Sabtu (27/05) pagi (06.00 WIB), saya masih ada di Semarang. Tiba-tiba telepon
berdering, kakak saya mengatakan, Bantul rata dengan tanah. Secepatnya saya bangun,
nyalain Metro TV, dan diberitakan Bantul dalam keadaan rata. Tanpa pikir panjang
aku bergegas pulang ke Bantul, tepatnya Kecamatan Bambanglipuro.
Di Semarang semua rumah dalam keadaan utuh karena gempa hanya dirasakan sangat
kecil. Saya terus memacu sepeda motor ke arah selatan. Sampai di Magelang ada
hujan abu yang cukup pekat. Magelang masih utuh. Terus saya memacu sepeda motor
ke arah selatan. Di Muntilan rumah-rumah masih utuh.
Terus ke selatan, daerah Jombor sudah ada beberapa rumah yang roboh, khususnya
bangunan tua. Terus ke selatan aku berjalan, sampai di Pojok Beteng terlihat batu-bata
berserakan. Bahkan beteng kebanggaan warga Yogyakarta itu sebagian temboknya ambrol.
Dongkelan, tepatnya perempatan ring road selatan arah jalan Bantul, rumah-rumah
di pinggir jalan pada roboh. Pun kalau ada yang tidak roboh pasti retak dan sudah
tidak layak huni. Jembatan Winongo amblas, dan mesti berhati-hati melewatinya.
Di sepanjang jalan ini ada banyak rumah yang berdiri, dan tidak sedikit pula yang
hancur rata dengan tanah. Kalaupun berdiri, apa artinya berdiri kalau yang empunya
rumah sudah tidak berani lagi masuk rumah karena hanya dengan sedikit sentuhan
rumah itu akhirnya ambrol juga.
Sampailah aku di Bantul, kota Bantul. Rumah rata dengan tanah. Saat itu aku belum
tahu keberadaan orangtuaku, rumahku, keluargaku, dan warga desa. Diberitakan,
Kecamatan Bambanglipuro tempat aku dilahirkan masuk salah satu kecamatan yang
terparah.
Terus aku berjalan ke arah selatan, ke arah rumahku. Aku lihat rumah pamanku
yang kebetulan ada di pinggir jalan hancur. Rumah temanku juga, rata dengan tanah.
Kemudian sampailah aku memasuki dusunku, di gapura aku disambut dengan reruntuhan
rumah tetanggaku (yang kemudian aku diberitahu, salah satu anggota keluarga rumah
yang hancur itu meninggal dunia). Seratus meter lagi rumahku.
Dan sampailah aku di rumahku. Sepi, tidak ada orang. Semua warga telah pergi,
saat itu aku belum tahu mereka pergi kemana. Depan rumahku terlihat angkuh, masih
berdiri, sedang rumah tetangga semua rata dengan tanah. Hebat, bisikku dalam hati.
Pelahan aku dekati rumahku, mengintip dari jendela yang tidak sempat ditutup.
Aku masygul. Dalam rumah berantakan, dapur di bagian belakang hampir roboh, sekat
tembok antar kamar nyaris roboh, lemari tidak ada yang berdiri, sepeda motor ambruk.
Tembok retak-retak, kalau ada gempa yang sama, pasti rumah ini akan roboh.
Akupun bingung, dan hanya bisa duduk di teras termenung. Saat duduk di teras,
gempa susulan datang. Aku panik, dan segera pergi dari rumah itu untuk mencari
keluargaku. Dan dari orang yang aku jumpai di jalan, warga desa Tempel semua mengungsi
ke tempat yang tinggi karena takut dengan isu tsunami.
Sampai malam kita semua ada di situ, hingga Minggu (28/05) pagi ini. Kami semua masak dan makan apa adanya. Tidak ada yang pulang, toh pulang hanya menemui rumah mereka yang hancur. Kalaupun masih berdiri, siapa yang berani memasuki rumah yang retak-retak hampir roboh?
PS: Terima kasih untuk Galih Rudanto atas kesediaan pemuatan email di atas. Semoga
Anda dan keluarga selalu dalam lindungan-Nya.
Kirim Komentar