Gudeg.net – Empat karya drawing ukuran besar dan sembilan lukisan ukuran sedang terpajang di antara jaring paranet yang tergantung bersama joran pancing sepanjang 4 meteran lengkap dengan reels-nya di atap ruangan. Melihat sekilas objek karya yang didominasi dengan ikan-ikan pelagis, dipastikan kreator karya tersebut adalah orang yang mencintai dunia memancing.
Karya-karya tersebut merupakan karya seniman Norman Hendrasyah atau biasa dipanggil Hendy.
“Yang drawing itu karya lama. Saat mulai mencoba melukis, saya mengawali dari situ (drawing). Sebenarnya lebih menyalurkan hobi saja.” jelas Hendy saat pembukaan pameran tunggal, Jumat (8/11) sore.
Mengangkat tajuk “My LifLine”, pameran yang berlangsung di G Printmaking Jalan Letjend. Soeprapto No. 60 Ngampilan Yogyakarta menjadi pameran tunggal perdananya berlangsung 8-17 November 2024.
Hendy berlatar belakang desain interior. Meskipun sering mengikuti pameran bersama, namun itu dilakukan untuk menjalin srawung di antara sesama seniman di Yogyakarta dan sekitarnya sehingga secara kekaryaan Hendy hampir-hampir jarang muncul ke permukaan.
Hendy (kaos hitam) memberikan penjelasan karya kepada pengunjung, Jumat (8/11) sore. (foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Dari pilihan objek karya, ada hal menarik ketika Hendy memilih ikan-ikan pelagis sebagai objek lukisannya. Sebagai orang yang menggemari dunia memancing, objek tersebut sangat dekat dengan kesehariannya.
Menarik ketika Hendry mengeksplorasi medium pensil untuk drawing-nya. Sebagian besar karya drawing biasanye memanfaatkan kombinasi pensil, charcoal (arang), ballpoin, tinta, ataupun medium cat lainnya. Pada keempat karyanya untuk menghasilkan detail dalam ukuran yang besar Hendry memanfaatkan sepenuhnya pensil warna hitam.
“Waktu membuat drawing itu memang lagi senang pakai pensil. Sampai sekarang belum mencoba lagi medium lainnya. Kalau di-mix dengan charcoal atau yang lain hasilnya akan berbeda. Kapan-kapan saya coba. He he he ...” jelas Hendry
Berbeda dari kebanyakan lukisan tentang ikan yang lebih banyak mengeksplorasi ragam ikan hias air tawar ataupun karya kartun komikal tentang ikan, Hendy justru melukis ikan-ikan pelagis besar secara detail namun tidak khusus untuk keperluan ilustrasi iktiologi, yang memuat informasi dan data sebagaimana ilustrasi botani pada tumbuhan. Begitupun, Hendry tidak sedang menawarkan wacana tentang hasil tangkapan ikan segar-besar bagi peningkatan perekonomian nelayan meskipun secara citraan detail karya dalam series Pelagic menggambarkan anatomi ikan tersebut secara detail.
Dalam karya berjudul ‘Mr and Mrs Pelagic’ Hendry membuat karya dengan membandingkan dua ikan tuna yang bisa jadi berjenis kelamin beda. Begitupun pada ‘Pelagic #1’ yang menggambarkan detail ikan Bawal Putih. Kedua jenis ini banyak terdapat di perairan lepas pantai Indonesia termasuk Pantai Selatan Jawa. Namun keterbatasan sarana tangkap, hanya nelayan atau pemilik kapal ukuran sedang-besarlah yang banyak melakukan penangkapan jenis tersebut. Sementara nelayan subsisten hanya mampu menangkap ikan sejauh perahu-kapal yang mereka miliki mampu menjangkau wilayah pinggir lautan yang tidak terlalu banyak ikan pelagis.
Pada karya berjudul ‘Save Us’ dengan rantai makanan saling memangsa terus terjadi di alam. Begitupun dalam dunia ikan dimana ikan predator akan memangsa ikan yang lebih kecil sebagaimana digambarkan Hendy dimana Ikan Baramundi atau dikenal juga dengan nama Ikan Kakap sedang mengepung sekawanan Ikan Makarel. Dalam perspektif lain, manusia adalah penghuni puncak piramida matarantai makanan di alam dimana kelas kakap sering dijadikan simbol untuk menggambarkan kekuatan, kekuasan, dan penghegemonian manusia atas manusia lainnya.
Menarik mengamati dua karya berjudul ‘Resilience’ dan ‘Never Give Up #2’. Dalam lukisan kolase dengan mixed medium, Hendy mencoba menggambarkan bagaimana peran manusia dengan segala perkembangan teknologi dan industri justru kerap membuat kerusakan bagi alam yang sesungguhnya menjadi sumber bagi kehidupan dan penghidupan manusia.
Perkembangan wilayah perkotaan-perdesaan kerap menilbulkan pencemaran akibat sampah-limbah industri dan domestik yang bermuara pada wilayah perairan sungai-laut yang menjadi eksosistem biota air dan menjadi pendukung kehidupan manusia. Sebuah ironi dari perkembangan wilayah yang tidak terhindarkan dan jarang diantisipasi secara serius. Pada dua karya tersebut secara tidak sengaja Hendy memotret realitas sosial-lingkungan.
Never Give Up #2 (kiri), Resilience (kanan) – mix medium di ata kanvas – 2023 - Norman Hendrasyah. (foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Tangkapan Ikan Besar untuk Siapa?
