Gudeg.net – “Whose side are You on, Joe?”, “If You asked me, I'd say undermine South Africa's punches at Your own peril”. Percakapan dalam karya karikatur yang melibatkan figur Netanyahu (PM Israel) dengan Joe Biden (Presiden Amerika Serikat) melengkapi visual Netanyahu yang babak belur di atas ring tinju dengan lantai bergambar bendera PBB dan La Cour Internationale de Justice (ICJ) sementara Biden di bawah ring dengan seringai senyumnya.
Karya karikatur seniman Wilson Mgobhozi (Afrika) berjudul ‘South Africa vs Israel’ tersebut dipresentasikan bersama puluhan karya ilustrasi dari seniman dalam dan luar negeri di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) dalam pameran ilustrasiana bertajuk “Peace in Diversity”.
Sebelumnya karya-karya tersebut dipresentasikan di Bentara Budaya Jakarta, 25 Juni-4 Juli 2024. Dalam tema tersebut General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri dalam tulisan pengantar pameran menjelaskan bahwa presentasi tersebut sebagai ikhtiar untuk berkontribusi dalam membangun kehidupan global dengan menyadari bahwa perdamaian itu sulit diwujudkan secara total. Impian itu nyaris menjadi utopia, angan-angan, mimpi.
Pengunjung mengamati karya dalam pameran Ilustrasiana “Peace in Diversity”, Rabu (10/7) malam. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Lihat saja, bagaimana PBB kesulitan untuk mewujudkan misi perdamaian dunia, meski disokong oleh ratusan negara dan memiliki mekanisme untuk “memaksakan” agenda perdamaian di negara-negara konflik.” papar Ilham Khoiri.
Kurator pameran Beng Rahadian saat pembukaan pameran, Rabu (10/7) malam di pelataran BBY menjelaskan jika pada tahun lalu pameran ilustrasi hanya menampilkan karya-karya ilustrator lokal (dalam negeri), tahun ini pameran ilustrasi diikuti juga oleh ilustrator dari luar negeri. Keseluruhan ada 38 ilustrator dimana 11 merupakan ilustrator dari luar negeri. Mereka mengirim karya dalam bentuk digital yang kita produksi ulang (repro).
“Kartunis, komikus, digital painter sengaja kita kumpulkan. Kita tidak lagi menggunakan satu pagar yang eksklusif, tapi semua bisa dimasuki atas nama ilustrasi. Sehingga ilustrasi bukan lagi sekedar memvisualisasikan, tidak lagi mencari narasi, tapi justru bisa menciptakan narasinya sendiri.” jelas Beng Rahadian.
Beng menjelaskan telah terjadi perubahan cara baca ketika dunia sudah terhubung secara digital dengan gawai pintar sebagai pintu masuknya. Rata-rata orang melihat (informasi) sekira 15 detik sebagai acuan. Bagaimana menangkap perhatian orang dalam waktu sesingkat itu? Visual gambar menjadi salah satu jawabannya. Audio-visual maupun multimedia telah menggantikan peranti dan cara lama yang masih berkutat pada narasi teks yang sudah banyak ditinggalkan terutama pada generasi millenial dan gen Z.
Karya Li Zefeng (China) dalam pameran Ilustrasiana “Peace in Diversity” di BBY. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Perkembangan gambar bukan hanya masalah teknik, craftmanship, menggambar dengan bagus, tetapi juga bagaimana menggambar dengan maksud yang tepat dan cepat. Ketrampilan itu harus dimiliki saat ini.” imbuh Beng.
Beng mencontohkan graphic recorder, seorang ilustrator dia harus membuat notulensi atau resume pada satu meeting dalam bentuk info grafis dalam waktu yang cepat. Ketrampilan ini harus dimiliki seorang ilustrator. Ketika dia mencerna brief dia bukan hanya menuliskan dengan kata-kata tetapi menggantikan dengan gambar yang harus bisa dipahami oleh orang lain. Mereduksi narasi pada saat bersamaan memproduksi narasi baru. Kecenderungannya mengarah ke sana.
“Presiden Joko Widodo kalau rapat dengan timnya, dia tidak mengharapkan notulensi dalam bentuk teks, tapi notulensi dalam bentuk gambar atau ilustrasi. Bentuknya chart. Misalnya bicara tentang kemiskinan di Indonesia Timur bentuknya chart, bukan lagi deskripsi naskah. Karena itu sudah terlalu lama orang baca. Jadi dalam bentuk gambar. Ilustrasi punya kontribusi yang besar dalam mencerna sesuatu yang tadinya rumit bisa menjadi lebih cepat.” papar Beng.
Perdamaian dalam bahasa visual yang universal
Dalam tema “Peace in Diversity” simbol-simbol populer yang kerap mengacu pada peperangan atau perdamaian, seperti dua jari telunjuk dan tengah sebagai huruf “V” (victory:kemenangan), burung merpati dan atribut militer yakni seragam tentara dan tank banyak hadir dalam karya yang dipresentasikan.
Ilustrator asal Malaysia Arif Rafhan dalam karya batiknya berjudul ‘Peace’ secara jelas menghadirkan visual huruf ‘V’ yang terbentuk dari kepalan tangan dengan jari telunjuk dan jari tengah yang terbuka ke atas. Djoko Susilo dalam dua karya pop-art komik yang penuh warna hadir dengan dua karya berjudul ‘Damai Kami Sepanjang Hari’ dan ‘Harmoni’. Atau Ika W Burhan dengan drawing berjudul ‘Love w-AR-T’ dengan figur dua anak menggambar tanaman bunga dengan batang bunganya berupa senapan serbu.
