Gudeg.net – “Wis Dho Mangan Durung?”, ini pertanyaan luar biasa. Tidak untuk menyederhanakan (substansi permasalahan pangan), justru Luddy berhasil menyajikan dalam bahasa visual yang sederhana. mudah dipahami, termasuk pemilihan medium yang mudah didapatkan di sekitar. Menurut saya, ini salah satu pameran terbaik yang pernah digelar oleh Jogja Gallery. Bisa menjadi The Best Solo Exhibition of The Year di Jogja Gallery.”
Kalimat tersebut disampaikan kolektor karya seni Oei Hong Djien (OHD) saat berbincang-bincang dengan Indro Kimpling Suseno (Direktur JG) dan seniman Luddy Astaghis di sela-sela pembukaan pameran bertajuk “Wes Dho Mangan Durung?”, Rabu (10/1) malam di Jogja Gallery.
Pameran tunggal Luddy Astaghis bertajuk “Wes Dho Mangan Durung” di Jogja Gallery Jalan Pekapalan No. 7 Yogyakarta, 10-25 Januari 2023. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Dalam obrolan yang terjadi di depan karya instalasi Luddy berjudul ‘Isa Pawon Isa Warung’, OHD memberikan penjelasan terkait dengan tema tersebut yang banyak berakar pada tradisionalisme hadir pada (seni rupa) hari ini dalam realitas seni rupa kontemporer/postmodernism.
“(Mungkin agak) terlambat, tapi tidak apa-apa. Ini gejala glokalisasi. Ada muatan-muatan lokal yang coba diangkat di tengah seni rupa (post modern-kontemporer) hari ini. (Hal demikian sudah seharusnya) terkabarkan luas kepada publik melalui media-media agar peristiwa, tema, wacana, dan kekaryaannya tidak hilang ditelan waktu. Di Bali sedang ramai post-tra. Dengan sejarah panjang seni rupa (dan dinamika) di Bali, Post-tradisionalisme memang banyak berkembang di sana. Ini luar biasa. Luddy mengangkat kembali pada hal yang paling mendasar tentang kebutuhan hidup manusia yaitu makanan, pangan.” jelas OHD.
Suasana pembukaan pameran “Wes Dho Mangan Durung”, Rabu (10/1) malam. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pameran tunggal seniman-perupa Luddy Astaghis bertajuk “Wes Dho Mangan Durung?” dibuka oleh Dennis Yapsir pemilik cafe-galeri seni Tiga Roepa pada Rabu (10/1) sore.
Dalam sambutannya Dennis Yapsir menjelaskan konsistensi Luddy dalam bersenirupa dengan warna-bentuk khas serta garis-garis tegas dalam menyampaikan pesan-pesan tersirat secara lugas kedalam karyanya berangkat dari hal-hal sederhana yang ada di sekitanya,
“(Tema) tawaran/ajakan makan –dalam kalimat tersebut- mengandung nilai-nilai kehangatan, keakraban, kekeluargaan yang memperlihatkan tatanan sosial dan berbudaya khas Indonesia. Dari ajakan/tawaran itu menghadirkan suasana yang gayeng, guyub, dan seterusnya untuk membangun ruang dialog-komunikasi sehingga sajian kuliner sudah tidak menjadi prioritas utama,” kata Dennis Yapsir dalam sambutan pembukaan pameran, Rabu (10/1) sore.
Sebanyak 17 karya tunggal/series dalam berbagai medium, ukuran, dua-tiga matra, dan instalasi dipresentasikan di dua lantai Jogja Gallery.
Juru Masak #1 - instalasi - media campuran - Luddy Astaghis - 2023. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Begitu memasuki ruang pamer JG, sebuah beber wayang berbahan kanvas sepanjang 8 meter dalam pencahayaan dari belakang (backlight) pada objek-objek yang dibuat mengantung maupun dilukis langsung pada kanvas dalam pendaran cahaya temaram langsung menyambut dengan sebuah ajakan simpatik ‘Banca’an yuk banca’annn. Jangan rebutaan’.
