Gudeg,net- Penyelenggaraan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) selalu identik dengan hiburan, baik yang berhubungan dengan musik hingga pertujukan budaya.
Pertunjukan wayang Tionghoa atau yang akrab disebut Wayang Potehi (Po Tay Hie) menjadi bagian yang tidak terlupakan pada setiap perayaan Imlek di Kampung Ketandan.
Wayang potehi Paguyuban Fu He An merupakan satu-satunya yang tidak pernah absen setiap penyelenggaraan PBTY.
Dibawah pimpinan Purwanto, grup Potehi yang berasal dari Jombang, Jawa Timur ini selalu mengisi kemeriahan di bagian ujung sudut area PBTY.
Dalang Potehi Purwanto mengatakan, grupnya sudah menjadi langganan sejak awal diadakannya pekan budaya Tionghoa di Kampung Ketandan
“Potehi ibarat identitasnya perayaan Imlek disini, ini tahun ke-15 kami menggelar pertunjukan wayang potehi dan selalu di sini lokasinya, pojok ujung jalan Ketandan.,” ujar Purwanto saat ditemui GudegNet, Kamis (6/2).
Purwanto menjelaskan, Paguyuban Fu He An berasal dari Klenteng Hong San Kiong Kecamatan Gudo Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Perguruan ini merupakan salah satu yang tertua dan hingga kini masih melestarikan wayang Potehi.
“Banyak perguruan lain yang mulai membawakan wayang potehi namun semuanya kembali kepada kualitas dan variasi cerita yang dipentaskan,” jelasnya.
Bagi Purwanto, wayang potehi sudah menjadi hidupnya. Otodidak, itulah yang tersemat dari mulai awal karir Purwanto sebagai dalang potehi.
Bermula pada tahun 1980 ia sudah mulai mengenal wayang potehi dari salah satu pamannya yang juga merupakan dalang potehi senior di Jombang.
“Saat itu masih kecil, saya baru tahu potehi ini, dan terus belajar bersama paman yang merupakan dalang potehi di kampung. Mulai itu saya mengetahui jenis wayang potehi beserta karakter-karakternya,” cerita pria berkumis itu.
Setelah mengenal berbagai alat pada wayang potehi, Purwanto mulai berani menjadi asisten dalang membantu sang paman bila ada pementasan. Setiap pementasan, ia selalu memperhatikan cerita-cerita yang disenangi oleh penonton hingga wayang apa saja yang dimunculkan.
“Cerita pada potehi menjadi daya tarik utama selain permainan karakternya. Cerita ada yang satu kali main selesai dan ada juga yanng bersambung hingga berhari-hari,” tuturnya.
Di Klenteng Hong San Kiong Jombang lah ia mulai memberanikan diri tampil menjadi dalang membawakan wayang potehi secara lengkap dan terus berjalan hingga sekarang.
Cerita atau naskah yang dibawakan banyak berasal dari kisah klasik legenda Tionghoa namun beriringnya waktu sudah banyak perkembangan. Cerita novel-novel juga mulai disenangi oleh penonton.
“Cerita yang melibatkan tokoh kera sakti Sun Go Kong juga sering diminta untuk dimainkan, karena ceritanya seru atau kisah tentang kerajaan china,” tuturnya.
Untuk satu cerita Purwanto memainkan dengan durasi dua jam namun pernah juga membawakan sebuah cerita klasik sampai satu bulan karena memang ceritanya panjang dan dibuat bersambung.
Untuk malam ini, Purwanto membawakan cerita klasik china yang berjudul Sie Djin Koei Tjeng See. Bercerita tentang seorang Jendral bernama Sie Jin Koei yang melakukan penyerangan untuk memperluas wilayah kekuasaan di bagian barat China.
“Kisah ini banyak diminta oleh para panitia utuk dibawakan disini, karena ceritanya menarik dan penuh dengan aksi serta drama,” ungkap Purwanto yang telah berusia 55 tahun itu.
Potehi sendiri berasal dari tiga suku kata yaitu Poo (kain), Tay (kantong), Hie (wayang) yang diartikan wayang yang terbuat dari kain atau kantong yang dimainkan dengan tangan. Potehi dimainkan oleh dalang dibelakang sebuah bilik.
Alat musik yang biasa digunakan diantaranya Tambur (tongko), Gembreng besar (toa loo-buh), Gembreng kecil (siau loo-hoen), Rebab (hian-a), Siter (yang jin), Ngik Ngok (kol hu), terompet/slompret (thua jwee).
Bahasa yang dipakai untuk pertujukan pada awalnya memakai bahasa Mandari atau Hokian namun saat ini sudah dikolaboasikan dengan bahasa Indonesia.
“Tidak semua pakai bahasa Mandarin, kadang saya campur dengan bahasa Indonesia. Tidak semua penonton yang mengerti bahasa mandarin,” kata dia.
Purwanto berharap Wayanng Potehi dapat terus lestari, karena sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia sejak lama.
“Potehi bukan sekedar budaya Tionghoa akan tetapi sudah melebur dengan budaya Indonesia dan tentunya ini memperkaya khasanah kebudayaan kita, Mari kita budayakan wayang potehi agar tetap lestrai dan terus dapat menghibur,” harapnya.
Kirim Komentar