Gudeg.net - Dawet biasa kita jumpai sebagai minuman segar yang disajikan dingin. Di Desa Jatimulyo, Kulonprogo, kita dapat menjumpai dawet yang berbeda, yakni Dawet Sambel.
"Dawet sambel itu cendol, cuma nggak pake santen. Pemanisnya tetep pakai nira kelapa, tapi topping-nya ada bawang goreng, taoge, tahu goreng, sama sambel," kata Andri, salah satu penjual Dawet Sambel di Desa Jatimulyo kepada Gudegnet, Senin (19/4).
Sambalnya, kata Andri, terbuat dari kelapa yang diiris-iris, digoreng kemudian ditumbuk dan diberi cabai, mirip sambal pecel.
"Memang dulunya pencetusnya Dawet Sambel itu jualan pecel sama dawet. Tapi karena pecelnya habis terus, tapi dawetnya masih ada, sedangkan sambel pecel masih ada. Lha kok ada orang itu pingin makan dawet, tapi nggak pakai santen, tapi malah dikasih sambel pecel tadi. Kok dirasakan enak, akhirnya semakin ke sini malah jadi tradisi makan dawet pakai sambel," paparnya.
Lebih lanjut ia bercerita, kuliner ini dicetuskan sudah lebih dari 70 tahun lalu. Pada tahun 2019, Dawet sambel dinobatkan oleh Kemendikbud sebagai salah satu warisan budaya takbenda. Di Desa Jatimulyo, kuliner ini dijual di tempat wisata, dan di warung pinggir jalan.
Selai itu, kuliner ini juga dijual di rumah-rumah, seperti Dawet Sambel Nyi Ponirah, milik nenek Andri. "Kebetulan mbah saya ini generasi ketiga dari Mbah Wagiyem. Mbah Wagiyem itu, yang tadi, yang pencetusnya itu," ujarnya. Dawet Sambel Nyi Ponirah sering menjadi jujugan para wisatawan yang memang sengaja datang karena ingin menikmati Dawet Sambel.
Mbah Ponirah, kata Andri, menjual Dawet Sambel di Pasar Cublak, Jatimulyo, Kulonprogo setiap hari Rabu dan Sabtu. Bisa juga jika pembeli langsung datang ke rumah, namun harus menunggu proses pembuatan selama satu hingga dua jam."Tapi kebanyakan malah seneng, pesennya ndadak. Jadi sambil nunggu sambil main-main di sekitar rumah," terangnya.
Kuliner ini memiliki perpaduan tiga rasa, pedas, manis dan gurih. Menurut Andri, tiga rasa yang dicampur dalam satu mangkok ini mengandung filosofi tersendiri, yakni bahwa masyarakat di Jatimulyo merupakan masyarakat majemuk yang bisa menerima wisatawan tanpa membeda-bedakan suku, ras, maupun agama.
Penasaran? Kuliner ini dapat dinikmati Rp 4000 per mangkuk, dan Rp 2500 per plastik jika di pasar.
Kirim Komentar