Karya instalasi tersebut berhasil menjadi pembuka mata yang tidak terlalu provokatif bagi pengunjung, mengingat di kiri-kanan karya tersebut banyak tawaran yang menggoda mata dengan pemilihan warna mencolok dan bentuk-bentuk ganjil yang menjadi objek-figur karya Luddy.
‘Banca’an yuk banca’annn. Jangan rebutaan’ menjadi kalimat simpatik pertama yang menyambut pengunjung. Dalam berbagai acara grebeg, beragam gunungan yang dibuat dari berbagai bahan baku makanan maupun makanan jadi sering kali berakhir menjadi sampah saat puncak acara menjadi rayahan pengunjung yang berebut gunungan tersebut.
Wes Dho Mangan Durung? - tiga dari lima panel (belakang), Nelayan (depan). (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Penyekatan pada lantai dasar JG serta penggarapan pencahayaan yang rapi menjadikan karya series Luddy terdisplay secara proporsional tanpa saling berebut ‘ruang pandang’ pengunjung, mengingat ada beberapa karya penting Luddy pada lantai tersebut diantaranya ‘Sukiyanti’, ‘Ironi’, ‘Tono-Tini #1-2’, ‘Sinoman/Pramuladi’, dan ‘Wajan Penguripan’.
Karya series ‘Wes Dho Mangan Durung?’ yang menjadi tema pameran menempati satu ruang terpisah bersama dengan karya tiga matra berjudul ‘Nelayan’. Di sebelahnya, dalam setting ruang yang gelap karya berjudul ‘Gondo Rasa’ seolah menjadi pengikat yang menghubungkan manusia dengan penciptanya dalam sebuah ritual doa genduren/kenduri yang hening dan intim.
Display karya di lantai satu JG terbagi dalam tiga. Saat menaiki tangga pengunjung langsung disambut sebuah karya instalasi berupa panggung wayang golek lengkap dengan boneka marionette yang disiapkan Luddy bersama istrinya Amriana.
Merti Desa (3 panel) - cat akrilik pada baby ripstop - Luddy Astaghis - 300 x 150 cm/panel - 2023. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Teknis pembuatan boneka saya serahkan pada Amriana, termasuk boneka-boneka pada karya lainnya. Kebetulan dia gemar menjahit dan membuat boneka. Saya memberikan konsep karya bonekanya. Sementara untuk panggung wayang tersebut saya kerjakan sendiri. Untuk karya instalasi wayang ‘Isa Pawon Isa Warung’ silakan pengunjung memainkannya. Rusak tidak apa-apa, nanti akan saya perbaiki selama pameran berlangsung,” Jelas Luddy.
Eksperimen medium-material terbaru dilakukan Luddy memanfaatkan kain baby ripstop dalam tiga karya series rontek (roundtag) berjudul ‘Merti Desa’, ‘Tanda Garis Urip’, ‘Aku Mangan Aku Ono’, dan ‘Wes Dho Mangan Durung?’. Karya rontek sebagaimana umbul-umbul yang kerap dihadirkan untuk memeriahkan sebuah acara menjadi medium mampu mencuri perhatian sehingga sering digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat luas.
Luddy dan Oei Hong Djien memainkan wayang memanfaatkan karya instalasi berjudul ‘Isa Pawon Isa Warung’. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Awalnya saya akan membuat karya-karya tersebut dengan bahan taplak karet/plastik yang ada motif lubang-lubang. Ternyata bahan yang ada tidak terlalu panjang-lebar. Akhirnya mencoba dengan kain baby ripstop. Kendalanya ternyata saat diaplikasi dengan cat akrilik sampai beberapa layer tidak muncul warnanya. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya ketemu caranya. Ya sudah... bahan itu yang saya gunakan untuk karya-karya terbaru,” papar Luddy saat ditemui dalam persiapan pameran, Sabtu (2/12/2023) siang.
