Geliat arus globalisasi yang tak terbendung mau tak mau akan mengubah cara pandang masyarakat dalam berbudaya. Meski perlahan, budaya lokal adiluhung yang telah lama ada akan pudar dengan hadirnya dominasi budaya luar yang dibawa oleh paham kapitalisme. Konsumerisme dan hedonisme adalah contoh dari budaya barat yang kini telah subur di Indonesia.
"Globalisasi telah mengubah cara pandang masyarakat dalam berbudaya. Budaya lokal yang religius akan tergerus oleh budaya barat yang sarat dengan paham kapitalisme. Tatanan sosial, pola pikir, dan gaya hidup masyaarakat akan berubah yang kemudian menuncukan konsumerisme dan hedonisme. Budaya yang menghegemoni inilah yang disebut dengan budaya populer atau budaya pop atau pop culture," kata Redaktur majalah Rohani populer Bahana, Alex Japalu dalam Diskusi "Budaya Pop" di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta (10/12).
Menurut Alex, awalnya budaya populer adalah budaya rakyat (folk culture) yang bersifat massal, terbuka. Sebagian juga menyebutnya dengan budaya rendah (low culture) karena munculnya dari bawah (masyarakat bawah -red).
"Aslinya, budaya populer adalah budaya rakyat yang bersifat massal, terbuka, dan dikategorikan sebagai budaya rakyat (folk culture). Beberapa orang menyebutnya dengan budaya rendah (low culture) karena munculnya dari bawah," kata Alex.
Sebenarnya, budaya populer dulunya tak berhubungan dengan budaya tinggi atau high culture, namun kini telah menyatu dan melahirkan sebuah massal yang komersial. Celakanya, masyarakat banyak kepincut dengan budaya populer yang sering kali tampil secara menarik dan praktis.
"Kini, budaya tinggi atau high culture telah melebur dan melahirkan sebuah massal yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan semata. Budaya populer ini seringkali dalam bentuk instan, dangkal, egosentris, dan berorientasi pasar yang membuatnya efektif dan efisien," tambahnya.
Sementara itu, staf pengajar Program Studi Arsitektur UKDW Mahatmanto menyatakan keprihatinannya terhadap masyarakat yang selama ini menerima dengan mudah budaya populer yang ada. Menurutnya mereka adalah korban dari produsen saja.
"Masyarakat yang saat ini menerima budaya populer dengan tangan tangan terbuka sebenarnya merupakan korban dari produsen. Jika tidak ada yang bertindak, selamanya mereka akan jadi bulan-bulanan produsen saja," kata Mahatmanto.
Menurutnya, masyarakat harus diberi pengertian bagaimana mereka telah terpengaruh oleh budaya pop yang telah membuat mereka meninggalkan budaya lokal. Budaya pop memang mempunyai kekuatan dan pengaruh besar bagi masyarakat, meski tidak semuanya berguna.
"Contohnya cara minum minuman ringan yang langsung ditenggak. Padahal orang tua kita kan tidak memperbolehkan minum dengan cara seperti itu, tapi kok nyatanya ditiru juga karena praktis atau keren," ujar Mahatmanto sambil tersenyum.
"Globalisasi telah mengubah cara pandang masyarakat dalam berbudaya. Budaya lokal yang religius akan tergerus oleh budaya barat yang sarat dengan paham kapitalisme. Tatanan sosial, pola pikir, dan gaya hidup masyaarakat akan berubah yang kemudian menuncukan konsumerisme dan hedonisme. Budaya yang menghegemoni inilah yang disebut dengan budaya populer atau budaya pop atau pop culture," kata Redaktur majalah Rohani populer Bahana, Alex Japalu dalam Diskusi "Budaya Pop" di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta (10/12).
Menurut Alex, awalnya budaya populer adalah budaya rakyat (folk culture) yang bersifat massal, terbuka. Sebagian juga menyebutnya dengan budaya rendah (low culture) karena munculnya dari bawah (masyarakat bawah -red).
"Aslinya, budaya populer adalah budaya rakyat yang bersifat massal, terbuka, dan dikategorikan sebagai budaya rakyat (folk culture). Beberapa orang menyebutnya dengan budaya rendah (low culture) karena munculnya dari bawah," kata Alex.
Sebenarnya, budaya populer dulunya tak berhubungan dengan budaya tinggi atau high culture, namun kini telah menyatu dan melahirkan sebuah massal yang komersial. Celakanya, masyarakat banyak kepincut dengan budaya populer yang sering kali tampil secara menarik dan praktis.
"Kini, budaya tinggi atau high culture telah melebur dan melahirkan sebuah massal yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan semata. Budaya populer ini seringkali dalam bentuk instan, dangkal, egosentris, dan berorientasi pasar yang membuatnya efektif dan efisien," tambahnya.
Sementara itu, staf pengajar Program Studi Arsitektur UKDW Mahatmanto menyatakan keprihatinannya terhadap masyarakat yang selama ini menerima dengan mudah budaya populer yang ada. Menurutnya mereka adalah korban dari produsen saja.
"Masyarakat yang saat ini menerima budaya populer dengan tangan tangan terbuka sebenarnya merupakan korban dari produsen. Jika tidak ada yang bertindak, selamanya mereka akan jadi bulan-bulanan produsen saja," kata Mahatmanto.
Menurutnya, masyarakat harus diberi pengertian bagaimana mereka telah terpengaruh oleh budaya pop yang telah membuat mereka meninggalkan budaya lokal. Budaya pop memang mempunyai kekuatan dan pengaruh besar bagi masyarakat, meski tidak semuanya berguna.
"Contohnya cara minum minuman ringan yang langsung ditenggak. Padahal orang tua kita kan tidak memperbolehkan minum dengan cara seperti itu, tapi kok nyatanya ditiru juga karena praktis atau keren," ujar Mahatmanto sambil tersenyum.
Kirim Komentar