Gudeg.net—Jagongan Wagen terakhir untuk tahun 2019 akan diisi oleh karya Habiburrachman, seniman penerima hibah seni Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK).
Pementasan teater yang berjudul “Detik Kedua Puluh Enam Minggu Dini Hari” ini merupakan upaya Habib untuk melihat Yogya melalui klitih.
Melalui pertunjukan teaternya kali ini, Habib akan berbagi sudut pandang lebih luas dengan mengangkat sejarah pembentukan subjektivitas pelaku dalam relasinya dengan konteks sosio-kultural yang khas.
Menurut Habib klitih tidak lahir dari ruang buta, tetapi dibentuk oleh sistem pendidikan, sistem pranata sosial, konsep moralitas, maskulinitas, dan premanisme yang menjamur.
Melansir dari wikipedia, klitih sendiri berasal dari kalimat bahasa Jawa yang berarti suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran.
Klitih kemudian mengalami pergeseran makna menjadi aksi kekerasan dengan senjata tajam atau kegiatan kriminalitas anak di bawah umur di luar kelaziman.
Latihan salah satu adegan "Detik Kedua Puluh Enam Minggu Dini Hari" di PSBK/Foto:Dok. PSBK
Karya ini berusaha mengajak masyarakat berpartisipasi untuk tidak segera menempelkan stigma negatif dalam melihat klitih dengan tidak melepaskannya dari kondisi partikular yang menentukannya.
Jogja adalah salah satu kota dengan beragam dinamika sosialnya yang memungkinkan untuk dibaca berulang demi keberlangsungannya; apakah ia akan bertahan atau binasa. Kemunculan kota beserta dinamikanya adalah bagian tak terpisahkan dari relasi sosial warga kota itu sendiri.
Seringkali, masyarakat berhenti pada pemahaman kota sebagai tempat geografis semata. Sedang segala persolannnya dianggap selesai dengan para birokrat dan teknokrat.
“Lantas, apakah benar situasi sosial kota yang terpresentasi pada perilaku warganya akan selesai dengan pendekatan teknokratisme? Pertunjukan ini nantinya akan mencoba mengelaborasikan problematika ini,” terang Donnie Trisfian, bagian media dan publikasi PSBK melalui rilis yang diterima GudegNet.
Untuk membangun narasi dalam cerita ini, Habib melakukan studi literatur dan obvervasi melalui beberapa wawancara. Kemudian ia menyusun data yang ia peroleh menjadi satu cerita untuk bisa ia sampaikan kepada penonton.
Ario Mahardika dan Faried Nor Siregar a.k.a Askal dipilih sebagai aktor yang akan menghidupkan narasi ke panggung pertunjukan.
Selain dua aktor ini, Habib juga menggandeng Febrian Adinata Hasibuan untuk membantunya menyusun tangga dramatugi agar alur cerita terjaga dengan baik.
Mengisi ilustrasi musik dan mengisi bebunyian, Habib mendapuk Regina Gandes untuk membangun imajinasi melalui bunyi.
Habiburrachman adalah seniman kelahiran Sumenep yang berkegiatan di seni pertunjukan teater sejak 2013 ketika bergabung dengan Teater ESKA Yogyakarta. Ia terlibat menjadi aktor, penulis naskah dan menyutradarai.
Karya terbarunya pada 2018 antara lain “Pelajaran Bab Dua”, “Penghujung Kau dan Aku”, dan “Kelas Tambahan”. Sekarang Habib sedang menyelesaikan tugas akhirnya di jurusan Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kirim Komentar