Di lorong lantai 1, sepuluh karya drawing series berjudul ‘Pangan’ dalam medium cat akrilik di atas kertas bisa memberikan sedikit gambaran bagaimana proses kreatif Luddy yang kerap berangkat dari karya drawing kartun-karikatural.
Perupa Nasirun (kiri) dan Direktur JG Indro Kimpling Suseno (kanan) mengamati karya berjudul ‘Nelayan’. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Sebuah ruang yang digunakan sebagai tempat untuk memutar roll film bioskop saat Jogja Gallery pada masa lalu difungsikan sebagai Gedung Bioskop Soboharsono dimanfaatkan Luddy untuk menempatkan tiga karya. Sebuah karya dalam bentuk lingkaran berdiameter 255 cm setinggi 150 cm yang digantung di langit-langit dari jauh terlihat seperti lampu gantung raksasa saat bahan baby ripstop tersebut dibuat drawing dengan cat akrilik melingkari seluruh bahan tersebut dominan warna kuning.
Pada karya berjudul ‘Aku Mangan Aku Ono’ tersebut menjadi arena bermain-main Luddy tentang pangan-makanan dalam perjalanan peradaban manusia mengambil ungkapan yang dipopulerkan oleh filsuf Descartes cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada.
Pada ruang yang lebih kecil di sebelahnya dua karya terpajang. Sebelas karya series drawing berbentuk rontek (round tag) dalam medium cat akrilik di atas plastik mika transparan berbagai warna berjudul ‘Juru Masak #2’ berdampingan dengan karya tiga matra berbahan resin dalam warna kuning keemasan berjudul ‘Petani’.
Aku Mangan Aku Ono (crop) - cat akrilik pada baby ripstop- 150 x 800 Ø 255 cm - Luddy Astaghis -2023. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pada karya rontek tersebut Luddy menuliskan keterangan ‘Pengolah makanan yang membuat enak dan cantik, dan bekerja di balik layar. Jika hidangan enak dan mendapat nilai bagus, orang tidak tahu siapa di balik layar. Jika hidangan tersebut tidak enak atau ada masalah maka orang yang paling disalahkan atau dicari adalah juru masak tersebut.’.
Penyandingan dua karya tersebut menjadi paradoks sebagaimana petani di Indonesia yang realitasnya menjadi mata pencaharian marjinal dan terpinggirkan pada saat bersamaan harus menyediakan bahan pangan bagi masyarakat, namun ironis baik saat panen raya maupun gagal panen harus tetap menyediakan bahan pangan murah meskipun harus bersiasat dengan tingginya biaya produksi pertanian (bibit, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja) dan harus bersaing dengan industri pertanian yang padat modal. Saat gagal panen maupun panen raya sama saja hasil yang diperoleh. Harga komoditas pertanian menjadi domain yang mengikuti hukum pasar dan petani tidak dalam posisi ‘kuasa’ atas harga pasar komoditas hasil pertaniannya.
Petani - resin- 93 x 40 x 65 cm - Luddy Astaghis - 2023. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Lebih menyedihkan lagi saat mengalami penderitaan sebagai ‘penerima harga’ dari pengepul, tengkulak, pedagang besar, pada saat bersamaan pula masih dibebani dengan stigma tidak mampu melakukan efisiensi kerja maupun habit buruk yang terlanjur disematkan pada mereka semisal malas berinovasi dengan teknologi yang berdampak pada tingginya biaya produksi.
Hingga saat ini petani selalu dalam posisi penerima harga (price taker) dan tidak pernah benar-benar berdaulat atas harga komoditas hasil pertanian yang dimilikinya. Dan hingga hari ini kita masih bangga menyebut diri sebagai masyarakat-bangsa agraris.
Kedua karya tersebut setarikan napas dengan karya series 3 panel berjudul ‘Ironi’ yang didisplay berdampingan dengan karya rontek series ‘Merti Bumi’, karya instalasi ‘Sinoman‘ dan ‘Bancakan’. Di saat dunia dalam ancaman kekurangan pangan, pada sisi lain harga pangan sangat murah di tingkat petani sehingga kesejahteraan mereka tidak kunjung meningkat.