Sebuah karya dengan citraan dominan warna merah dibuat Thomdean berjudul ‘21XX Future series’ seolah menjadi antitesis atas adagium 'Si Vis Pacem Parabellum’ dengan menghadirkan kerangka-tengkorak kedinginan dalam balutan selimut dan berpagar misil, tank, serta dihangatkan oleh api unggun dari senapan serbu. Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang?.
Ilustrasi infografis karya Agah Nugraha Muharam. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Tidak semua karya ilustrasi yang dipamerkan di BBY menyoal langsung pada damai-perdamaian. Alim Bakhtiar menghadirkan ilustrasi dari novel dongeng anak ‘Sriti Wani’ yang dibuatnya pada tahun 2020. Novel dongeng anak Sriti Wani terbagi dalam dua puluh chapter dilengkapi dengan ilustrasi karya sebanyak 70-an yang dibuat sendiri oleh Alim.
Komikus Toni Masdiono mempresentasikan karya drawing yang menjadi ilustrasi novel karya Leila S. Chudori berjudul ‘Namaku Alam’. Sementara komikus Damuh Bening (Bali) justru mengeksplorasi medium ampas kopi dalam karya ilustrasi. Dalam catatan karya Damuh Bening menuliskan : “Dualitas. Dualitas adalah dua hal yang selalu berbeda namun saling melengkapi, seperti siang-malam, laki-perempuan, pahit-manis dan lainnya. Keindahan senantiasa tampil sempurna ketia visual yang disajikan memuat dualitas dengan baik. Dan ini artinya dualitas ketika disatukan dengan baik maka akan menyajikan visual yang indah. Keseimbangan adalah wujud dualitas menjadi visual yang cantik.”. Eksplorasi akar tradisi Bali masih menjadi ketertarikan Damuh Bening pada karya-karya komik dan ilustrasinya.
Seniman Emmanuel Lemaire (Prancis) menampilkan ilustrasi yang simpel berjudul ‘A Women is Reading on the Rooftop’ dalam seluruh citraan garis-garis hitam-putih kecuali figur perempuan yang sedang membaca buku. Sesederhana itu damai yang ditawarkan Lemaire.
Jika mengaitkan perang-peperangan dengan perdamaian, dalam pameran ilustrasiana ‘Peace in Diversity’ justru hadir karya karikatural dan karya paradoksal tentang peperangan sebagai kritik dan protes yang satire namun lucu seperti karya LiuKe (China) berjudul ‘The Conflict About the New Border’.
Pengunjung mengamati karya dalam pameran Ilustrasiana “Peace in Diversity”, Rabu (10/7) malam. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Ilustrasi sebagai informasi dalam dua dekade terakhir kerap digunakan media massa dalam bentuk infografis untuk menarik sekaligus memudahkan pembaca dalam memahami berbagai alur kejadian dan tidak jarang dilengkapi pula dengan data-angka pendukungnya. Ilustator Agah Nugraha Muharam dalam sebuah workshop ekonomi hijau dimana sengketa lahan akan bermuara pada krisis iklim mikro-makro. Pada selembar kertas samson berukuran 60 cm x 90 cm Agah membuat alur-chart secara lengkap menjadi ilustrasi infografis.
Tragedi dari sebuah peperangan menjadi pesan yang mudah disampaikan namun susah untuk direalisasikan atau dipahami oleh mereka yang berburu kekuasaan. Pada karya berjudul ‘Childhood’ dengan sembilan anak yang bermain riang gembira di sebuah tank bekas perang, seniman Li Zefeng (China) bahkan memberikan ilustrasi kegembiraan anak-anak di atas bekas mesin pembunuh yang mungkin telah merenggut ratusan jiwa musuhnya. Sebuah paradoks, tank bekas menjadi gameland bagi anak-anak tanpa mereka tahu ada cerita apa di balik seonggok mesin pembunuh tersebut.
Pengunjung mengamati karya dalam pameran Ilustrasiana “Peace in Diversity”, Rabu (10/7) malam. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Ini mengingatkan pada seniman muda asal Afghanistan Amin Taasha yang menjadi penyintas kekerasan-peperangan di Bamiyan (Afghanistan). Pada sebuah pameran tunggalnya Februari 2023 di Redbase Foundation-Yogyakarta, Amin mengisahkan : “Ketika saya masih kecil, kami biasa mengumpulkan amunisi, roket, dan bom bekas yang tersisa dari berbagai konflik. Kami akan membawanya kembali ke ayah saya yang tahu cara menjinakkan senjata ini. Beberapa bagian dijual sebagai besi tua, yang lain menjadi hiasan di sekitar rumah kami, seperti bom yang digunakan sebagai pot bunga. Bagian yang tersisa menjadi mainan kami, favorit khususnya adalah roket karena memiliki parasut mini.”
Sebuah ingatan yang getir bahkan peluru roket menjadi mainan favorit anak-anak di medan peperangan.
Pameran ilustrasiana bertajuk “Peace in Diversity” berlangsung hingga 17 Juli 2024 di BBY, Jalan Suroto No. 2 Kotabaru, Yogyakarta.
Kirim Komentar