Gudegnet – Berbelok ke arah barat di ujung Jalan Raya Tajem, tak lama akan kita temukan mobil berderet-deret parkir di pinggir jalan. Mereka semua satu tujuan, ingin menyantap Bakmi Mbah Dingklik yang sudah ada sejak awal tahun 1970an di situ. tradisi yang diwariskan turun-temurun, dijaga agar tetap sesuai aslinya, seperti yang dapat kita temui di warung bakmi jawa Mbah Dingklik.
Mbah Dingklik adalah rumah sederhana di daerah Babadan, Ngemplak, Sleman, yang menjual bakmi jawa tradisional. Warung ini terletak di selatan jalan, tanpa papan nama ataupun tulisan yang menampilkan nama warungnya. Ya, karena memang warung bakmi ini tidak seperti warung makan lainnya, tidak memiliki nama.
Nama Mbah Dingklik diberikan oleh salah satu pelanggan yang sering menyambangi warung ini. “Namanya mas Dodi Pratama. Dulu waktu kecilnya sering maem disini, waktu masih sama mbah kakung (kakek). Dibilang Mbah Dingklik soalnya saya kalo masak, kan, duduk di dingklik, nggak bisa kemana-mana,” ujar Mbah Harso Suyatman, yang lebih dikenal sebagai Mbah Dingklik.
Mbah Harso sendiri mengaku tidak mengetahui sebelumnya bahwa warungnya dinamai Mbah Dingklik oleh para pelanggannya. Mbah Harso merupakan generasi ke-empat yang menjalani usaha tempat makan bakmi jawa ini di keluarganya. “Dari mbah buyut, simbah saya, bapak sama ibu, terus saya, sudah empat generasi,” jelasnya. Dingklik yang dipakai dari pertama berjualan masih ada sampai sekarang menemani di sebelah Mbah Harso.
Mbah Harso mulai ikut orang tuanya berjualan sekalian belajar memasak semenjak menikah. Sejak saat itu Ia rajin menekuni usaha ini, hingga akhirnya sekitar tahun 80-an, saat putri sulungnya akan menyelesaikan pendidikan dasarnya, menuju SMP, Mbah Harso pindah ke tempatnya sendiri, di sebelah utara warung ayah dan ibunya.
Wanita berusia 74 tahun ini sebelum menempati tempatnya saat ini, berjualan keliling bersama suaminya. “Dulunya keliling-keliling, ke tempat yang rame, kalo ada kethoprak, apa wayang, pakai angkringan, dijunjung pakai sepeda (anglo dan peralatan masak yang lain),” jelas Mbah Harso.
Mbah Harso pertama kali menjual seporsi bakminya sendiri, ketika sudah tidak lagi ikut dengan orang tuanya, seharga Rp 500, dan minum seharga Rp 100. Saat ini, seporsi bakmi jawa dihargai Rp 13.000, dan bakmi jawa spesial (dengan tambahan daging atau isian lainnya) seharga Rp 25.000. Sedangkan untuk minumnya Rp 3.000.
Meskipun sudah tidak lagi menjual bakmi jawa, tempat ayah dan ibu Mbah Harso berjualan masih ada sampai sekarang. Hanya saja, saat ini dipergunakan untuk menjual sembako, dan nasi soto di pagi hari oleh adik laki-lakinya.
Saat ini Mbah Harso berjualan ditemani dengan adik iparnya, Sukilah, dan cucu perempuannya, Goldina Raina Putri, yang merupakan anak dari putri sulungnya, Wayan Rinu Ken Asih. Tiap harinya, mereka dapat menghabiskan kurang lebih tiga kilo bakmi basah.
Mereka mulai menyiapkan dan memasak persiapan untuk berjualan dari sekitar pukul 15.00 tiap harinya. Persiapan memakan waktu sekitar dua-empat jam paling lama. Warung buka dari sekitar pukul 18.00 sampai habis. Biasanya, warung bakmi jawa ini kehabisan mi pada pukul 20.30, dan maksimal pukul 22.00 sudah tutup.
Meskipun mengantri dan menunggu cukup lama, masakan simbah ini tetap dicari. “Soalnya apinya itu lho, mbak, soalnya apinya dari bara jadi enak. Minumnya juga, kan, dari bara, jadi enak,” ujar Siti, salah satu pelanggan sembari menyantap hidangannya. “Dicari orang karena memang dijaga rasanya dari dulu nggak pernah berubah. Disini minumnya juga cuman ada panas, pakai gula batu. Cuman ada teh sama jeruk doang,” jelas Goldina, cucu Mbah Harso, menambahkan.
Kirim Komentar