Tanda Garis Urip (3 panel) - cat akrilik pada baby ripstop - Luddy Astaghis - 2023. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi
Pada saat bersamaan pula Indonesia adalah penyumbang terbesar kedua dunia berupa sampah yang berasal dari makanan. Ancaman kelaparan di berbagai belahan dunia, bahkan di beberapa tempat di dalam negeri tidak menyurutkan sebagian besar masyarakat Indonesia untuk bertindak bijak memperlakukan pangan-makanan dan hanya berujung dengan membuang sampah sisa makanan : kombinasi antara belum optimalnya distribusi bahan pangan, pengolahan makanan, penyimpanan, pengawetan makanan, serta belum tumbuhnya kesadaran pangan-makanan sebagai kebutuhan dasar penyambung keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari total timbulan sampah nasional pada 2022 sebagian besar berupa sampah sisa makanan dengan proporsi 40,7%, kemudian sampah plastik 18%, kayu/ranting 13%, kertas/karton 11,3%, logam 3%, kain 2,6%, kaca 2,2%, karet/kulit 2,1%, dan sampah jenis lainnya 7,1%.
Secara keseluruhan pameran “Wes Dho Mangan Durung?” memotret perjalanan makanan-pangan dalam relasi antarmanusia dalam dramanya sendiri. Tiga penulis melakukan pembacaan atas tema tersebut dalam perspektif yang berbeda.
Ironi (series/3 panel tengah), Sukiyanti (tiga dimensi/depan), Tini dan Tono #1-2 (kiri-kanan). (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pangan dalam Dimensi Ana Pangan, Aman Pangan, dan Turah Pangan.
Seniman-perupa Yaksa Agus melakukan pendekatan kekaryaan dan proses kreatif yang dilakukan Luddy, S. Dwi Stya Acong kawan masa kecil Luddy mencatat perjalanan kreatif berkesenian Luddy diantara banyak aktivitas mulai dari mengajar seni rupa untuk anak TK/SD, menyiapkan berbagai kebutuhan warung makannya, pada saat bersamaan harus berdamai dengan waktu untuk terus berkarya, sementara sosiolog Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta Puji Qomariyah memberikan perspektif pangan-makanan dalam relasi antarmanusia.
Dalam catatan pengantar pameran Yaksa memberikan penekanan pangan-makanan dalam tiga dimensi : Ana Pangan, Aman Pangan, Turah Pangan dikaitkan dengan karya-karya yang dipresentasikan.
Pada bagian ana pangan (ada pangan), Yaksa mengaitkan pangan-makanan dengan daur/siklus hidup manusia sejak kelahiran, masa remaja, perkawinan, hingga kematian yang selalu beriringan dengan ritual-acara yang bersinggungan langsung dengan pangan-makanan. Di bagian aman pangan, dengan mengambil ungkapan Jawa ngawula wadhuk tidak semata-mata yang mengandung arti orang hidup yang hanya memuaskan perut, alias makan saja, malas kerja--madhang ngising turu [orang hidup jangan hanya madhang (makan), ngising (berak), dan turu (tidur) namun juga harus mampu madhangi (memberi penerangan) sing turu (yang tidur--dalam pengertian orang yang masih dalam kegelapan). Makanan tidak begitu saja tersedia di depanmu. Harus diupayakan lebih dahulu dengan mengeluarkan “daya, kekuatan badan, dan pikiran”. Untuk mendapatkannya harus ada effort yang menyertai.
Pada bagian Turah Pangan (ketahanan pangan), Yaksa melakukan pembacaan pada karya ‘Aku Mangan, Aku Ana’ dengan menengok sejarah peradaban manusia melalui pangan-makanan. Saat manusia mulai menghuni bumi ini, maka yang dicari adalah makanan. Perjuangan hidup dengan mulai menemukan makan, dari hanya memetik daun, bunga, buah, dan berburu binatang. Setelah mulai mengenal makanan yang berasal dari tumbuhan dan hewan, mulailah manusia mengenal api. Kemudian berkembang meramu bumbu sebagai perasa.
