Atas jasanya dan ketekunannya dalam menciptakan dan memperjuangkan Wayang kancil untuk dikenal masyarakat, Ki Ledjar Soebroto akan mendapat penghargaan dari Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Rencananya, pemberi pemberian tersebut akan diselenggaraka pada Selasa, 15 Juni pukul 19.00 WIB di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta.
Keberadaan wayang kancil, yaitu boneka wayang yang terdiri dari berbagai jenis binatang, ternyata lebih terkenal di luar negeri daripada di Yogyakarta.
Pencetus penggalian wayang kancil, Ki Ledjar Subroto, mulai membuat dan mementaskan wayang kancil sejak tahun 1980. Namun, sampai sekarang tanggapan dari masyarakat dirasa masih sangat kurang.
"Sampai sekarang sudah lebih dari 20 tahun saya menggeluti wayang kancil ini, tetapi permintaan untuk mementaskan wayang ini masih sangat jarang. Padahal, di beberapa negara, seperti Belanda, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat (AS), wayang kancil ini dipakai untuk sarana pendidikan lingkungan hidup pada anak-anak," katanya di Yogyakarta, Senin (14/6).
Wayang kancil khusus diciptakan untuk mengenalkan dunia wayang kepada anak-anak sekaligus memberikan pendidikan tentang moralitas. Sejak lama, kata Ledjar, dia ingin membuat alternatif pertunjukan bagi anak-anak. Pertunjukan wayang kancil bisa menjadi perantara bagi anak-anak sebelum mereka mampu menikmati wayang kulit.
"Dari kecil saya memang sudah tertarik dengan dunia perwayangan," ungkap seniman yang sering disapa Mbah Ledjar tersebut. Karena ketertarikannya pada wayang sejak kecil itulah, dirinyalalu menjadi salah seorang dalang, pembuat wayang, pembuat topeng kayu dan sekaligus sebagai seorang pengajar yang penuh dengan semangat. Hampir di setiap jengkal hidupnya dipenuhi dengan berkarya seni.
Pada tahun 1980 dirinya merasa gelisah dengan banyak keluhan dari rekan-rekan dalang yang merasa cemas bila suatu saat wayang dan seni tradisi tak lagi memancing minat generasi setelahnya. Lalu dicobanya membuat pendekatan yang lebih sederhana dengan membuat wayang dengan basis cerita anak yang telah lama mengendap dalam ingatan banyak generasi.
Cerita kancil kemudian dijadikan salah satu proyek terpanjang dalam karir seninya selain membuat wayang revolusi dan wayang kompeni. Dari pengamatan dirinya sebuah pertunjukan tradisional harus adaptatif terhadap ruang dan waktu. Ketika diamati anak-anak kecil banyak yang berlarian di sekitar pertunjukan wayang kulit maka pilihan atas cerita kancil jadi lebih masuk akal.
Sebagai salah satu karya terkenalnya, wayang kancil ini tidak berwujud tokoh-tokoh dalam perwayangan yang biasa dikenal orang, seperti Bagong, Semar, Petrok maupun Gareng, namun berbentuk binatang-binatang sepertio, gajah, buaya, ayam, dan tentunya kancil sebagai tokoh utamanya.
Wayang kancil pun menjadi salah satu media pendidikan bagi anak-anak. Dengan tokoh dan cerita dari dunia hewan yang lebih menarik dan mudah untuk mereka pahami, Ki Ledjar ingin mengajarkan dan menanamkan semangat keberanian serta berpikir kreatif dalam diri seseorang sejak dini. Tokoh yang satu ini (kancil), meskipun bertubuh kecil, pandai mencari siasat untuk mengalahkan binatang besar seperti gajah dan buaya.
Namun seperti halnya penggiat dan pelestari seni tradisional yang lain di negeri ini, justru masyarakat seni internasional lebih mengenal dan mengapresiasinya, tak heran wayang karyanya dipentaskan di Belanda dan beberapa negara Eropa lainnya.
Maka di saat banyak pihak meneriakkan cinta Indonesia, masyarakat seyogyanya diingatkan kembali pada keberadaan mereka. Seniman, maestro, dengan karya-karya besarnya yang menjadi penyumbang besar perkembangan seni rupa di Jawa dan Indonesia, yang telah mencintai Indonesia dengan cara mereka, yang selama ini terlupakan.
Yang dari merekalah nama baik bangsa kita tetap terjaga sebagai negeri dengan keaneka ragaman budaya yang adiluhung.
Hingga kini, wayang karyanya justru menjadi maskot di beberapa museum dan kolektor asing seperti di Tim Byard-Jones, University Of London, di Inggris, Ubersee Museum di Bremen, Dr Walter Angst di Kota Salem dan Arno Mozoni-Fresconi di Hamburg Jerman.
Selain itu, karya Ki Ledjar juga terdapat di Volkenkundig Museum Gerardus Van der Leeuw di Kota Groningen, V.M Clara Van Groenendael di Kota Amsterdam, Museum Westfreis, Museum Horn, di Kota Hoorn, Museum Tropen di Amsterdam, dan Museum Kantjiel, di Leiden, Belanda, Tamara Fielding "The Shadow Theater Of Java" di New York Amerika Serikat dan Museum Of Anthropology (Dominique Major) di Kanada. "Kesenian tradisional, khususnya pewayangan, tak akan saya biarkan sirna begitu saja," tuturnya.
Kirim Komentar