Gudeg.net— Menengok balik ke gelaran Asia Tri Jogja 2018 yang usai dilaksanakan Sabtu (15/9) lalu, salah satu penampil, Silvia Dewi menampilkan kayanya yang beri berjudul ‘Tidak Akan Ada Lagi Sarang Burung di Atas Pohon, Ikan-Ikan Hidup di Darat’.
Seniman pencipta yang juga mahasiswi S2 aktif di Institut Seni Indonesia ini mengungkapkan bahwa karya ini sudah pernah ditampilkan sebelumnya. Walau begitu, dari pertama ditampilkan sampai ditampilkan di Asia Tri Jogja 2018, karya ini sudah berkembang dan berubah dari beberapa sisi. Untuk Asia Tri Jogja karya ini mendapat pemaknaan baru.
“Karya ini sebuah imajinasi dari isu lingkungan yang sedang terjadi. Terutama sampah plastik. Memang tidak langsung terkena imbasnya, tapi perlahan tapi pasti akan sampai ke kita. Bagaimana kalau ternyata kita sudah nyaman dengan kehidupan plastik?” ceritanya saat ditemui usai pagelaran Asia Tri Jogja 2018 di Omah Petroek.
“Dulu orang masih mau menyediakan space di halamannya untuk pohon, sekarang sudah jarang banget,” ujarnya lebih lanjut mengenai isu lingkungan hidup.
Karyanya sendiri adalah andai-andai jika memang semua sudah menjadi plastik dan kita sebagai manusia sudah menjalani gaya hidup sintetis, lalu bagaimana dengan penghuni bumi lain. Judulnya cukup harfiah, jika itu terjadi, di mana burung membuat sarang, di mana ikan akan tinggal?
“Sesederhana itu ceritanya,” ujarnya dara angkatan 2017 strata dua ini. Proses pembuatan karya dilakukan cukup singkat, 21-30 hari dengan intensitas bertemu yang cukup sedikit.
Sejauh ini pun untuk Silvia karya ini masih belum usai. Masih tahap awal—dan akan terus berubah ke depannya. Silvia sendiri sangat peduli dengan keterlibatan orang lain dalam memaknai karyanya. Dia selalu bertanya kepada orang lain apa yang mereka lihat saat melihat intepretasi ceritanya dalam bentuk gerak.
“Bagi saya, pesan saya sampai atau tidak pada orang lain itu penting. Walaupun tidak dipungkiri, pasti tetap ada yang akan berbeda menangkap makna,” lanjutnya. Seperti misalnya dalam Asia Tri Jogja lalu, dia mendengar salah satu penonton yang nampaknya cukup awam membicarakan apa sebenarnya ‘bentuk’ penari-penarinya.
“Saya dengar mereka bilang ’itu lalat! Itu lalat!’, saya pikir ya, bisa juga. Saat sampah tidak terurai, lalat akan bertumpuk di situ. Ya, masih nyambung,” ujarnya lagi sambil tertawa kecil.
Walau begitu, Silvia mengaku bahwa dia membutuhkan apa yang dipikirkan orang lain juga untuk mengembangkan karyanya. Untuknya, memaknai dan dimaknai adalah lingkaran karyanya yang tidak bisa dipisah.
Cerita Silvia bermula dari tiga penari dalam plastik besar dan tutup kepala bulat seperti lampion, tanpa musik. Intepretasi awal berupa selubung plastik tersebut adalah zona nyaman, di mana kita hidup dalam gelembung dunia plastik. Sampai salah satu ‘penghuni’ tersebut rusak gelembungnya dan terpaksa keluar dari gelembungnya.
Ia lalu tersadar bahwa kehidupan di luar lebih baik dan mengajak temannya untuk ikut keluar. Individu terakhir tidak ingin keluar, dan segera ingin masuk dalam gelembungnya begitu berada di luar.
Di akhir karya mereka menemukan sesuatu yang organik, sebatang pohon yang masih tunas. Awalnya mereka terpesona, lalu serakah ingin memiliki. Pada akhirnya mereka berebut ingin menguasai dimasukkan dalam ‘dunia’ plastik mereka masing-masing yang akhirnya berujung tragedi.
Adegan ini seolah menceritakan bahwa seorganik dan alami apapun, begitu alam tersentuh manusia segala sesuatu jadi terkontaminasi. Belum lagi keserakahan dan egoisme ingin menguasai sesuatu yang yang sebenarnya hak orang banyak.
tulisan indah sekali....terimakasih.... *saia salah satu makhluk diatas
Kirim Komentar