Gudeg.net—Makanan sejak lama menjadi obsesi manusia. Entah untuk sekadar bertahan hidup atau menjadi objek fetisisme, kultur maupun lainnya.
Dalam dunia seni makanan kerap menjadi sumber inspirasi dan pertanyaan yang ingin disampaikan atau dijawab dalam bentuk karya.
Pandemi telah membawa kita sebagai masyarakat di level baru dalam pergumulan dengan makananan. Banyak yang mengaku tidak dapat membeli makanan, banyak pula yang menyambung hidup dengan berjualan makanan setelah mendapat separuh gaji atau bahkan diberhentikan.
Pameran duet dua seniman Jogja, Eko Codit dan Alfin Agnuba di Artotel mengusung tajuk “Kondimen” sebagai sentilan yang pas untuk merespon keadaan ini.
Judul pameran tidak harfiah berkesinambungan dengan karya yang dipamerkan. Judul tersebut dipilih karena kata ‘kondimen’ memiliki asosiasi langsung dengan makanan.
(ki-ka) Eko Codit, Alfin Agnuba, Titis Oktavianingrum saat pembukaan pameran "Kondimen" di Artotel Jogja, Selasa (1/9)-Gudegnet/Trida
Diduetkannya kedua seniman ini cukup menarik jika ditilik dari gayanya yang cukup berbeda. Eko Codit cenderung menuangkan ide nya dalam berkarya dengan memperlihatkan representasi visual tentang kudapan tradisional dengan tema satire.
“Penggunaan judul saya suka agak mbeling dikit, ya. Misalkan sebenarnya saya ingin gambar pecel turi, tapi kok ingatan saya malah ke judul film kayak “Fist of Fury” itu,” kata Eko mengacu pada salah satu karyanya yang diberi judul “Fist of Turi” saat pembukaan pameran di lobi Artotel Jogja, Selasa (1/9).
Karyanya yang lain merupakan kolase motif permukaan tiwul. Karya ini diberi judul “Luwit Fitom” yang merupakan permainan kata dari ‘motif tiwul’ yang bunyinya mirip dengan merk pakaian mewah.
Dalam karya ini ia bercerita tentang budaya tradisi yang mulai menunjukkan pengikisan akibat budaya modern. Khususnya dalam hal makanan, kudapan impor.
Pilihan warnanya pun terang dan berani. Menurut Titis Oktavianingrum, Marketing Communication Officer Artotel, beberapa karya Eko terlihat memiliki pengaruh manga atau gaya komik Jepang.
Sedangkan Alfin kerap menggunakan garis yang tegas dengan warna-warna gelap dan kelam. Karya dalam pameran ini bercerita tentang sebuah fenomena atas perayaan kenaikan harga pangan primer pada selebrasi agama setiap tahun.
Seorang pengunjung sedang mengamati karya Alfin yang berjudul "A.S.A.P." di pameran "Kondimen" Artotel Jogja (1/9)-Gudegnet/Trida
Isu yang ia angkat adalah kenaikan harga yang tidak sebanding dengan nilai yang didapat oleh sumber daya manusia yang mengolahnya.
Karya Alfin yang diberi judul “Chilibration” dibuat di awal tahun 2017. Dekat dengan warga sekitar kediamannya yang notabene adalah petani membuat Alfin sering menyimak percakapan mereka.
Saat itu harga cabai di pasaran sedang melambung, peristiwa ini memicu pergunjingan di antara petani tersebut.
“Percakapan-percakapan ini lalu tertanam di pikiran saya. Daripada ini juga membebani saya secara tidak langsung, ya udah saya corat-coret aja,” cerita Alfin di kesempatan yang sama.
"Chilibration" karya Alfin Agnuba yang dipamerkan di Artotel Jogja-Gudegnet/Trida
Judul “Chilibration” sendiri, yang merupakan gabungan antara “chilly” (cabai) dan “celebration” (perayaan), dipilih karena fenomena tersebut terjadi tak jauh dari perayaan tahun baru dan Natal.
Artotel sendiri tetap memegang teguh komitmennya di dunia seni dengan tetap melangsungkan pameran seni. Namun di tengah pandemi seperti ini, tentunya semua dijalankan dengan mematuhi protokol kesehatan Covid-19.
“Karya-karya yang dikemas secara satir atas konsumtif pangan, dihadirkan kembali dengan tujuan untuk menguatkan teman-teman agar tetap berjuang di masa pandemi,” ujar Windi Salomo, Art Director Artotel Group dalam siaran pers yang diterima Gudegnet (2/9).
Pameran ini dapat disaksikan di lobi Artotel di Jalan Kaliurang Km 5,6 No.14, Caturtunggal, Sleman. Pameran akan berlangsung hingga 10 Oktober 2020 mendatang.
Kirim Komentar