Gudeg.net—Raungan dan dentingan not-not musik yang megah mengisi ruang. Menggelegar dan penuh sentimen, namun terasa rapuh. Antara petikan gitar, gesekan biola, dan musik sintetik dengan mesin, Guntur Nur Puspito berusaha menyampaikan pesannya.
Aransemen dalam pertunjukan Jagongan Wagen Agustus ini sendiri terdiri dari beberapa komposisi. Guntur memainkan sendiri semua alat musik, konvesional maupun mesin.
Ia tak sendiri, bersama-sama dengan kolaboratornya; Asita Kaladewa, Kinanti Sekar Rahina, Bayu Aji Nugraha, dan Muhammad Shodiq, mereka menyampaikan wahyu peradaban lewat karya “Semar Gaung” yang dipentaskan di PSBK.
Kegelisahan atas adab perilaku dan norma-norma yang terkikis oleh zaman dan terutama gawai mencambuk musisi kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah ini untuk bicara melalui karyanya.
“Saya di sini berbicara mengenai hubungan antarmanusia,” ungkap Guntur saat diwawancara setelah pertunjukan berakhir (30/8).
Ia mencontohkan hal yang paling sederhana, mulai dari dirinya sendiri. Antara dia dan salah satu kolaboratornya, Asita. Tidak ada lagi ‘unggah-ungguh’ dalam memanggil nama. Walaupun Asita lebih tua darinya, ia tidak menggunakan prefiks ‘Mas’ di depan nama Asita.
Dalam karyanya, ia juga membawa tema religi untuk ‘menyentil’ keadaan sekarang. Ia memasukkan representasi agama-agama dalam liriknya.
Guntur ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dari simbolisme dan/atau atribut agama lain. Sebagai seorang muslim, ia membacakan doa Bapa Kami dari kepercayaan nasrani sebagai bagian dari lirik karyanya.
“Sesudah itu, iman saya tidak berubah,” ujarnya lagi. Semar, dalam tokoh pewayangan Jawa digambarkan sebagai seorang guru atau pamong. Bijaksana dan mengayomi. Biasanya digambarkan dengan telunjuk teracung.
Dengan gawai dan sosial media, manusia menjadi brutal, membabi buta tanpa filter dan rem. Sangat gampang untuk mengabaikan adab dan perilaku, bersembunyi di balik keyboard komputer dan ketukan jempol.
Unsur dalang, pantomim, dan penari dijadikannya sebagai simbol. Masing-masing membawa peran sebagai manifestasi Semar, Ibu Bumi, dan dalang yang menceritakan Semar yang 'mencari' anaknya karena hubungannya yang renggang karena gawai.
Trima kasih gudeg.net sdh menyempatkan dtng mengapresiasi karya ini, dan jg untk liputannya. Sdikit koreksi, Parigi itu di Sulawesi Tengah, bukan Sulawesi Selatan, hehee., maaf njih. Matur nuwun sanget.
Kirim Komentar