Seni & Budaya

“Deluwang”, Budaya Menulis yang Mengubah Peradaban Manusia

Oleh : Moh. Jauhar al-Hakimi / Kamis, 30 Januari 2025 16:48
“Deluwang”, Budaya Menulis yang Mengubah Peradaban Manusia
Pameran seni kertas “Deluwang” di Bentara Budaya Yogyakarta, 23 Januari-1 Februari 2025. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Gudeg.net – Penemuan teknologi mesin cetak di masa lalu telah turut mengubah perjalanan peradaban manusia. Dengan adanya mesin cetak, informasi penting yang menyangkut ilmu pengetahuan, kabar berita, dokumen penting lainnya, bisa digandakan dan didistribusikan sehingga menyebar dan dapat dibaca publik luas.

Mesin cetak yang ditemukan dan dikembangan oleh Johannes Gutenberg pada abad ke-15 seakan melengkapi penemuan kertas yang telah hadir pada abad pertama. Dalam perkembangannya mesin cetak dan kertas adalah dua elemen penting yang tidak terpisahkan dan mengubah perjalanan peradaban manusia hingga saat ini.

Berkat mesin cetak yang berhasil diciptakan Gutenberg pada pertengahan abad ke-15 atau sekitar tahun 1450, masa-masa the darkness (era kegelapan) yang melanda dunia tergantikan menjadi masa-masa the lightness (era terang benderang).

Kertas deluwang produksi tahun 1905 (kiri) dan produksi tahun 2025 (kanan). (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Budaya menulis sendiri pertama kali ditemukan sekira tahun 3.000-an SM pada Bangsa Sumeria di Mesopotamia dengan aksara paku yang dituliskan di atas sabak (tablet) yang terbuat dari batu kapur. Sementara lukisan gua (cave painting) ditemukan jauh sebelumnya diantaranya lukisan yang ditemukan di Leang Karampuang, Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan, Indonesia. Lukisan gua tersebut diperkirakan berusia sekitar 51.200 tahun.

Sebelum ditemukan kertas, pencatatan dilakukan pada medium keras semisal batu, kayu, tanah liat, tulang, rontal, bambu, kulit binatang, ataupun logam dengan berbagai teknik. Bangsa Mesir lebih dulu mengenal medium lembaran papirus/papyrus dari tanaman Cyperus papyrus yang banyak tumbuh di delta Sungai Nil. Penemuan papirus sebagai medium tulis turut mendorong perkembangan ilmu pengetahuan secara signifikan membawa Bangsa Mesir Kuno lebih maju dibanding bangsa-bangsa lain sejamannya. Ilmu pengetahuan dan peradaban Mesir Kuno menyebar mulai dari jazirah Timur Tengah hingga Romawi (Eropa).

Hingga akhirnya Cai Lun berhasil membuat kertas dari kulit kayu murbei yang dilunakkan dengan merendam dan memukul hingga dihasilkan bubur dengan campuran Rami (Boehmeria nivea), kain, dan dibentuk menjadi lembaran yang tipis. Teknik pembuatan bubur kertas inilah yang sampai saat ini digunakan untuk membuat kertas. Penemuan Cai Lun pada awal abad ke-2 tersebut tertulis secara resmi dalam dokumen Dinasti Han. Dalam perjalanannya penggunaan kertas untuk medium tulis justru berkembang di jazirah Arab dan Persia.

Buku Macapat – Deluwang Ponorogo. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Kertas dan jejak peradaban di nusantara

Selama sepuluh hari (23 Januari-1 Februari 2025), Bentara Budaya Yogyakarta menggelar pameran seni kertas “Deluwang”. Berbagai benda hasil tulis-cetak-lukis dengan medium kertas di Indonesia dalam rentang waktu dipamerkan untuk memberikan sedikit gambaran penggunaan kertas di Indonesia mulai dari buku, kalender, materi promosi, dokumen penting, hingga medium untuk karya seni.

Dalam pameran seni kertas “Deluwang” dipamerkan naskah kuno ataupun replikanya diantaranya Manuskrip Rama Sungging Gambar Wayang Gaya Jogja dengan watermark van Gelder yang dibuat sekira tahun 1800-an,  Buku Macapat dengan bahan Deluwang Ponorogo,  Sertifikat masa Jepang, souvenir lukisan pemandangan dengan gaya Eropa yang dibuat tahun 1930-an, buku Historiche Beschryving der Reizen Twintigstede cetakan tahun 1700-an.

