungai yang bermuara di Jakarta. Perilaku demikian masih menjadi pemandangan yang lumrah hampir di berbagai wilayah di Indonesia. Selain menurunkan daya dukungnya, timbunan sampah di badan sungai menjadi rawan terhadap berbagai bencana.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari total timbulan sampah nasional pada 2022, sebanyak 22,44 juta ton atau 62,63% di antaranya telah terkelola, sedangkan 13,39 juta ton atau 37,37% belum terkelola.
Sebagian besar timbulan sampah nasional pada 2022 berupa sampah sisa makanan dengan proporsi 40,7%, kemudian sampah plastik 18%, kayu/ranting 13%, kertas/karton 11,3%, logam 3%, kain 2,6%, kaca 2,2%, karet/kulit 2,1%, dan sampah jenis lainnya 7,1%.
Jumlah timbulan sampah tersebut berasal dari rumah tangga sebesar 38,4%, kemudian dari pasar tradisional sebesar 27,7%, perniagaan sebesar 14,4%, kawasan komersial/industri 6,2%, fasilitas publik 5,4%, perkantoran 4,8%, dan sumber lainnya 3,2%.
Timbulan sampah plastik nasional mencapai 18% setara dengan 6,49 juta ton sampah plastik. Jumlah tersebut jika dipadatkan dan dimasukkan ke dalam kontainer sampah berkapasitas 6 m3 memerlukan kontainer sampah sebanyak 1.080.872 kontainer.
Bisa Anda bayangkan berapa kapasitas ruang (space capacity) yang diperlukan untuk itu? Dengan dimensi kontainer berukuran 3,8 m x 1,2 m x 1,8 m, timbulan sampah nasional tahun 2022 jika ditempatkan secara bersamaan dalam keadaan rapi setidaknya diperlukan area seluas 642 hektar atau setara dengan 5,68 kali luas TPA Bantar Gebang (Jakarta) atau 51,36 kali luas TPA Piyungan (Yogyakarta).
Dengan polimer pembentuknya yang komplek, botol plastik memerlukan waktu terdaur sekitar 20 tahun, sementara styrofoam yang banyak digunakan untuk penggunaan sehari-hari baik sebagai bahan pengemas ataupun penghias membutuhkan waktu hingga 500 tahun untuk bisa hancur terurai di alam. Tanpa didaur ulang sampah plastik yang terus bertambah setiap hari adalah ancaman nyata bagi kehidupan manusia.
Sungai, ketika negara-negara di Eropa masih begitu peduli dan menghargai kelestariannya sehingga batas administrasi sebuah negara tidak lagi menjadi sebuah batasan untuk mengelolanya secara bersama-sama meskipun bahasa yang dimiliki negara-negara tersebut bisa jadi berbeda, di Indonesia mengambil contoh Ciliwung yang melintasi hanya beberapa kabupaten dan provinsi, dengan bahasa yang sama, bagaimana sebuah sungai dalam sebuah negara tidak memiliki "bahasa" yang sama dalam pengelolaan dan pelestariannya?
Pada titik inilah “Stream of Memory” yang pernah dipentaskan di sebuah gedung teater yang baru dibangun di kawasan Esplanade Theatre, Singapura pada akhir tahun 2022 dan dipentaskan kembali di Gedung Laboratorium Seni ISI Yogyakarta 15-17 Desember 2023 menemukan kembali relevansinya : sebesar apakah kita telah memuliakan sungai sebagai jembatan peradaban untuk generasi nanti?
Kirim Komentar