Gudeg.net— Sastra Bulan Purnama (SBP) kembali menyapa di edisi ke-117, Kamis, 24 Juni 2021. SBP yang kini digelar secara virtual menjadi ‘SBP: Poetry Reading from Home’ kali ini berkolaborasi dengan seni rupa.
Selain pameran seni rupa karya 10 perupa perempuan, Poetry Reading from Home edisi 17 akan meluncurkan buku puisi yang diberi judul ‘Rupa Puisi, Puisi Rupa’.
Pembukaan pameran dilakukan Kamis, 17 Juni 2021 pukul 16.00 WIB di Tembi Rumah Budaya, Jalan Parangtritis Km 8,5, Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta, dengan jumlah peserta terbatas.
Pameran akan dibuka Budi Argop Situngkir A.Md.I.P.,SH., M.H. Kakanwil Kemenkumham DIY. Sepuluh perupa perempuan yang akan memerkan karyanya adalah Dwi Rahayuningsih, Erica Hestu Wahyuni, Setyowati, Rina Kurniyati, Laila Tifah, Lully Tutus, Peni Citrani Puspaning, RA Sekartaji Suminto, Tara Nusantara, dan Watie Respati.
“Meskipun lebih banyak menghasilkan karya seni rupa, tetapi para perempuan ini sering menulis puisi. Maka, bagus juga kalau karya yang diciptakan digabung dalam satu buku,” ujar Watie Respati dalam keterangan resmi yang diterima Gudegnet, Senin (14/6).
Watie sendiri sudah beberapa kali tampil membaca puisi di SBP. Selain Watie, yang pernah tampil membaca puisi Tara Nusantara dan Dwi Rahayuningsih. Dikenal sebagai seorang penari, Dwi akan membacakan puisi yang dipadukan dengan tarian.
SBP: Poetry Reading from Home dapat disaksikan melalui kanal Youtube Sastra Bulan Purnama pada pukul 19.30 WIB.
“Dua kegiatan dilakukan bersamaa, pameran dan pembacaan puisi, untuk memberi ruang interaksi antara seni rupa dan puisi,” ujar Ons Untoro, koordinator SBP.
Diceritakan oleh Ons Untoro, di Yogya, setidaknya awal tahun 1970-an, interaksi antara pelukis dan penyair berlangsung sangat akrab.
Masing-masing saling bersahabat, bahkan pada masa itu dikenal sebutan poros Malioboro-Gampingan. Malioboro tempat mangkal para penyair Yogya, dan Gampingan adalah kampus ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta.
“Namun, sejak akhir 1990-an, lebih-lebih setelah tahun 2000-an, suasana akrab seperti dulu tidak lagi terlihat. Perupa dan penyair seperti mempunyai dunia masing-masing, tidak saling bersentuhan. Penampilan perupa perempuan kali ini, setidaknya bisa mengingatkan suasana 50-an tahun lalu,” tutup Ons Untoro.
Kirim Komentar