
Yanto (12), warga Gejayan, begitu asyik memelototi layar komputer. Sementara, kedua tangannya sibuk memainkan tombol stik. Tak jarang wajahnya terlihat tegang ketika memainkan "Ninja Saga" di sebuah warnet yang menyediakan game online. Hal sama juga dilakukan Adi (10). Hanya saja Adi memainkan "Point Blank".
Kedua anak ini barangkali bisa menjadi contoh bila anak-anak kita lebih suka nongkrong di
warnet selepas sekolah. Mereka tak peduli berapa ribu rupiah yang harus dirogoh dari koceknya agar bisa bermain terus. Ia
juga tak peduli bahwa permainan yang dimainkan hanya menegangkan otak, tak menggerakkan tubuh secara keseluruhan sehingga
keluar keringat dan memperkuat otot. Yang penting asyik.
Ya pemandangan seperti itu sangat lazim ditemui di warnet game online. Mereka (anak-anak)
sangat hapal macam-macam game yang tersedia sperti Ninja Saga atau Orochi. Tapi ketika kita tanyakan kepada mereka tentang
permainan Jamuran atau Bekelan, mereka hanya menggelengkan kepala tanda tak tahu.
"Anak-anak sekarang tak mengenal permainan seperti engklek, jamuran yang biasa dimainkan
anak-anak jaman dulu. Mereka justru sangat paham permainan yang ada di komputer atau di dunia maya. Mereka bilang, permainan
yang ada di komputer itu modern. Pertanyaannya, apakah kalau sudah modern lantas meninggalkan permainan yang tradisional? Ini
sungguh memprihatinkan,," keluh Niken Larasati, perupa asal Yogya.
Niken meyakini bila anak-anak memainkan permainan tradisional tubuhnya akan sehat, karena
bersinggungan dengan olah raga seperti main gobak sodor. Atau melatih keseimbangan ketika bermain engklek. Pun juga membuat
kebersamaan ketika main Jamuran. "Malah ketika bermain Jamuran dengan bergandengan tangan bisa dimaknai mempererat persatuan
dan kerukunan," ujar Niken, lulusan SMSR Yogya tahun 1992.
Lewat bermain, dalam pandangan Niken, seorang anak memperoleh banyak pelajaran dan
kesempatan melihat berbagai hal didalam kehidupan, karena anak-anak terlibat dalam interaksi sosial dan emosi dengan pasangan
bermainnya. "Disitulah terjadi pembelajaran tenggang rasa, tahu aturan, pengembangan kognitif hingga kemampuan menerima
perbedaan, konsekuen dalam menerima kekalahan (lapang dada)," tegas Niken.
Ada kekhawatiran bila permainan tradisional ini punah, lenyap ditelan masa serta tak ada
dokumentasi. "Mungkin generasi kita masih banyak yang tahu, tapi nanti, 3 generasi berikutnya?," ungkap Niken.
Mengingat dirinya seorang pelukis, maka segala jenis permainan tradisional yang sering ia
mainkan kala anak-anak, diwujudkan lewat lukisan di kanvas. Misalnya, permainan Engklek, Jamuran, Bermain Dakon, dan masih
banyak lagi.
Ternyata karya lukisannya ini menarik perhatian Seiichi Okawa, Ketua Umum Graha Budaya
Indonesia (GBI) di Tokyo. Niken merasa surprise ketika Seiichi Okawa(mantan wartawan Tempo) yang dikenal lewat Facebook
begitu serius mengajak pameran di Shinjiku-Ku Tokyo. "Bahkan beliau juga menyempatkan datang ke rumah saya di
Kronggahan,Sleman" tutur Niken.
Alhasil, kini ada 22 karya lukisannya yang bertajuk dolanan tradisional anak Indonesia
dipamerkan di GBI Shinjuku-Ku, Tokyo, sejak Maret - Juni . Beberapa di antaranya malah sudah laku. "Tapi saya tak
mementingkan itu. Yang saya pentingkan adalah menunjukkan pada dunia bahwa dolanan tradisional anak Indonesia ini sungguh
menyenangkan kalau dimainkan, mengandung kebersamaan, kerukunan serta ada unsur olah raganya," ungkap Niken yang sedang
pulang ke Yogya, Selasa (17/4).
Pameran Tunggal Niken di Jepang mendapat sambutan luar biasa. Animo masyarakat Jepang pada
karya Niken cukup tinggi, banyak media lokal meliput pameran tunggalnya.
Selama di Jepang, Niken tak hanya memperkenalkan dolanan tradisional anak Indonesia. Ia
juga mengajarkan 111 kosakata
bahasa Jawa kepada sejumlah orang Jepang. Di antaranya yang belajar adalah Prof, Nobuko Sasaki beserta para dosen kebudayaan
universitas - universitas di Jepang yang tertarik dengan keragaman kebudayaan yang ada di Indonesia, di samping keragaman
bahasanya.
Kirim Komentar