
"Saat ini Jogja masih menjadi barometer seni rupa khususnya di Asia," katanya beberapa waktu lalu.
Meski demikian, Heri mengaku bahwa saat ini dunia seni rupa di Indonesia khususnya seni rupa kontemporer masih berada dalam tekanan dunia barat yang selalu merasa lebih superior.
"Booming yang terjadi saat ini bukan berarti bahwa seni rupa Indonesia khususnya Jogja sudah diterima oleh dunia barat. Yang terjadi adalah wacana seni kontemporer masih tetap ditekan oleh dunia barat," ujarnya.
Hal tersebut, menurut HD terjadi karena arus globalisasi yang tak terbendung yang membuat pasar lebih dominan dari pada esensi terhadap pemahaman wacana seni rupa sendiri.
"Pada globalisasi saat ini seharusnya menjadikan perupa lokal untuk menunjukkan diri ke pentas internasional, bukannya hanya mengikuti tren dunia global saja," katanya.
Lebih lanjut HD menambahkan, jika hal tersebut terus menerus terjadi, maka perhatian dunia barat terhadap perupa Indonesia tak akan berubah yakni akan senantiasa memangang hanya dengan sebelah mata saja.
Menurut HD, salah satu cara yang bisa ditempuh untuk memantapkan peran dan keberadaan khususnya perupa Jogja di mata dunia adalah dengan menjadikan ISI sebagai ruang publik bagi wisatawan mancanegara.
"ASRI Jogja dulu bisa menjadi tempat wisata, tapi sekarang ISI malah menutup diri dari dunia internasional," katanya.
HD mengaku bahwa ISI seharusnya mampu menjadi ujung tombak bagi masyarakat internasional yang ingin mengetahui segala hal tentang seniman di Jogja khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Kirim Komentar