Meskipun tidak terlalu lengkap dipamerkan, adanya beberapa spesimen/buku kuna terutama yang menggunakan kertas tradisional deluwang memberikan gambaran bagaimana kertas di nusantara sudah cukup lama digunakaan walau tidak merata pada semua lapisan masyarakat. Kertas dan budaya menulis -dan tentunya budaya membaca- telah mendorong masyarakat menjadi melek huruf.

Di Indonesia setidaknya ada tiga pabrik kertas yang sudah beroperasi sebelum kemerdekaan RI. Ketiga pabrik kertas tersebut adalah Pabrik Kertas Padalarang, Pabrik Kertas Letjes, dan Pabrik Kertas Blabak.

Alat pembuat kertas deluwang. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Pabrik Kertas Padalarang tercatat sebagai pabrik kertas tertua di Indonesia. Pabrik yang berada di Padalarang (Bandung Barat) ini dikenal sebagai produsen kertas untuk keperluan khusus terutama kertas berpengaman (security paper). Pada tahun 2009 PT Kertas Padalarang diakusisisi oleh Perum Peruri  (Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia) dan menjadi anak usaha Peruri dengan nama Peruri Security Paper Mill.

Pabrik Letjes yang berada di Probolinggo (Jawa Timur) pada masanya banyak memproduksi kertas berbahan jerami, sementara pabrik kertas Blabak yang berada di Mungkid, Muntilan memproduksi kertas dengan bahan bambu. Belakangan Pabrik Kertas Blabak diakuisisi oleh menjadi Pabrik Kertas Basuki Rachmat Indonesia, sementara Pabrik Kertas Letjes karena tidak bisa berkembang setelah mengalami pailit pada tahun 2018 akhirnya ditutup pada tahun 2023.

Diluar ketiga pabrik kertas tersebut, industri kertas di Indonesia mulai berkembang sejak tahun 1980-an awal sejak berakhirnya booming logs (kayu bulat) dibatasi dan diarahkan pada pengembangan hutan tanaman industri (HTI). Salah satu pabrik kertas adalah Indah Kiat yang dibangun berada di Perawang, Siak (Riau) yang mulai beroperasi sejak tahun 1977 dan diresmikan menjadi pabrik pulp-paper sejak tahun tahun 1984.

Buku Macapat – Deluwang Ponorogo. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Untuk keperluan bahan baku pulp-paper, pabrik kertas Indah Kiat didukung dengan area HTI seluas 300.000 hektar dengan tanaman pokok akasia (Acasia mangium). Kebutuhan kertas yang terus meningkat baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor mendorong perusahaan swasta membangun diantaranya Tjiwi Kimia, Asia Pulp & Paper, Kertas Atjeh Kraft, Toba Pulp Lestari. Industri tersebut memproduksi pulp dan kertas untuk berbagai keperluan diluar medium tulis seperti kertas tisu, kertas pembungkus, kertas karton/kardus.

Data Kementerian Perindustrian RI (2024) menyebutkan konsumsi kertas per kapita di Indonesia baru mencapai 32 kg per tahun. Artinya pasar pulp dan kertas masih memiliki potensi besar untuk berkembang. Selain itu, adanya tren green lifestyle yang semakin populer mendorong penggunaan kertas sebagai material kemasan ramah lingkungan menggantikan plastik. Hal ini juga membuka peluang untuk Indonesia meraih pasar baru, baik di dalam negeri maupun global. Dengan kapasitas terpasang pulp meningkat dari 10 juta ton per tahun menjadi 12,3 juta ton per tahun pada tahun 2024, sementara kapasitas produksi kertas meningkat dari 18,2 juta ton menjadi 20,86 juta ton per tahun pada periode yang sama, industri pulp dan kertas Indonesia menjadi salah satu pemain penting pulp dan kertas dunia.

Jika menilik sejarah masa lalu, bisa dikatakan bangsa di nusantara (Indonesia) relatif tertinggal dalam penggunaan kertas dibanding bangsa lain semisal Cina, Persia, Timur Tengah, Eropa, ataupun Mesir. Meski demikian, ada hal menarik dari jejak kertas di nusantara yang ditengarai sudah diproduksi dan digunakan sejak abad ke-7.

