Program nasional Indonesia Go Open Source (IGOS) yang dicanangkan pemerintah sejak 2004 lalu, ternyata masih terganjal oleh sejumlah kendala teknis maupun non teknis baik dari pihak masyarakat dan pemerintah.
Masyarakat khususnya para awam teknologi, pada dasarnya masih enggan menggunakan software open source, dan tetap menggunakan software yang seharusnya berbayar (baca: bajakan).
Sejumlah alasan pun mengemuka tatkala ditanya perihal penggunaan software open source dibanding dengan menggunakan software--yang seharusnya berbayar--yang selama ini telah mereka gunakan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Kemitraan Lembaga Teknologi Informasi, Kementrian Negara Riset dan Teknologi RI, Agus Sediadi berusaha menyangkal sejumlah permasalan yang ada ketika menggunakan software open source.
"Memang masih ada keterbatasan dalam hal driver ketika menggunakan software open source. Tapi kalau masyarakat mau menggunakannya, produsen pasti akan menyediakan driver-driver yang dibutuhkan," katanya beberapa waktu lalu di Yogyakarta.
Pemerintah pun dibuat dilematis. Maksud hati ingin mendidik bangsa untuk menggunakan piranti lunak tak berbayar dengan migrasi ke open source software, tapi sebagian besar masyarakat cenderung cuek.
Menurut praktisi dari Pusat Pelayanan Teknologi Informasi dan Komunikasi (PPTiK) UGM Dr.techn. Khabib Mustofa, S.Si., M. Kom, meyakinkan bahwa masalah yang banyak ditakutkan pada software open source sebenarnya tidak perlu ditakutkan.
"Saat ini, permasalahan driver pada software Linux tidak lagi menjadi masalah. Koneksi menggunakan modem, HSDPA, 3G pun akan langsung dikenali. Jadi secara umum sebenarnya tak ada kendala," katanya.
Civitas akademika UGM pun saat ini terus melakukan migrasi ke Linux. Meski masih dalam prosentase yang cukup kecil, UGM terus melakukan kerjasam dengan sejumlah Studi kelompok Linux yang ada di berbagai kampus.
Bahkan, segala informasi mengenai open source pun bisa didapatkan dan diunduh di website PPTiK UGM dan UGOS UGM yang hingga kini masih gencar-gencarnya mengusung program University Goes open Source (UGOS).
Sementara itu dari sisi pengguna sofware--tidak berdasarkan pada legal atau tidak--keterbiasaan dan kepopuleran sebuah sistem operasi masih menjadi alasan bagi mereka untuk menggunakanny adalam kehidupan sehari-hari.
"Saya sudah biasa menggunakan Windows. Sejumlah sofware yang saya butuhkan baru bisa diinstal di windows, dan belum kompatibel dengan Linux," kata Ardian yang sehari-hari harus bergelut dengan dunia disain grafis.
Berbeda dengan Ardian, Febri bahkan mengaku belum pernah terlalu mengenal software open source. "Kalau ada sih saya mau menginstalnya di komputer saya," ujarnya.
Tak kenal maka tak sayang. Mungkin itulah peribahasa klasik yang cukup relevan dengan permasalahan di atas. Bagaimana mungkin seseorang akan menyukai sesuatu jika ia bahkan tidak mengenalnya.
Jika masih konsisten dengan program ini, pemerintah harus lebih pro aktif dan melakukan pendekatan yang tepat kepada masyarakat dalam hal sosialisasi program IGOS, tentunya dimulai dari lingkungan pemerintah terlebih dulu.
Masyarakat khususnya para awam teknologi, pada dasarnya masih enggan menggunakan software open source, dan tetap menggunakan software yang seharusnya berbayar (baca: bajakan).
Sejumlah alasan pun mengemuka tatkala ditanya perihal penggunaan software open source dibanding dengan menggunakan software--yang seharusnya berbayar--yang selama ini telah mereka gunakan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Kemitraan Lembaga Teknologi Informasi, Kementrian Negara Riset dan Teknologi RI, Agus Sediadi berusaha menyangkal sejumlah permasalan yang ada ketika menggunakan software open source.
"Memang masih ada keterbatasan dalam hal driver ketika menggunakan software open source. Tapi kalau masyarakat mau menggunakannya, produsen pasti akan menyediakan driver-driver yang dibutuhkan," katanya beberapa waktu lalu di Yogyakarta.
Pemerintah pun dibuat dilematis. Maksud hati ingin mendidik bangsa untuk menggunakan piranti lunak tak berbayar dengan migrasi ke open source software, tapi sebagian besar masyarakat cenderung cuek.
Menurut praktisi dari Pusat Pelayanan Teknologi Informasi dan Komunikasi (PPTiK) UGM Dr.techn. Khabib Mustofa, S.Si., M. Kom, meyakinkan bahwa masalah yang banyak ditakutkan pada software open source sebenarnya tidak perlu ditakutkan.
"Saat ini, permasalahan driver pada software Linux tidak lagi menjadi masalah. Koneksi menggunakan modem, HSDPA, 3G pun akan langsung dikenali. Jadi secara umum sebenarnya tak ada kendala," katanya.
Civitas akademika UGM pun saat ini terus melakukan migrasi ke Linux. Meski masih dalam prosentase yang cukup kecil, UGM terus melakukan kerjasam dengan sejumlah Studi kelompok Linux yang ada di berbagai kampus.
Bahkan, segala informasi mengenai open source pun bisa didapatkan dan diunduh di website PPTiK UGM dan UGOS UGM yang hingga kini masih gencar-gencarnya mengusung program University Goes open Source (UGOS).
Sementara itu dari sisi pengguna sofware--tidak berdasarkan pada legal atau tidak--keterbiasaan dan kepopuleran sebuah sistem operasi masih menjadi alasan bagi mereka untuk menggunakanny adalam kehidupan sehari-hari.
"Saya sudah biasa menggunakan Windows. Sejumlah sofware yang saya butuhkan baru bisa diinstal di windows, dan belum kompatibel dengan Linux," kata Ardian yang sehari-hari harus bergelut dengan dunia disain grafis.
Berbeda dengan Ardian, Febri bahkan mengaku belum pernah terlalu mengenal software open source. "Kalau ada sih saya mau menginstalnya di komputer saya," ujarnya.
Tak kenal maka tak sayang. Mungkin itulah peribahasa klasik yang cukup relevan dengan permasalahan di atas. Bagaimana mungkin seseorang akan menyukai sesuatu jika ia bahkan tidak mengenalnya.
Jika masih konsisten dengan program ini, pemerintah harus lebih pro aktif dan melakukan pendekatan yang tepat kepada masyarakat dalam hal sosialisasi program IGOS, tentunya dimulai dari lingkungan pemerintah terlebih dulu.
Kirim Komentar