Saat manusia menetap pada satu wilayah, pertanian pangan berkembang dalam budidaya dimulai dari bercocok tanam pada satu tempat, membudidayakan cara, teknologi, komoditas, hingga pascapanennya. Manusia dan makanannya berkembang hingga revolusi industri. Terciptalah makanan-makanan instan. Hingga di kemudian hari membawa manusia semakin berjarak dengan makanan. Makanan kemudian hanya menjadi komoditi. Menjadi produk kapitalis, commodity fetishm, sebagaimana dikemukakan oleh Marx.
Ratusan jenis tanaman dan binatang yang dahulu dibudidayakan masyarakat Nusantara, baik sebagai bahan pangan maupun obat-obatan, hari ini telah banyak yang hilang, sejak bangsa-bangsa dari Eropa datang untuk menguasai rempah-rempah Nusantara. Juga dengan alasan kepentingan industri, mempercepat masa panen dan ketahanan akan hama, memunculkan tanaman-tanaman hibrida dan varitas baru lainnya, yang juga secara tidak langsung menghilangkan bahan pangan lokal.
Jika tanaman pangan, hewan ternak, hasil tambang dari negeri ini mampu mempengaruhi bangsa-bangsa lain, apakah kebudayaan kita tidak memberi pengaruh kepada bangsa-bangsa itu? Dalam konteks kekaryaan tersebut, Yaksa memandang Luddy sedang mempertanyakan tentang ketahanan pangan dalam berbagai karya yang dipresentasikan pada pameran “Wes Dho Mangan Durung?”
“Wis mangan durung?”. Nilai-nilai dalam Tawaran Sepiring Makanan
Dalam perspektif budaya-politik pangan, sosiolog UWM Puji Qomariyah memberikan konteks dengan mencoba memotret kebiasaan makan masyarakat di Indonenesia dalam tiga dasa warsa terakhir.
Dalam tulisannya Puji memaparkan, bagi generasi yang tumbuh di era 1990-an dan sebelumnya, pertanyaan “wis dho mangan durung?” atau “wis dho madhang tah?” tentu tidak asing di telinga mereka saat bertandang ke rumah teman atau saudaranya. Pertanyaan tersebut kerap dilontarkan oleh orang-orang tua bahkan sebelum mereka bercengkerama lebih lanjut. Pertanyaan tersebut menjadi pembuka bagi obrolan selanjutnya. Apakah pertanyaan tersebut hanyalah basa-basi? Tidak! Hampir bisa dipastikan pertanyaan tersebut tulus adanya.
Puji menjelaskan Mangan/madhang/manre/kuman/tuang/mande/makan dalam khasanah budaya di Nusantara menempati posisi penting dalam relasi antarmanusia. Jika Anda berkunjung ke desa/daerah manapun di wilayah Indonesia, jangan heran ketika Anda akan dikejutkan dengan tawaran makan oleh orang yang baru Anda kenal sekalipun. Budaya penghormatan terhadap tamu dengan menawari makan menjadi kebiasaan hampir di berbagai wilayah di Indonesia.
Pertanyaan wis mangan durung? atau wis madhang tah? dalam berbagai dialek Jawa manapun, pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan simpatik tidak sekedar retorika. Pertanyaan tersebut hampir dipastikan diikuti dengan ajakan makan. Setidaksiap apapun, penanya/tuan rumah akan menyediakan apa yang dia punya. Terpaksanya tidak ada, mereka akan mempersiapkan segala apa yang mereka punya saat itu.
Madhang secara leksikal bisa diartikan makan. Namun dalam gramatika kata tersebut bisa juga diartikan secara othak-athik gathuk “madhang” sebagai agar menjadi padhang, agar menjadi terang. Kata tersebut sering digunakan juga sebagai ungkapan bercanda dalam percakapan sehari-hari “kana mangan sik, ben padhang pikirmu” ~ sana makan dulu, biar terang pikiranmu.