Persentuhan pertama kali bangsa di nusantara dengan kertas tidak berhubungan dengan budaya tulis yang berkembang saat itu. Budaya tulis sudah dikenal sejak abad ke-5 dengan bukti temuan-temuan prasasti Tarumanegara serta yupa dari Kerajaan Kutai. Ketika itu kertas belum menjadi medium untuk menulis.

Persentuhan bangsa-bangsa nusantara dengan kertas (pabrik) diperkirakan terjadi sejak abad ke-13. Pertama kali kertas pabrik masuk ke nusantara didatangkan oleh pedagang yang berasal dari Gujarat. Selanjutnya, persentuhan Indonesia dengan kertas pabrik semakin mendalam pada zaman masuknya Vereenigde de Oost Indische Compagnie (VOC), organisasi dagang yang didirikan orang-orang Belanda pada 1602. VOC mendatangkan kertas pabrik ke Indonesia yang berasal dari negara-negara Eropa.

Penggunaan kertas untuk karya tulis sudah dilakukan di lingkungan Kesultanan Banten, salah satunya dengan bukti sebuah naskah dari bahan kertas, yakni Sajarah Banten yang dibuat pada tahun pada 1662-1663. Ini menjadi salah satu bukti kertas sudah menjadi media ekspresi komunikasi tertulis yang telah dikenal lama oleh masyarakat pribumi nusantara.

Kerajaan Mataram Islam memiliki naskah-manuskrip yang memanfaatkan kertas sebagai mediumnya. Sebagian besar naskah-manuskrip tersebut dijarah kolonial Inggris saat terjadi Geger Sepehi dimana sebagian besar naskah-manuskrip dan juga harta Keraton Yogyakarta ketika itu dibawa ke Eropa. Sejak tahun 2017 naskah-manuskrip kuno Keraton Yogyakarta dikembalikan secara bertahap oleh pihak British Library kepada Keraton Yogyakarta diantaranya sebanyak 75 naskah/manuskrip kuno Keraton Yogyakarta diserahkan kembali kepada pihak Keraton.

Kertas digunakan untuk sertifikat masa Jepang. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Sebagai catatan, pada Geger Sepehi tahun 1812 pasukan Inggris yang meliputi tentara Eropa, Sepoy atau Spei (India), serta Legiun Mangkunegaran menyerang dan menguasai Keraton Yogyakarta. Pada masa lalu ada hukum perang di Eropa yang membolehkan bala pasukan menjarah negara jajahan bila menang perang. Pasukan Inggris menjarah keraton dan mengambil naskah-naskah yang tersimpan untuk dibawa ke Inggris. Jumlah naskah-naskah yang dibawa diperkirakan lebih dari 7000 buah. Naskah-naskah tersebut bervariasi, mulai dari daftar kepemilikan tanah hingga manuskrip istana. Hanya ada dua naskah yang tersisa yakni naskah Kyai al-Quran dan Serat Suryaraja yang disimpan di Gedung Prabayeksa, Keraton Yogyakarta.

Naskah-naskah kuno milik Keraton Yogyakarta tersebut adalah salah satu yang mereka jarah. Selain isi naskah yang memuat sejarah maupun dokumen penting Keraton Yogyakarta, secara visual tampilan naskah/manuskrip tersebut sangat menarik: bertuliskan aksara Jawa, dilengkapi dengan border line pada setiap halaman dengan dekoratif warna-warni, serta memilik sampul hardcover berwarna dengan ornamen tinta emas (prada). Naskah kuno dengan penyajian visual demikian bisa dikatakan melampaui jamannya, mengingat teknologi pencetakan pada tahun 1800-an masih belum banyak berkembang terlebih dengan pencetakan warna.

Hingga tahun 2019 naskah kuno Keraton yang dikembalikan sudah didigitalkan sebagai arsip-dokumentasi melengkapi naskah aslinya. Kurang lebih ada sekitar 50.000 lembar naskah digital yang sudah jadi. Masih ada  satu jutaan lembar naskah kuno Keraton yang sedang dipersiapkan untuk didigitalkan.

Sejaman dengan itu pada masa selanjutnya terbit surat kabar pertama Bataviaasce Koloniale Courant. Surat kabar yang terbit pertama kali, Jumat, 5 Januari 1810 ini berusia relatif singkat. Saat Inggris masuk dan berkuasa di Indonesia pada 1811, surat kabar ini memilih tutup. Inggris sendiri pada 29 Februari 1812 kemudian membuat surat kabar baru, The Java Government Gazette.

