Berpredikat sebagai Kota Budaya, Kota Jogja memang sangat lekat dengan seniman dan budayawan. Meski demikian, karya seni di ruang publik di Jogja dinilai masih sangat kurang. Untuk itu seni di ruang publik dirasa harus diadakan.
Topik tersebut menjadi perbincangan hangat antara Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto dengan puluhan seniman Jogja, di Ruang Utama Atas, Balaikota Yogyakarta, Senin (12/4).
Tampil sebagai wakil dari seniman, seniman Butet Kertaredjasa menyatakan apresiasinya terkait dengan uneg-uneg Pak Wali yang mensyaratkan perlu adanya ruang publik bagi karya seni di Jogja.
"Pada beberapa kesempatan di Sekretariat Biennale Jogja di TBY, Pak Wali sempat melontarkan ide adanya karya seni di ruang publik di Kota Jogja, karena menurutnya belum ada," ujarnya.
Menanggapi apa yang dibicarakan oleh Butet, Walikota menyayangkan bahwa Jogja sebagai Kota lahirnya seniman malah belum mempunyai ruang publik bagi karya seni.
"Seniman Jogja, jika diibaratkan sebagai sumur adalah sumur yang tak akan habis airya laiknya sumur zam-zam di Arab Saudi. Tapi kok belum ada ruang publik yang layak bagi karya seni mereka," tandasnya.
Menurutnya, perhelatan akbar seni rupa dua tahunan Biennale Jogja lalu merupakan terobosan yang luar biasa ketika seniman menghadirkan seni ke ruang publik. Baginya, apa yang dilakukan seniman waktu itu adalah art for all.
"Dengan Biennale Jogja kemarin, tukang becak, pengamen, dan pedangang bisa menikmati karya seni dengan mudah di sejumlah ruang publik. Mungkin bagi mereka karya seni adalah barang yang mahal yang hanya bisa disaksikan di galeri-galeri," tegasnya seraya menambahkan bahwa sejumalah benda seni Biennale kemarin terbukti disukai oleh masyarakat.
Pada kesempatan tersebut, Walikota bahkan menyatakan komitmennya terhadap usaha menghadirkan karya seni di ruang publik Jogja. Jika perlu, sejumlah papan reklame yang dirasa mengganggu dan tidak perlu ada bisa diganti dengan karya seni bernilai tinggi.
Tak hanya itu, Herry bahkan menawarkan areal bekas Stasiun Ngabean untuk dijadikan sekretariat para seniman Jogja atau bahkan bagi Biennale Jogja. "Mungkin bekas Stasiun Ngabean bisa menjadi tempat nongkrong para seniman untuk berkarya," tawarnya.
Rencananya, sejumlah lokasi-lokasi strategis di Kota Yogyakarta akan dihiasai dengan karya-karya seni rupa sebagai andil dari seniman Jogja bagi Kota Jogja. Samuel yang menjadi moderator sempat memberikan proyeksi beberapa sudut di Kota Jogja yang laik ditempati karya seni seperti kawasan Malioboro, Benteng Vredeburg, Taman Parkir Abu Bakar Ali, dll.
Meski demikian, ide dan gagasan tersebut tidak serta merta mulus adanya. Sejumlah pertimbangan harus segera dipikirkan saat ini juga terkait dengan penghadiran karya seni ke ruang publik tersebut.
Seniman Nindityo Adipurnomo meminta agar konsep menghadirkan karya seni ke ruang publik tersebut harus jelas agar nantinya tidak ada kesalahpahaman antara seniman dan masyarakat yang kedua-duanya memiliki hak terhadap ruang publik.
"Mungkin harus ada definisi yang jelas terkait ruang publik dan karya seni agar nantinya tidak ada konflik sosial terkait dengan adanya karya seni di ruang publik. Yang lebih penting bagi saya adalah bagaimana menghembuskan peristiwa kesenian di ruang publik," pinta pemilik Rumah Seni Cemeti tersebut.
Topik tersebut menjadi perbincangan hangat antara Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto dengan puluhan seniman Jogja, di Ruang Utama Atas, Balaikota Yogyakarta, Senin (12/4).
Tampil sebagai wakil dari seniman, seniman Butet Kertaredjasa menyatakan apresiasinya terkait dengan uneg-uneg Pak Wali yang mensyaratkan perlu adanya ruang publik bagi karya seni di Jogja.
"Pada beberapa kesempatan di Sekretariat Biennale Jogja di TBY, Pak Wali sempat melontarkan ide adanya karya seni di ruang publik di Kota Jogja, karena menurutnya belum ada," ujarnya.
Menanggapi apa yang dibicarakan oleh Butet, Walikota menyayangkan bahwa Jogja sebagai Kota lahirnya seniman malah belum mempunyai ruang publik bagi karya seni.
"Seniman Jogja, jika diibaratkan sebagai sumur adalah sumur yang tak akan habis airya laiknya sumur zam-zam di Arab Saudi. Tapi kok belum ada ruang publik yang layak bagi karya seni mereka," tandasnya.
Menurutnya, perhelatan akbar seni rupa dua tahunan Biennale Jogja lalu merupakan terobosan yang luar biasa ketika seniman menghadirkan seni ke ruang publik. Baginya, apa yang dilakukan seniman waktu itu adalah art for all.
"Dengan Biennale Jogja kemarin, tukang becak, pengamen, dan pedangang bisa menikmati karya seni dengan mudah di sejumlah ruang publik. Mungkin bagi mereka karya seni adalah barang yang mahal yang hanya bisa disaksikan di galeri-galeri," tegasnya seraya menambahkan bahwa sejumalah benda seni Biennale kemarin terbukti disukai oleh masyarakat.
Pada kesempatan tersebut, Walikota bahkan menyatakan komitmennya terhadap usaha menghadirkan karya seni di ruang publik Jogja. Jika perlu, sejumlah papan reklame yang dirasa mengganggu dan tidak perlu ada bisa diganti dengan karya seni bernilai tinggi.
Tak hanya itu, Herry bahkan menawarkan areal bekas Stasiun Ngabean untuk dijadikan sekretariat para seniman Jogja atau bahkan bagi Biennale Jogja. "Mungkin bekas Stasiun Ngabean bisa menjadi tempat nongkrong para seniman untuk berkarya," tawarnya.
Rencananya, sejumlah lokasi-lokasi strategis di Kota Yogyakarta akan dihiasai dengan karya-karya seni rupa sebagai andil dari seniman Jogja bagi Kota Jogja. Samuel yang menjadi moderator sempat memberikan proyeksi beberapa sudut di Kota Jogja yang laik ditempati karya seni seperti kawasan Malioboro, Benteng Vredeburg, Taman Parkir Abu Bakar Ali, dll.
Meski demikian, ide dan gagasan tersebut tidak serta merta mulus adanya. Sejumlah pertimbangan harus segera dipikirkan saat ini juga terkait dengan penghadiran karya seni ke ruang publik tersebut.
Seniman Nindityo Adipurnomo meminta agar konsep menghadirkan karya seni ke ruang publik tersebut harus jelas agar nantinya tidak ada kesalahpahaman antara seniman dan masyarakat yang kedua-duanya memiliki hak terhadap ruang publik.
"Mungkin harus ada definisi yang jelas terkait ruang publik dan karya seni agar nantinya tidak ada konflik sosial terkait dengan adanya karya seni di ruang publik. Yang lebih penting bagi saya adalah bagaimana menghembuskan peristiwa kesenian di ruang publik," pinta pemilik Rumah Seni Cemeti tersebut.
Kirim Komentar