Saat ini telah terjadi lonjakan kasus Dengue atau DBD (Demam Berdarah Dengue) di hampir semua wilayah di tanah air, yang berpotensi menyebabkan kematian pasien. Sejak Januari 2014 telah diterapkan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang mengatur pembiayaan pasien oleh BPJS Kesehatan. Bagaimana pembiayaan pasien Dengue dalam era JKN?
Pada tahun 2015, tercatat ada sebanyak 126.675 penderita Dengue di 34 provinsi di Indonesia dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun 2014, yakni 100.347 penderita dan 907 kematian. Tiga puncak epidemik Dengue terjadi setiap 10 tahun, yaitu 1988, 1998 dan 2007, sehingga sekarang kita harus mulai waspada. Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor nyamuk, yaitu perubahan curah hujan, suhu, kelembaban dan arah angin. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk), juga faktor pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan mobilitas penduduk, karena adanya peningkatan sarana transportasi, menyebabkan penyebaran virus Dengue semakin mudah dan semakin luas.
Pada era JKN dengan pembiayaan sistem kapitasi di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer) pada dokter keluarga, klinik pratama atau puskesmas, peran preventif dan promotif wajib ditingkatkan, agar jumlah kasus rujukan dapat ditekan. Konsil Kedokteran Indonesia (2014) mengtur bahwa Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue merupakan kasus yang harus dilayani secara tuntas di layanan primer dan tidak boleh dirujuk ke FKTL (Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut). Menurut Peraturan Presiden nomor 12 tahun 2013, Permenkes Nomor 71 tahun 2013 dan Surat Edaran Nomor HK/MENKES/31/I/2014, disebutkan bahwa cakupan pelayanan rujukan segera ke UGD RS yang pembiayaannya dapat dijamin, adalah sesuai dengan kriteria gawat darurat hanyalah shock berat (profound), yaitu nadi pasien tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, termasuk Dengue berat atau DSS.
Dengan adanya kendali biaya tersebut, juga untuk mencegah terjadinya selisih biaya negatif di RS atas klaim kepada BPJS Kesehatan, diperlukan sebuah kriteria baru yaitu faktor prediktor Dengue, yang dapat digunakan untuk menduga (memprediksi) terjadinya perburukan gejala klinis Dengue pada hari kritis. Beberapa tanda klinis sederhana yang dapat digunakan sebagai faktor prediktor adalah : muntah, demam tinggi, nyeri perut hebat, gemuk dan riwayat kontak dengan penderita Dengue berat. Anak yang mengalami muntah, bahkan muntah berulang pada hari-hari awal sakit, sangat mungkin berkembang menjadi Dengue dengan derajad berat. Semakin hebat dan berulang muntahnya, semakin berat derajad Denguenya. Meskipun banyak penyakit lain juga memberikan gejala klinis muntah, namun muntah pada penderita Dengue berat biasanya lebih hebat, terjadi bukan pada saat anak batuk dan berlangsung dalam 2 hari pertama sakit. Demam tinggi, terutama demam yang sampai > 390 Celcius, berlangsung hampir 2x24 jam pertama, yang turun sangat sedikit atau bahkan tidak turun sama sekali dengan obat turun demam, juga merupakan faktor prediktor beratnya Dengue. Apalagi bila diikuti penurunan demam yang drastis pada hari ke 4 sakit, bahkan bisa mencapai suhu 360C. Penurunan suhu tubuh ini bahkan merupakan tanda bahaya, sebab itu merupakan tanda awal syok, sebuah keadaan gawat dadurat medik dan sangat sering menyebabkan kematian pada penderita Dengue.
Nyeri perut di sebelah kanan atas, yang disebabkan pembesaran hati (hepatomegali) karena terjadinya peradangan sel-sel hati dengan adanya infiltrasi dan replikasi virus dengue, sangat berkorelasi dengan beratnya derajad sakit. Nyeri perut ini biasanya terjadi pada periode awal, semakin berat pada periode pertengahan dan dapat juga digunakan sebagai indikator penyembuhan pada periode akhir sakit, yaitu pada saat keluhan tersebut hilang. Gemuk atau obesitas merupakan faktor prediktor yang mudah digunakan. Semakin gemuk seorang anak, terlebih bila gemuknya disebabkan konsumsi susu yang berlebihan, semakin berat derajad Denguenya, secara teknis semakin sulit dikenali atau didiagnosis dan semakin sulit diatasi atau diterapi. Beratnya derajad Dengue pada anak dengan kegemukan, berkorelasi lurus dengan hebatnya reaksi antigen virus dengan antibodi di dalam tubuhnya. Kesulitan teknis tersebut di atas disebabkan karena faktor teknis pencapaian pembuluh darah yang jauh lebih sulit dilakukan pada anak gemuk. Dampak langsungnya adalah diagnosis dan terapi sangat mengalami kesulitan, disebabkan karena sulitnya mengambil sampel darah untuk tahap diagnosis dengan pemeriksaan serial di laboratorium dan sulitnya memasang jalur infus atau transfusi darah, terlebih apabila sudah terjadi syok dan disertai penurunan kesadaran anak. Penderita Dengue berat dikenali dengan patokan terjadinya syok, perawatan di ICU bukan di bangsal biasa, atau bahkan sampai meninggal, mengindikasikan bahwa virusnya berasal dari strain yang ganas. Adanya riwayat kontak dengan penderita tersebut, misalnya teman sekelas di sekolah, les dan TPA, tetangga yang rumahnya dekat atau bahkan keluarga serumah, menggambarkan adanya potensi perburukan klinis, serupa dengan penderita sebelumnya.
Dengan berpegang pada faktor prediktor buruk tersebut, maka hampir sebagian besar penderita Dengue sebenarnya dapat ditangani rawat jalan di layanan primer dengan kontrol terjadwal, bukan dirujuk ke RS. Hanya penderita Dengue dengan satu atau lebih faktor prediktor yang memerlukan rujukan dan rawat inap di RS, dengan penjaminan biaya oleh BPJS Kesehatan. Layanan tersebut tanpa menimbulkan selisih bayar negatif bagi RS dan mencegah dirawat di lorong RS, karena bangsal sudah penuh pasien. Sudahkah kita bertindak bijak?
Sekian
*) dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM
buat admin boleh tidak minta file banner DBD. mau cetak buat puskesmas
Kirim Komentar