Saat Belanda kembali menguasai berbagai wilayah nusantara, penggunaan kertas untuk kepentingan surat kabar kembali meningkat dengan hadirnya surat kabar yang terbit baik di Batavia maupun di luar Batavia diantaranya Bataviasche Courant , yang mulai terbit 20 Agustus 1816, Bataviaasche Advertentieblad (1827), Javasche Courant (1829), Soerabaja Courant (1833), Soerabajasch Advertentieblad (1836), Soerabajasch Handelsblad (1866-1957), Bataviaasch Nieuwsblad (1885-1935), A.I.D Preangerbode (Bandung, 1896- 1957), Deli Courant (1885), Sumatra Post (Medan, 1899-1950), Atjeh Blaadje (1900), Palembangsch Nieuwsblad, Java Bode (1852-1956), De Locomotief (Semarang,1864-1956) , De Orient, dan Makassaarche Courant (Makasar, 1895- 1942).

Memasuki abad ke-20 muncul fenomena baru dalam pemanfaatan kertas di kalangan masyarakat Eropa di Indonesia dengan memanfaatkan kertas sebagai ekspresi komunikasi visual dengan penggunaan kertas sebagai media pembuatan komik di dalam surat-surat kabar yang dikelola orang-orang Belanda, diantaranya komik Flifje Flink karya Clinge Doorenbos dalam Java Bode dan komik Flash Gordon dalam De Orient.

Di kalangan pribumi, pemanfaatan kertas lebih banyak digunakan oleh pejabat pribumi (bupati, patih, dan wedana) sebagai alat komunikasi-korepondensi yang mendapatkan angin segar setelah kolonial Belanda pada abad ke-19 membangun jaringan kantor pos di Pulau Jawa dimulai dengan kantor pos pertama di Cianjur pada tahun 1821.

Sebelumnya kantor pos sudah dibangun di Batavia (Jakarta) pada tahun 1746. Pemanfaatan kertas sebagai media korespondensi semakin meningkat seturut dengan peningkatan pelayanan jasa pos di semua kantor pos di Pulau Jawa seperti Batavia, Buitenzorg, Sumedang, Cirebon, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Rembang, Tuban, Gresik, dan Surabaya.

Vale - Souvenir Lukisan Pemandangan - Gaya Eropa - water color on paper ± 1930. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Selain untuk keperluan kedinasan, kertas (pabrik) banyak digunakan di kalangan pergerakan sebagai media penerbitan surat kabar. Surat kabar Soenda Berita  diterbikan dengan dukungan Bupati Cianjur R.A.A. Prawiradirja II (1862-1910). Selain Soenda Berita, terbit pula surat kabar di kalangan pribumi diantaranya Bromartani (1856-1910), Darmawarsita (1876-1880), Djoeroemartani (1865- 1870), Retnodhoemilah (1895-1909), Darmakanda (1904-1910), Susadara (1900- 1905), Medan Prijaji (Bandung, 1907), Djawikanda (1910) Oetoesan Hindia (Surabaya, 1914) dan Neratja (Batavia, 1917).

Pada zaman Jepang, penggunaan kertas sebagai media pembuatan komik tampak muncul dalam surat kabar Sinar Matahari, yang terbit di Yogyakarta. Ada dua komik yang dimuat surat kabar tersebut, yakni Pak Leloer dan Legenda Roro Mendut.

Di samping terjadi perluasan pemanfaatan kertas dari media komunikasi tertulis ke media komunikasi visual, pemanfaatan kertas pada awal abad ke-20 ini ditandai pula oleh semakin meluasnya penggunaan kertas sebagai media komunikasi tertulis.

Pemanfaatan kertas sebagai medium komunikasi tertulis pada akhirnya merambah ke dunia pendidikan seiring dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan modern yang dibentuk oleh kalangan pergerakan pribumi pada empat dasawarsa abad ke-20 seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, Paguyuban Pasundan, Kstarian Instituut, dan Taman Siswa. Penggunaan kertas sebagai medium komunikasi tertulis di dunia pendidikan oleh pergerakan pribumi inilah yang banyak mendorong tersebarnya ilmu pengetahuan dan informasi pada publik yang lebih luas di luar pejabat pribumi.

Rama sungging - Gambar Wayang Gaya Jogja - watermark van gelder ± 1800. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Memasuki kemerdekaan, secara umum, pemanfaatan kertas masih mengikuti pola penggunaan penggunaan kertas semasa prakemerdekaan, yakni sebagai media ekspresi komunikasi tertulis dan media ekspresi komunikasi visual.  

Setahun setelah Indonesia merdeka, beberapa seniman grafis di antaranya Mochtar Apin, Baharoedin Marasutan, dan kawan-kawan membuat karya grafis yang digunakan sebagai kenang-kenangan oleh negara kepada negara sahabat yang turut mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia tahun 1945. Ketika itu dibuat 36 set booklet Linoleographs yang berisi 10 karya Mochtar Apin dan 9 karya Baharudin Marasutan. Ke-36 set booklet tersebut dihadiahkan kepada negara sahabat sekaligus sebagai kelanjutan diplomasi saat itu.

Sejak tahun 1960-an, kertas banyak dimanfaatkan untuk medium pembuatan karikatur dan kartun. Sejumlah nama karikaturis dan kartunis berhasil menjadikan karyanya sebagai trade mark pada beberapa media massa, seperti Dwi Kundoro dengan Panji Koming-nya dan GM Sudharta dengan Oom Pasikom-nya dalam Kompas, Didin Basuni dengan Mang Ohle-nya dalam Pikiran Rakyat, Keliek Siswoyo dengan Doyok-nya dalam Pos Kota, dan Bambang Sugeng dengan Mat Karyo-nya dalam Suara Karya. Seniman grafis Setiawan Sabana sejak tahun 1980-an menggunakan kertas sebagai ekspresi seni grafisnya salah satunya dengan karya berjudul ‘Monumen Kertas’ dipamerkan di berbagai kota besar di Indonesia dan kota-kota besar lain di luar negeri.

Pada masa selanjutnya pemanfaatan kertas berkembang lebih luas seturut dengan perkembangan teknologi alat-mesin cetak dimana kertas menjadi medium utama untuk mencetak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pula yang telah memakan anaknya sendiri kertas dan mesin cetak ketika hadir teknologi cetak digital yang bisa menggunakan berbagai medium cetak di luar kertas.

Disrupsi teknologi digital dan jejaring internet dalam perkembangan saat ini telah mengubah pula cara pandang dan cara baca sebagian besar masyarakat sehingga cetak fisik (dalam medium kertas dan lainnya) bukan lagi pilihan utama untuk moda distribusi informasi dan ilmu pengetahuan yang semakin paperless.

Hari ini budaya kertas memasuki babak baru dalam dalam skema ekonomi-industri kreatif dalam berbagai bentuk. Setidaknya pada masanya budaya kertas -dengan budaya menulis-membaca yang menyertainya- telah berkorelasi dengan semakin meningkatnya angka melek huruf (literacy rate) di kalangan masyarakat.

Deluwang, kertas nusantara yang tersisa

Dari artefak Tarumanegara dan Kutai, budaya tulis di nusantara tidak bersentuhan langsung dengan kertas. Beberapa sumber menyebutkan penggunaan kertas di nusantara kertas pertama kali telah di buat di Wengker atau Ponorogo sejak abad ke-7 yang dibuat dari kulit kayu pohon setempat. Kertas yang biasa disebut deluwang tersebut dipergunakan sebagai media menulis para biksu yang belajar agama Buddha di kerajaan Sriwijaya hingga Mataram Kuno.

Deluwang digunakan sebagai media tulis naskah kuno dan wayang beber. Bukti keberadaan deluwang ditemukan pada naskah kuno Kakawin Ramayana yang berasal dari abad ke-9. Dalam naskah tersebut disebutkan pula deluwang digunakan sebagai bahan pakaian pandita.

Persentuhan bangsa-bangsa di nusantara dengan kertas bisa jadi baru dimulai sesudah budaya tulis lama dikenal di Indonesia. Terdapat dua jenis kertas pada masa-masa awal persentuhan Indonesia dengan kertas, yakni kertas tradisional dan kertas pabrik.

