Gudeg.net—Mengejar senja dapat dikatakan menjadi kegiatan rutin untuk sebagian orang. Ada keteduhan tersendiri dalam menyaksikan penghujung matahari. Lokasi yang sedang beranjak diminati di Yogyakarta adalah sebuah kedai sederhana di Watu Lumbung, Parangtritis. Namanya Kedai Wedangan.
Kedai terbuka ini nampak bersahaja. Dengan tautan bambu dan kayu sebagai ‘bangunan’, kita benar-benar bisa menikmati alam terbuka. Pemandangan gamblang antara rumah yang jarang-jarang, tanaman hijau, dan bibir pantai adalah hal yang bisa kita harapkan untuk ditemui di sini.
Millyartho Suryonagoro, pemilik Kedai Wedangan membagi ceritanya di kedai ini. “Awal buka dulu 26 Januari 2015. Sudah cukup lama, jalan lima tahun. Saat itu, saya adalah kedai kuliner pertama di sini,” ungkap pria yang kerap dipanggil Iyok ini.
Iyok mengatakan awal mula kedai ini terjadi karena ada inisiator yang ingin membuat kawasan edukasi Watu Lumbung. Sosok tersebut adalah Muhammad Boy Rifa’i. Orang yang sama menawari lahan untuk Iyok berbisnis. Karena memang suka nongkrong, jadilah Kedai Wedangan ia jadikan sarana nongkrong anak muda.
“Ini juga sebagai percontohan untuk anak muda lainnya. Makanya ini jadi tempat nongkrong yang ada sarana edukasinya,” ujarnya lagi.
Di kedai ini kita akan menemukan perpustakaan mini dan berbagai tulisan yang mengingatkan kita untuk selalu menstimulasi pikiran kita. Kita bisa membawa buku untuk disumbangkan menjadi koleksi perpustakaan mini ini. Sebagai gantinya, Kedai Wedangan akan memberikan apresiasi kepada kita.
Sebenarnya, tujuan edukasi Watu Lumbung tidak hanya berkonsentrasi ke gerakan membaca saja. Namun, Iyok memutuskan untuk fokus ke budaya membaca. Program menyumbang buku ini mereka namakan ‘Berbagi Buku’.
Tak hanya itu, tempat ini ternyata memiliki banyak program. Selain Berbagi Buku, Kedai Wedangan juga memiliki program yang dinamakan Berbagi Cerita. Di program ini biasanya Iyok bekerja sama dengan universitas atau instansi membuat talkshow yang diadakan di sini.
Program menarik lainnya yang ada di sini adalah Berbagi Bahasa. Sama seperti Berbagi Buku, bagi yang mengikuti program ini akan diberi apresiasi. “Jadi kami menantang pengunjung untuk membuat puisi pendek dalam bahasa daerahnya. Nanti kami videokan,” jelasnya lagi.
Belum habis sampai di situ. Kita juga dapat menemukan berbagai kelas kreatif yang dinamakan Kelas Berbagi, seperti kelas enamel misalnya. “Pokoknya kelas kreatif,” kata Iyok.
Bulan perpindahan musim seperti April ini nampaknya waktu yang pas untuk datang. Walaupun banyak meja terisi, tetapi tidak penuh sekali. Diakui Iyok, saat musim hujan, pengunjung kerap sepi. “Kelemahannya itu, sih. Karena konsep tempat kami terbuka,” ujarnya.
Jam ramai biasanya jatuh pada pukul 15.00 hingga 20.00 WIB. Jam yang pas untuk menikmati sunset Parangtritis. Pukul 22.00 biasanya ada lagi yang datang. Kadang, tamu tersebut lalu menginap.
Tempat ini siap menerima pesanan pukul 10.00 WIB, dan menutup pemesanan pada pukul 00.00 WIB setiap hari. Namun, karena tempatnya terbuka dan tanpa pintu, dia mempersilakan saja tamu yang tidak pulang alias menginap sampai pagi.
Menu yang kita temukan di sini adlah menu-menu desa yang menyenangkan seperti tahu tempe kemul, mi oleng (mi goreng), mi u’ah (mi kuah), pisang goreng, singkong keju, dan lainnya. Menu tersedia dalam paket. Untuk menu mi, kita cukup membayar Rp14.000 sudah mendapatkan makanan dan minuman.
Menu lainnya dipaket sesuai dengan jumlah orang. Paket-paket ini dibanderol dengan harga Rp20.000-Rp60.000. Jangan lupa bawa kamera dan pose terbaikmu saat berkunjung ke sini.
Kirim Komentar