Gudeg.net—Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, menggelar Festival Virtual Bumi Panggung yang bertajuk “Survive” sepanjang bulan Agustus 2020.
“Festival ini merupakan program kerja dari Desa Budaya Bumi Panggung Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, dalam merespon kondisi saat ini,” kata Nurohmad selaku ketua panitia penyelenggara melalui rilis yang diterima Gudegnet, Jumat (31/7).
Pekerja seni dan budaya tidak boleh berhenti melahirkan karya walaupun dalam kondisi pandemi. Kondisi pandemi harus direspon dengan cara-cara yang tidak biasa agar tetap bertahan.
“Bagi mereka, tetap produktif bukan melulu perkara survive ekonomi, melainkan juga survive budaya yang kemudian melahirkan kelestarian. Memang ini masa prihatin, namun betapa prihatinnya jika kita kehilangan produk budaya setelah pandemi ini berakhir,” ujar Nurohmad lagi.
Digelar 1-31 Agustus 2020, festival dapat diakses melalui situs web www.festivalvirtual.bumipanggung.id. Selain pameran karya seni, juga akan ada pameran kuliner serta berbagai pertunjukan yang juga digelar secara virtual.
Ada juga berbagai sesi webinar dengan beragam tema menarik seputar upaya survive pekerja seni dan budaya.
Menurut Nurohmad, jumlah pekerja seni dan budaya di Panggungharjo melimpah dan keadaannya cukup memprihatinkan. Selain sebagai usaha untuk bertahan (survive), festival ini juga berharap ada sisi edukasinya dalam menghadapi pandemi.
“Makanya tema kita adalah Ndhudhuk-Ndhudhah-Ndhidhik,” kata Nano Warsono selaku konseptor pada festival tersebut.
Nano menjelaskan, ndhudhuk merupakan upaya untuk menggali potensi seni dan budaya yang masih produktif.
Setelah itu dilakukan ndhudhah, yaitu upaya mengangkat potensi dalam rangka survival di tengah pandemi. Upaya terakhir adalah ndhidhik yaitu pembelajaran yang ditujukan kepada masyarakat.
Kegiatan ini diharapkan mampu membantu para pekerja seni dan budaya serta mengedukasi masyarakat tentang pentingnya sikap untuk tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan yang dimilikinya.
Mereka berharap jangan sampai produk seni dan budaya justru nantinya hilang karena terlalu sibuk memikirkan pandemi dan ekonomi.
“Dengan cara ini, pekerja seni dan budaya justru mendapatkan dua hal, kelestarian budaya sekaligus survive secara ekonomi,” kata pria yang juga merupakan Direktur Galeri Katamsi ISI Yogyakarta tersebut.
Kirim Komentar