Disadari ataupun tidak, “My LifeLine” justru bisa membawa satu pemahaman tentang bagaimana Indonesia sebagai negara kepulauan sebenarnya memiliki potensi perikanan-kelautan yang besar. Hasil tangkapan ikan laut di Indonesia bagian Timur hingga saat ini belum secara optimal meningkatkan perekonomian nelayan kecil. Dan itu dialami juga oleh banyak nelayan kecil di berbagai wilayah di Indonesia akibat tidak terserap pasar domestik maupun luar negeri dimana sarana distribusi-transportasi yang tidak terlalu mendukung sehingga banyak tangkapan ikan segar akhirnya terbuang percuma karena membusuk. Kondisi ini tentu berkebalikan dengan kebutuhan ikan segar yang belum tercukupi secara merata di wilayah Indonesia. Terpaksanya dibuang ataupun diawetkan agar bisa dikirim ke tempat lain.
Survei yang dilakukan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia pada tahun 2022 menunjukkan sebagian besar dari usaha perikanan Indonesia itu berskala kecil (nelayan kecil atau tradisional) dengan rasio 96% dari 2,1 juta total usaha perikanan di Indonesia. Sebanyak 20-30% produksi hasil nelayan kecil tidak terserap oleh pasar. Di sisi lain industri pengolahan seringkali kesulitan mencari bahan baku. Salah satu penyebab permasalahanya adalah rantai pasok yang masih didominasi oleh tengkulak yang mengendalikan harga dan jumlah komoditas perikanan di pasar.
Indonesia merupakan produsen ikan tangkap laut lepas kedua terbesar setelah Republik Rakyat China, memenuhi 25% dari permintaan perikanan di dunia. Selain berperan untuk dunia, sektor perikanan juga memberikan nutrisi dan sumber pemasukan bagi masyarakat di Indonesia.
Nilai ekspor sektor perikanan di Indonesia berjumlah USD 6,24 miliar di 2022 dan komoditas utama perikanan Indonesia adalah udang, rajungan-kepiting, Cumi-Sotong-Gurita, dan Tuna-Tongkol-Cakalang. Konsumsi ikan Indonesia juga menunjukan tren yang terus meningkat, sejalan dengan peningkatan penduduk di Indonesia. Dari total protein hewani yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, ikan berkontribusi sebesar 50%.
Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2017 menyebutkan kontribusi ikan terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia tentunya tidak lepas dari dampak terhadap biota dan ekosistem laut. Sejak 2017, pertumbuhan ikan tangkap laut lepas di Indonesia tidak melebihi 6%. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa 75% area penangkapan ikan sudah sepenuhnya tereksploitasi atau tereksploitasi secara berlebihan. Hal ini mencemaskan, karena produksi ikan tangkap laut lepas berkontribusi sebesar 57% dari total produksi makanan laut Indonesia.
Perkembangan sektor budidaya juga perlu perhatian karena menggunakan lahan pesisir. Aktivitas tersebut berpotensi mendegradasi hutan bakau dan padang lamun. Indonesia sedang mengembangkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) untuk mengatur penggunaan lahan pesisir dan lautan. Beberapa waktu lalu pegiat lingkungan di Karimunjawa, Jepara dikriminalisasi akibat penolakan pada tambak udang yang menggangu ekosistem perairan di sana.
Selain itu, budidaya juga kerap membuang air sisa ternak, sehingga dibutuhkan regulasi untuk memastikan pengelolaan air limbah agar tidak mencemari lingkungan. Pada saat ini, belum ada standar yang jelas tentang pengelolaan limbah budidaya perikanan dan dibutuhkan tolak ukur yang tepat untuk mengatur kapasitas pembuangan badan air tertentu.
Ikan pelagis besar serta lobster (udang karang) banyak ditemui di perairan dalam Indonesia. Selain gizinya yang tinggi, nilai ekonomi ikan pelagis besar juga tinggi. Tidak mengherankan, harga seekor ikan Tuna yelllowfin bisa mencapai harga mobil Alphard baru. Namun untuk mendapatkan tangkapan ikan pelagis besar memerlukan keahlian khusus, dukungan alat tangkap dan teknologi yang memadai. Keterbatasan alat tangkap dan juga teknologi, meyebabkan sebagian besar nelayan di Indonesia hanya melaut pada beberapa ratus meter dari pantai, yang itu artinya terbatas juga daerah dan hasil tangkapan dan belum menjangkau pada tengah perairan laut dalam yang banyak terdapat ikan pelagis.
Kalau ingin mendapat ikan yang besar, diperlukan umpan yang besar pula. Pepatah tersebut seolah menjadi gambaran bagaimana peraran Indonesia perlu modal besar agar termanfaatkan secara optimal: SDM, SDA, sarana-prasarana, permodalan untuk nelayan. Peta jalan (roadmap) hilirisasi bahan mentah telah disusun hingga 2040 yang mencakup 21 komoditas, empat jenis di antaranya dari sektor perikanan yang meliputi udang, ikan, rajungan dan rumput laut. Peta jalan ini diharapkan dapat mengoptimalkan sumber daya alam dan mendorong pendapatan per kapita penduduk.
Jangan sampai hilirisasi sektor perikanan hanya menjadi bentangan karpet merah bagi ‘kelas kakap’ untuk semakin menguasai hajat hidup orang banyak atas sumberdaya lautan-perairan di Indonesia, sementara nelayan kecil hanya menjadi penonton atas orkestrasi yang sedang berlangsung.
Kirim Komentar