Dari kacamata psikologi, maraknya dunia maya dengan segala bentuk layanannya yang kini sedang menjangkiti kalangan anak muda dinilai belum memberikan dampak negatif secara langsung, khususnya dalam hubungannya dengan kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat.
"Dunia maya seperti situs jejaring sosial saat ini sedang diminati karena menawarkan kemudahan berhubungan dengan orang lain. Hal ini seharusnya tak perlu dikhawatirkan karena juga mempunyai potensi yang positif," kata psikolog Christina Siwi Handayani di Yogyakarta, Kamis (14/5).
Lagipula, menurut psikolog dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta tersebut, budaya masyarakat Indonesia sepertinya belum begitu mendukung keberadaan dunia maya sebagai dunia utama.
"Di Indonesia, kultur belum mendukung masyarakat kita untuk menomorsatukan dunia maya. Masyarakat kita masih memilih untuk bertemu dan berkomunikasi langsung lewat dunia nyata meski meski sebelumnya telah berkomunikasi di dunia cyber atau online.
Menurut Christina, situs jejaring sosial seperti Facebook justru perlu mendapatkan perhatian karena keberadaanya menawarkan sejumlah potensi keuntungan yang harus dioptimalkan.
"Online lewat Facebook bisa melampaui batas ruang dan waktu. Seseorang bisa belajar, bisnis, mencari dan bertukar informasi, dll," ujarnya.
Meski demikian, Christina juga mensyaratkan kemungkinan dampak negatif kehidupan maya khususnya bagi hubungan orang tua dan anak pada beberapa tahun yang akan datang.
"Mungkin para orang tua juga perlu belajar dunia online untuk sekadar mengetahuinya. Tapi yang paling penting adalah bagaimana tetap menjaga komunikasi secara langsung dengan anak, tanpa mengandalkan dunia maya," sarannya.
Teknologi memang diciptakan oleh manusia untuk membantu dan memudahkan tugas dan pekerjaan manusia. Tapi bagaimanapun, kodrat manusia sebagai makluk sosial harus tetap terjaga dengan tetap berhubungan secara fisik dengan orang lain.
"Dunia maya seperti situs jejaring sosial saat ini sedang diminati karena menawarkan kemudahan berhubungan dengan orang lain. Hal ini seharusnya tak perlu dikhawatirkan karena juga mempunyai potensi yang positif," kata psikolog Christina Siwi Handayani di Yogyakarta, Kamis (14/5).
Lagipula, menurut psikolog dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta tersebut, budaya masyarakat Indonesia sepertinya belum begitu mendukung keberadaan dunia maya sebagai dunia utama.
"Di Indonesia, kultur belum mendukung masyarakat kita untuk menomorsatukan dunia maya. Masyarakat kita masih memilih untuk bertemu dan berkomunikasi langsung lewat dunia nyata meski meski sebelumnya telah berkomunikasi di dunia cyber atau online.
Menurut Christina, situs jejaring sosial seperti Facebook justru perlu mendapatkan perhatian karena keberadaanya menawarkan sejumlah potensi keuntungan yang harus dioptimalkan.
"Online lewat Facebook bisa melampaui batas ruang dan waktu. Seseorang bisa belajar, bisnis, mencari dan bertukar informasi, dll," ujarnya.
Meski demikian, Christina juga mensyaratkan kemungkinan dampak negatif kehidupan maya khususnya bagi hubungan orang tua dan anak pada beberapa tahun yang akan datang.
"Mungkin para orang tua juga perlu belajar dunia online untuk sekadar mengetahuinya. Tapi yang paling penting adalah bagaimana tetap menjaga komunikasi secara langsung dengan anak, tanpa mengandalkan dunia maya," sarannya.
Teknologi memang diciptakan oleh manusia untuk membantu dan memudahkan tugas dan pekerjaan manusia. Tapi bagaimanapun, kodrat manusia sebagai makluk sosial harus tetap terjaga dengan tetap berhubungan secara fisik dengan orang lain.
Kirim Komentar