Di sini Puji menggarisbawahi bahwa mangan-madhang sebagai sebuah ritual mengalami dua proses pemaknaan, pertama, memberikan hak pada tubuh untuk menjalankan metabolismenya agar sel-sel tetap hidup, tumbuh, dan berkembang; kedua, memberikan hak pada pikiran dengan asupan nutrisi-energi agar tetap terang, jernih.
Persoalan kemudian seberapa besar porsi untuk dipangan agar tetap padhang, ini menjadi masalah klasik yang kerap membelenggu manusia. Napsu makan kerap mengalahkan selera makan manusia. Selera akan berhenti manakala tubuh sudah tercukupi haknya. Tidak demikian dengan napsu. Persediaan makanan dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tidak cukup untuk memenuhi napsu/keinginan/keserakahan satu atau segelintir orang/golongan.
Tentang mangan/madhang/manre/kuman/tuang/mande sebagai sebuah ruang dialog berlaku umum hampir di berbagai belahan dunia Puji mengutip pendapat Cesar Chavez seorang Meksiko-Amerika yang dikenal sebagai aktivis hak-hak sipil Latino Amerika, : “If you really want to make a friend, go to someone's house and eat with him... the people who give you their food give you their heart.” Jika Anda benar-benar ingin berteman, pergilah ke rumah seseorang dan makan bersamanya. Orang yang memberimu makanan akan memberikanmu hatinya.
Pada acara merti dusun/desa atau sedekah bumi biasanya dimulai dengan rembug desa untuk merayakan syukuran atas panen yang didapatkan. Pada hari sedekah bumi masing-masing keluarga/warga berbagi hasil panenan dalam bentuk memasak dalam jumlah yang lebih banyak dari hari-hari biasa dengan menu yang berbeda untuk diantarkan (ater-ater) kepada sanak-saudara ataupun tetangganya.
Ruang komunal yang dibangun melalui pagar mangkok/piring –berkirim makanan kepada tetangga dalam bentuk semangkuk/sepiring makanan- dengan tetap menjaga privasi masing-masing kerap menawarkan relasi antarmanusia yang lebih humanis, saling menjaga, saling menghormati, dibanding sebatas pagar tembok yang justru sering menjadi penghalang keakraban.
“Saat hari sedekah bumi-laut, siapapun yang berkunjung akan disuguhi dengan makanan-panganan khas setempat. Aruh (menyapa), gupuh (menyambut), rengkuh (senang hati menerima), lungguh (mempersilakan masuk dan duduk), dan suguh menjadi puncak penghormatan kepada dayoh (tamu) meskipun dengan suguhan/hidangan sekedarnya yang hampir dipastikan itulah suguhan terbaik yang ada pada saat itu,” papar Puji.
Budaya-tradisi berkaitan makan-makanan di Indonesia cukup banyak dan beragam yang menjadi gambaran masyarakat yang guyub, saling menolong, gotong-royong, dan berbagi. Kebiasaan yang berkaitan dengan kuliner juga menjadi sebuah tradisi yang banyak ditemui hampir seluruh daerah di Indonesia dalam bentuk makan bersama ataupun saling antar-kirim makanan. Masyarakat Melayu Bangka Belitung mengenal Nganggung yang merupakan adat membawa makanan dari masing-masing rumah penduduk menuju ke satu tempat pertemuan besar. Dalam masyarakat Sunda dikenal tradisi Merantang, sementara masyarakat Melayu Kalimantan Barat dikenal tradisi Kemponan.
Puji mencatat, tradisi makan bersama pada sebuah wadah dalam satu acara besar sebagai bentuk rasa syukur dan berbagi banyak ditemui hampir seluruh daerah di Indonesia dengan istilah yang beragam Kembulan/Liwetan/Tumpengan (Jawa), Botram (Sunda), Megibung (Bali), Bajamba (Minang), Patita (Maluku), Binarundak (Sulawesi Utara), Bagawa (Belitung). Bahkan tradisi Bakar Batu pada masyarakat Papua selain untuk memberikan penghormatan pada tamu-tamu penting yang berkunjung juga menjadi ruang rekonsiliasi atas konflik di antara mereka yang berselisih.
“Sebagai kebutuhan dasar, makan-makanan memegang peran utama dalam relasi antarmanusia karena terkait langsung dengan hidup, kehidupan, dan keberlangsungannya. Konflik kemanusiaan kerap terjadi akibat perebutan makanan, pangan, dan sumberdayanya. Dan resolusinya sering diselesaikan dalam dialog, dialektika, diplomasi melalui pangan-makanan. Berbagi untuk kehidupan,” papar Puji dalam sambutan pengantar pembukaan pameran, Rabu (10/1) sore.
Dua pepatah He who eats alone vomits alone (pepatah Afrika), He who eats alone chokes alone (pepatah Arab), tidak bisa semata-mata dimaknai secara harfiah. Ketika kita menolak untuk membagikan hal baik apa pun yang kita miliki, kita sendirilah yang akan menghadapi konsekuensi dari keserakahan kita.
Tentu ini menjadi sebuah paradoks, dimana tidak ada yang lebih menggembirakan daripada berbagi hal baik yang kita miliki dengan orang lain. Berangkat dari pepatah Kenya-Afrika “Di dunia ini ada cukup untuk kebutuhan semua orang. Namun, tidak cukup bahkan untuk keserakahan satu orang.” Di bumi yang dihuni hampir 9 milyar manusia, kita tidak bisa bersikap egois. Cerita sedih, gembira, suka, duka, dan seterusnya hanya akan selesai jika dibagi-rasakan bersama.
Puji menambahkan ada tiga hal penting yang tidak boleh diganggu dan harus dihindari sebagai bahan bercanda pada seseorang yaitu saat sedang makan, tidur/istirahat, dan beribadah. Makan-makanan menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia. Makan sebagaimana beribadah menjadi momen yang sakral sebagai simbol keberlangsungan kehidupan, ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta, sekaligus ruang mengintimi diri sendiri sehingga tawaran makan kepada pihak lain sesungguhnya adalah sebuah penghormatan dan keinginan berbagi dalam banyak hal. Makanan, pada akhirnya, dalam tradisi kita sendiri, adalah sesuatu yang suci. Ini bukan tentang nutrisi dan kalori. Ini tentang berbagi. Ini tentang kejujuran. Ini tentang identitas.
“Dari pertanyaan-tawaran makan ‘wis dho mangan durung?’ itulah hubungan antara manusia akan terbangun secara alamiah, mengalir dalam relasi yang saling memanusiakan. Persoalan makan, makanan, pangan, hari ini dan masa datang tentu punya permasalahan dan tantangannya sendiri. Namun ada hal yang tidak pernah berubah : tawaran sepiring nasi dan lauk selain bisa menyelamatkan kehidupan juga akan mampu membangun peradaban manusia dengan membuka sekat-sekat ruang dialog antar sesama manusia dalam relasi yang bermartabat,” pungkas Puji saat pembukaan pameran, Rabu (10/1) sore.
Sebuah karya tiga matra ‘Sukiyanti’ menjadi puncak drama “Wes Dho Mangan Durung?” di ruang pamer Jogja Gallery. Sosok ibu yang selalu menjaga dan menemani para pengunjung seolah hadir sebagai juru masak keluarga, pramusaji dan pramuladi, simbol keikhlasan dan pengayoman, pengobat lapar dan dahaga.
Ketika pangan-makanan dan upaya untuk mencukupi kebutuhannya bagi seluruh umat manusia yang hidup di muka bumi yang terus bertambah junlahnya adalah tantangan nyata bagi siapapun, untuk ibu yang tak mengenal lelah menjaga hidup dan kehidupan : Jangan buang-buang makananmu, untuk kehidupan dan keberlangsungannya.
Pameran tunggal Luddy Astaghis bertajuk "Wes Dho Mangan Durung?" berlangsung hingga 25 Januari 2024 di Jogja Gallery Jalan Pekapalan No. 7 Yogyakarta.
Kirim Komentar