Kertas tradisional adalah kertas hasil kreasi bangsa Indonesia yang dibuat melalui cara-cara tradisional dengan bahan mentah yang umumnya terbuat dari kulit kayu. Sebagai contoh, kertas tradisional yang bernama daluang, yang dibuat dengan menggunakan bahan dasar dari kulit kayu pohon Paper Mulberry (Broussonetia papyrifera vent) atau yang dalam tradisi masyarakat Sunda dikenal dengan nama pohon Saeh, Jawa (glulu/galugu), Madura (Dhalubang/dhulubang), dan di Sumba Timur dikenal dengan nama Kembala.

“Kemarin dikasih pinjam beberapa manuskrip dengan kertas deluwang, peralatan pembuat deluwang. Serta beberapa lembar deluwang produksi terbaru (2025) yang dibuat oleh Rosidatin. Pembuat deluwang asal Ponorogo yang masih tersisa.” jelas salah satu kurator BBY Hermanu saat pembukaan pameran seni rupa “Deluwang”, Kamis (23/1) malam.

Hermanu menambahkan saat ini penggunaan deluwang terbatas untuk bahan pembuatan wayang beber serta sampul buku. Keterbatasan penggunaan tersebut menjadi kendala dalam regenerasi pebudidaya kertas deluwang.

“Prinsip pembuatannya sederhana. Batang-kulit tanaman deluwang dikupas kemudian direndam air 2-3 hari agar menjadi lunak. Setelah itu kulit tersebut dipukul menggunakan alat pemukul (kimplong) dari kuningan. Semakin lama dipukul, lembaran yang dihasilkan bisa menjadi semakin tipis. Bu Rosdiatin menjelaskan pemukulannya dilakukan bisa sampai 1.000 kali pemukulan. Setelah dirasakan ketebalan sudah mencukupi sesuai kebutuhan, lembaran deluwang tersebut dihaluskan dengan menggunakan cangkang kuwuk. Selanjutnya dikeringkan dengan penjemuran dan disimpan di tempat yang kering.” jelas Hermanu.

Pembuatan kertas deluwang sebagaimana kertas tradisional lainnya masih mengandalkan pada kerja manual tanpa adanya proses kimia sehingga lembaran kertas yang dihasilkan masih mengandung lignosellulosa (sellulosa, hemi sellulosa, dan lignin).

Berbeda dengan kertas pabrik yang sudah dihilangkan unsur ligninnya, kandungan lignin pada kertas tradisional dalam perjalanan waktu akan menyebabkan proses penguningan pada lembaran kertas tersebut. Dari sisi tampilan tentu ini tidak menguntungkan, namun kertas tradisional dalam kondisi lingkungan yang sama terbukti bisa lebih awaet dan tahan lama dibanding kertas pabrik mengingat serat serta komponen penyusun kayu yang ada pada lembaran kertas tradisional masih lengkap.

Ketika pengaplikasian kertas deluwang untuk keperluan lain diluar medium tulis tidak sebanyak kertas pabrik, justru ada peluang deluwang menjadi medium karya seni. Penggunaan kertas deluwang untuk bahan wayang beber adalah salah satu contohnya. Eksplorasi medium pada seni grafis atau seni murni lainnya (sketsa, lukisan, karya tiga matra dan instalasi) sangat mungkin memanfaatkan deluwang dengan karakter kertas yang unik, warna yang alami. Saat ini seni grafis masih menggunakan kertas pabrik, tekstil, atau medium dengan permukaan keras (lempengan-plat) lainnya yang mudah didapatkan di pasaran sebagai medium utamanya. Sebagian besar seniman grafis melakukan eksperimen lebih pada teknik dan belum menyentuh pada eksplorasi-eksperimen medium cetaknya.

Permasalahannya seberapa besar produksi deluwang serta kualitasnya bisa diproduksi dalam standar (ketebalan, ukuran) yang sama? Menjadikan deluwang sebagai ekspresi visual medium karya seni bisa jadi merupakan upaya memuliakan kertas tradisional nusantara yang masih tersisa.


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    JOGJAFAMILY

    JOGJAFAMILY

    JogjaFamily 100,9 FM


    SOLORADIO 92,9 FM

    SOLORADIO 92,9 FM

    Soloradio 92,9 FM SOLO


    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    JIZ 89,5 FM

    JIZ 89,5 FM

    Jiz 89,5 FM


    UNIMMA FM 87,60

    UNIMMA FM 87,60

    Radio Unimma 87,60 FM



    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini