Seni & Budaya

Ketika Remaja Merespons Pameran Seni Rupa “Doxa”

Oleh : Moh. Jauhar al-Hakimi / Rabu, 03 Juli 2024 10:33
Ketika Remaja Merespons Pameran Seni Rupa “Doxa”
Musisi Bagus Mazasupa merespons pameran tunggal Luddy Astaghis dengan perform resital piano, Rabu (24/1/2024). (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Gudeg.net - Pameran seni rupa ‘selesai’ sesaat setelah prosesi pembukaan dilaksanakan. Suka tidak suka, realitas itu yang kerap terjadi dalam perhelatan pameran seni rupa di Indonesia. Tidak banyak pameran maupun peristiwa seni rupa yang membekas ataupun memberikan pengetahuan baru kepada publik kecuali keramaian saat pembukaan.

Selebihnya, hari-hari berikutnya hanya meninggalkan ruang-ruang sunyi yang kerap luput dari perbincangan hangat. Bincang bersama seniman yang kerap dihelat selama pameran berlangsung pun seolah hanya menjadi penggugur kewajiban dari sebuah pameran.

Presentasi karya seni tidaklah semata-mata tentang pemajangan karya untuk dinikmati pengunjung, namun ada apresiasi maupun edukasi. Dinamika yang terjadi sepanjang pameran berlangsung baik di ruang pamer maupun di luar menjadi gambaran bagaimana pameran tersebut mampu membangun komunikasi serta dialektikanya.

Ada perkembangan menarik dalam sepuluh tahun terakhir dimana pameran seni rupa mulai banyak dikunjungi publik dengan berbagai alasan mulai dari apresiasi kritis, belajar, pertemanan, atau bahkan sekedar berfoto untuk media sosial ataupun konten yang dibuatnya. Sayangnya tidak semua pameran seni rupa di Yogyakarta tidak semua ‘beruntung’ dikunjungi publik bahkan untuk alasan yang terakhir. Apakah lantas pameran seni rupa tersebut dianggap gagal? Jawabannya tidak sesederhana ‘iya’ dan ‘tidak’.

Fiza saat merespons pameran tunggal Pupuk DP dengan perform solo biola, Sabtu (29/6) sore. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Kembali pada awal tulisan, dinamika pameran ataupun peristiwa seni sejauh ini masih belum banyak teramati baik oleh senimannya sendiri ataupun dunia seni rupa. Kalaupun sempat ‘terekam’ masih sebatas pada tumpukan arsip pameran, poster, foto dokumentasi, dan seterusnya yang hanya ‘berguna’ saat menjadi bahan riset, Selebihnya, tanpa narasi yang utuh rekaman tersebut akan hilang ditelan waktu.

Mengambil contoh sederhana kunjungan anak-anak pada pameran-peristiwa seni sejauh ini masih jauh dari amatan. Kehadiran anak-anak masih belum dianggap sebagai pembelajaran bagi mereka untuk mengenal ruang sosial melalui seni. Adakah seniman yang sedang berpameran meluangkan waktu untuk sekedar menyapa anak-anak yang berkunjung? Sepertinya pemandangan tersebut jarang ditemui. Pameran seni rupa sepertinya memang masih ‘dikonstruksikan’ untuk orang dewasa, meskipun beberapa sudah mulai diarahkan untuk kehadiran anak-anak.

Kehadiran anak-anak dalam sebuah pameran seni rupa sesungguhnya kerap menghadirkan dinamika pameran yang menarik. Keingintahuan pada karya seni menjadi respons spontan dan jujur dalam pandangan anak-anak.

Respons pada sebuah pameran seni rupa menjadi bagian penting dinamika pameran yang berlangsung. Respons tersebut bisa beragam mulai dari apresiasi kekaguman pada karya, interaksi pada karya ataupun dengan senimannya, interaksi dengan sesama pengunjung, hingga respons pada pameran yang sedang berlangsung.

Perform Vicky di depan karya lukisan Pupuk DP berjudul ‘The Musician’. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

“Saat pameran “Main” di Taman Budaya Yogyakarta tahun 2018, saya menyiapkan beberapa karya yang bisa dimainkan pengunjung, terutama anak-anak. Risikonya paling rusak. Tidak apa-apa saya mendampinginya, interkasi pengunjung dengan karya itu bagi saya lebih penting. Toh selagi masih ada kreatornya itu masih bisa diperbaiki. Selama pameran saya dua kali mengganti pedal saklar yang rusak.” kata Alie Gopal saat ditemui di Studio Kalahan, Sabtu (18/5) malam.

Alie menambahkan saat pameran tersebut dia juga menyiapkan karya totem berbahan kertas putih.

“Ketika itu saya persiapkan untuk pengunjung. Silakan direspons dengan cat akrilik dan tinta yang sudah disediakan. Mungkin (publik) belum terbiasa dengan tawaran tersebut. Akhirnya karya totem itu saya respons sendiri selama pameran berlangsung. Ha ha ha...” kata Alie Gopal.

Respons seni, ikhtiar membangun dinamika dan komunikasi dari ruang pamer

Dalam satu kesempatan saya mengikuti obrolan seniman-perupa Luddy Astaghis dengan Fiza remaja yang ingin merespons pameran tunggalnya bertajuk “Wes Dho Mangan Durung?” di Jogja Gallery, bulan Januari lalu.

“Nanti mau menampilkan apa? Merespons karya atau bagaimana? Kemarin om Fafan dan om Tunes saling merespons karya yang dipamerkan sekaligus merespons satu sama lain permainan biolanya.” kata Luddy

“Ini akustikan ya, om Luddy?” tanya Fiza.

“Iya. Atau memerlukan sound tambahan?”

“Nggak, om. Kayaknya kalau pakai sound tambahan nanti malah menggema. Tadinya saya sudah mempersiapkan minus one, tapi melihat ruang ini akustikan aja kayaknya lebih asik.”

“Senyaman Fiza aja. Mau mobile di seluruh ruang pamer atau mau tetap stay pada satu karya, terserah Fiza aja.” imbuh Luddy.

Setelah obrolan tersebut Fiza langsung menyiapkan biolanya. Ada perasaan canggung terpancar di wajahnya, namun itu tidak berlangsung lama. Sambil mendekat dan mengamati karya series ‘Tanda Garis Urip’, tak lama berselang gesekan biola Fiza sudah menghiasi ruang pamer JG hingga 5 menitan dia lebih asik dengan permainan biolanya berpindah ke karya ‘Bancakan’.

Mengatasi rasa nervous, point ini yang saya tangkap dan itu berlangsung dalam waktu yang cukup singkat untuk anak seusianya. Setelahnya repertoar yang dimainkan Fiza secara medley tersebut berlangsung smooth dengan perform dari satu karya ke karya lainnya ‘Merti Bumi’, ‘Tono-Tini’, ‘Ironi’ berpindah lagi ke ‘Tukang Masak’. Repertoar awal yang berlangsung sekira 20 menitan diakhiri Fiza di depan karya ‘Bancakan’.

Selesai sampai di situ? Ternyata tidak. Fiza memberikan kejutan yang dilakukan secara spontan saat dia membaur di antara pengunjung yang sedang menyaksikan performnya dari tangga JG. Sambil duduk di tengah-tengah audiens, Fisa kembali memainkan gesekan biolanya.

“Saya kaget saat Fiza mendekat. Saya pikir dia mau menanyakan sebaiknya tampil di bagian mana lagi? Atau bahkan mengakhiri performnya. Ternyata justru dia malah tampil di situ. Ini surprise bagi saya.” kata Ibunya Fiza saat melihat improvisasi yang dilakukan Fiza.

Kejutan’ itu dialami juga oleh audiens lainnya. Dalam perform yang tidak berjarak itulah Fiza berhasil membangun komunikasi yang intim dengan audiens. Sebuah respons dan improvisasi yang menarik dari anak SMP yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Lagi-lagi, lebih 20 menitan Fiza menikmati performnya di tangga JG. Audiens tentu lebih menikmati lagi ketika mendapat sajian dua karya seni dalam jarak yang begitu dekat. Dalam waktu yang bersamaan.

Dari jarak yang agak jauh saya mengamati bagaimana interaksi tersebut terbangun.

“Saya ingin berdansa dengan istri dan bayi saya. Fiza bisa mengiringinya?” kata seorang pengunjung.

Tanpa banyak bicara sebuah komposisi mengalir dari gesekan biola Fiza mengiringi dansa di lantai dasar JG sepasang suami-istri dan bayinya sore itu. Entah komposisi apa yang sedang dimainkan Fiza. Yang jelas pasangan suami-istri tersebut menikmati diantara tepuk tangan pengunjung lainnya.

“Satu lagi, saya ingin menyanyi lagu ‘Indonesia Pusaka’, tapi suara saya fals. Boleh ya Fiza mengiringi lagi?” kata pengunjung tersebut.

Hanya dengan anggukan dan senyuman kecil Fiza menunggu suara yang keluar dari bapak-bapak tersebut untuk menyesuaikan nada yang dinyanyikan. Hanya dalam hitungan detik terciptalah kolaborasi ‘Indonesia Pusaka’ dari dua orang tidak pernah saling kenal sebelumnya.

Oscar Artunes saat merespons pameran tunggal Luddy Astaghis dengan perform biola bersama Fafan Isfandiar di Jogja Gallery, Sabtu (20/1/2024) sore. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Sehari sebelumnya Sabtu (20/1/2024) siang pameran tunggal Luddy direspons oleh dua pemain biola Fafan Isfandiar dan Oscar Artunes.

“Mau bawain apa?” tanya Fafan.

 “Mengalir saja. Sepanjang perjalanan dari rumah, saya jadi kepikiran untuk mengeksplor perjalanan yang tidak terlalu lama tersebut dalam repertoar nanti. Belum tahu bagaimana komposisinya.” jawab Tunes

“Lah. Kok sama. Ha ha ha.” kata Fafan

Setelah ngobrol sebentar, cek biola, dan mengamati ruang pamer secara keseluruhan akhirnya Fafan dan Tunes memutuskan memainkan repertoar pembuka dengan karya instalasi Luddy berjudul ‘Bancakan’ sebagai stage. Sebuah pilihan yang menarik.

Pengunjung sekira 30-40 an langsung duduk memanfaatkan anak tangga JG saat kedua pemain biola memainkan repertoar spontannya layaknya menonton sebuah orkestra dalam sebuah amphiteater dimana karya ‘Bancakan’ yang didisplay dalam pencahayaan dari belakang (backlight) menjadi beber wayang yang hidup dengan perform kedua pemain biola. Bisa juga mengingatkan pada tontonan bioskop dengan sajian orkestra, dimana JG dulunya adalah Gedung Bioskop Soboharsono.

Setelah repertoar pembuka, Fafan memainkan satu komposisi singkat sekira 2 menitan yang dibuat spontan dari inspirasi dalam perjalanan dari rumahnya menuju JG.

Dilanjutkan Tunes dengan dua komposisi spontan berupa kidhung dari Dandang Gula dan sebuah komposisi gubahan Johan Sebastian Bach (kalau tidak salah ingat).

Jeda sejenak digunakan Fafan dan Tunes menikmari karya di lantai dasar JG. Dalam bincang-bincang bersama Luddy akhirnya mereka mencoba memainkan repertoar di karya ‘Aku Mangan Aku Ono’ di lantai 1 JG. Saat mendapatkan penjelasan dari Luddy tentang karya instalasi tersebut, tiba-tiba Fafan memainkan biolanya dalam gesekan yang dinamis yang direspons Tunes dengan petikan-petikan senar biola (pizzicato). Sebuah respons spontan yang menarik.

Hal yang sama dilakukan Fafan saat mengamati karya drawing series berjudul ‘Pangan’. Tiba-tiba Fafan memainkan biolanya yang langsung direspons Tunes secara spontan juga. Kolaborasi saling merespons tersebut menjadi pemandangan lain dalam pameran “Wes Dho Mangan Durung?” sore itu.

Setelah memainkan sebentar karya instalasi ‘Isa Pawon Isa Warung’, Fafan dan Tunes bergeser ke sebuah ruang yang menyajikan karya instalasi berjudul ‘Gondo Roso/Genduren’.  Dalam posisi duduk bersila Tunes menembangkan kidhung yang diiringi gesekan biola Fafan.

Respons pada pameran tunggal Luddy tersebut berlanjut empat hari berselang Rabu (24/1) sore saat musisi grup musik BulanJingga Bagus Mazasupa merespons dengan permainan pianonya. Selain memainkan lagu-lagu dari album BulanJingga, Bagus membangun komunikasi dengan pengunjung pameran dengan memainkan lagu-lagu permintaan dari pengunjung. Sebuah pameran seni rupa yang direspons oleh seniman lintas disiplin seni secara mengalir bisa menciptakan dinamika baru di ruang pamer seni rupa.

Respons seni sebagai ruang ekspresi

Saat pameran tunggalnya di Jogja Gallery bertajuk “Doxa. Pupuk DP 60 Tahun” sedang berlangsung, Pupuk berkabar singkat “Silakan datang ke Jogja Gallery besok Sabtu (29/6) dan Minggu (30/6) siang-sore. Ada perform solo biola dan resital solo gitar. Dua-duanya masih duduk di bangku SMP”.

Saya langsung teringat dengan perform Fiza pada pameran Luddy Astaghis bulan Januari lalu di tempat yang sama.

Sesaat setelah pembukaan pameran Minggu (16/6) malam, dalam obrolan dengan pengunjung terbersit keinginan Pupuk mengiringi dengan musik klasik yang diputar sepanjang pameran berlangsung.

“Selama pameran berlangsung saya memang memutar lagu dari lantai atas JG. Sebagian adalah komposisi instrumen kesukaan saya. Tidak terlalu keras, samar-samar harapannya bisa memberikan nuansa lain dari pameran ini.” jelas Pupuk.

Keinginan Pupuk tersebut bersambut dengan tawaran dua remaja untuk tampil di ruang pamer dengan permainan musik secara solo-live.

Sabtu (29/6) siang saat ke JG untuk menonton, ternyata Fiza yang tampil pada sore itu.

“Materi repertoarnya berbeda dengan bulan Januari. Setelah melihat karya-karya yang dipamerkan, saya akan memainkan beberapa komposisi klasik yang saya pelajari. Kalau pameran om Luddy pilihannya bisa variatif karena karya yang dipamerkan waktu itu menurut saya lucu-lucu. Untuk pameran om Pupuk nuansanya berbeda. Lebih hening.” jelas Fiza sesaat sebelum memainkan biolanya.

Empat repertoar komposisi klasik dimainkan Fiza selama 30 menitan secara mobile dari satu karya ke karya lainnya mengalun dari biola di antara lalu lalang pengunjung yang tampak serius mengamati satu persatu karya.

“Bisa nambah pengalaman tampil. Karena suasananya tidak formal seperti di atas panggung, ini bisa menjadi latihan untuk berimprovisasi dengan lagu yang ada.” kata Fiza.

Sehari setelahnya Minggu (30/6) sore, Vicky –remaja asal Salatiga- tampil dengan resital solo gitar. Vicky yang pernah datang beberapa hari sebelumnya untuk menyaksikan karya-karya Pupuk, menyiapkan lima komposisi dengan menjadikan karya Pupuk sebagai interpretasi atas komposisi yang akan dimainkan.

Mengawali resital mininya, Vicky memainkan komposisi Tango en Skai pada sebuah ruangan di lantai satu JG yang disulap Pupuk menyerupai studio lukisnya. Saat Vicky memainkan Tango en Skai Pupuk langsung mengambil kuas-cat dan menyapukan pada kanvas kosong yang ada. Sapuan kuas Pupuk mengikuti irama yang dimainkan Pupuk. Tidak berlangsung terlalu lama komposisi tersebut, namun saling respons tersebut selain melahirkan satu karya lukisan, juga menjadi peristiwa seni yang menarik.

Perform Vicky di depan karya lukisan Pupuk DP berjudul ‘The Musician’. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Pada repertoar kedua Vicky bergeser pada sebuah karya lukisan berjudul ‘Ibuku’. Di depan karya berukuran 212 cm x 167 cm itu Vicky memainkan komposisi berjudul ‘Julia Florida’ karya Agustin Barrios. Dilanjutkan dengan repertoar ketiga di depan karya instalasi berjudul ‘Sampai Maut Memisahkan’ dan lukisan ‘Pengantin’. Di depan kedua karya tersebut Vicky memainkan komposisi yang diciptakan Tohpati berjudul ‘Jatuh Cinta’.

Pada sebuah karya instalasi dalam setting figur-figur terpenjara dalam sebuah ruangan di JG berjudul ‘Sangkar’ sebuah komposisi dari Astor Piazolla keluar dari gitar Vicky.

Vicky mengakhiri perform-nya menginterpretasi karya lukisan berjudul ‘The Musician’ dengan komposisi yang lebih dinamis dari lagu ‘Hujan Fantasi’ karya gitaris Jubing Kristianto.

 “Yang (perform) biola kemarin saya hanya dikirimi Pupuk videonya. Kalau tahu, dari kemarin saya akan datang. Harusnya ya seperti ini dilakukan pada pameran-pameran seni (rupa). Selama pameran berlangsung bisa direspons dengan seni yang lain.” kata kolektor karya seni Oei Hong Djien yang datang langsung dari Magelang saat mengetahui ada perform live solo gitar di ruang pamer JG.

Respons disiplin seni lain di ruang pameran seni rupa dalam bentuk kolaboratif ataupun berdiri sendiri-sendiri bisa menjadi tawaran lain dinamika peristiwa seni. Ruang pamer seni rupa sesungguhnya adalah sebuah gigs-stage bagi seni pertunjukan maupun disiplin ilmu lain sejak masih dalam tahap pemajangan karya. Dan memberikan kesempatan kepada anak-anak dan remaja untuk tampil pada sebuah pameran seni rupa adalah tawaran bagi mereka sebagai ruang-ruang ekspresi, ini yang jarang dimiliki dan bisa diakses. Karena setelah rutin berlatih, berikutnya adalah mempresentasikan hasil latihan.

“Ini menjadi kejutan istimewa pada pameran saya kali ini. Sekaligus hadiah untuk ulang tahun saya. Ha ha ha.” Kata Pupuk memungkasi kolaborasi seninya.

 


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    JOGJAFAMILY

    JOGJAFAMILY

    JogjaFamily 100,9 FM


    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    SOLORADIO 92,9 FM

    SOLORADIO 92,9 FM

    Soloradio 92,9 FM SOLO


    UNISI 104,5 FM

    UNISI 104,5 FM

    Unisi 104,5 FM


    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RetjoBuntung 99.4 FM


    GCD 98,6 FM

    GCD 98,6 FM

    Radio GCD 98,6 FM


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini