Gudeg.net - Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 resmi dibuka. Pameran seni rupa dan berbagai kegiatan pendukung yang mempertemukan Indonesia dengan Oseania ini akan digelar 6 Oktober hingga 14 November 2021 secara hybrid, luring dengan protokol kesehatan ketat dan daring melalui https://biennalejogja.org/.
Direktur Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 Gintani Nur Apresia Swastika dalam sambutannya saat pembukaan, Rabu (6/10) mengatakan, kegiatan ini melibatkan 34 seniman, dan komunitas dari berbagai daerah dan negara, seperti Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Tangerang Ambon, Jayapura, Maluku Utara, Kaledonia Baru, Auckland, New Zealand, Australia, Timor Leste, Belanda, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Korea.
Bersamaan dengan gelaran pameran, disuguhkan lebih dari 70 agenda pengiring. Hampir setiap hari akan ada agenda sebagai upaya aktivasi pameran.
“Mempertimbangkan banyaknya seniman dan kegiatan yang dihelat, kami membagi kegiatan pameran di empat lokasi, yaitu Jogja National Museum sebagai venue pameran utama, yang mengangkat tema Roots<>Routes, kemudian Pameran Arsip Biennale Jogja di Taman Budaya Yogyakarta, yang merangkum gagasan dan dinamika sepanjang 10 tahun penyelenggaraan Biennale Jogja seri Khatulistiwa serta dengan apik menghadirkan Museum Khatulistiwa. Pameran lainnya adalah Bilik Negara Korea dan Taiwan di Museum dan Tanah Liat dan Indie Art House,” ujar Gintani.
Pembukaan acara ditandai dengan beberapa pejabat secara bersamaan membuka tirai yang menutupi gambar bertuliskan tema Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, Roots <> Routes.
Acara dilanjutkan dengan melihat karya para seniman di ruang pamer di JNM. Setelahnya, para pengunjung menyaksikan penampilan Mother Bank Band, Nova Ruth, dan Asep Nanyak.
Dirjen Kebudayaan Dr. Hilmar Farid mengapresiasi konsep Biennale Jogja yang selalu melibatkan negara-negara lain. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa gagasan-gagasan seni bangsa kita menjelajah dan memengaruhi bangsa lain.
“Ada upaya besar untuk membawa situasi kita hari ini dalam pemikiran dan pameran. Di masa pandemi, penyelenggaran pameran ini menegaskan bahwa keterbukaan dan kesahajaan bukan sekadar laku, tetapi juga kebutuhan untuk bertahan hidup. Semoga bisa menginspirasi seni rupa kita ke depan,” ujarnya.
Hilmar mengingatkan, hal ini tidak untuk mencari kebanggaan dan kebaruan, melainkan juga menjadi kritik diri, sehingga bisa memperbaiki diri.
Kirim Komentar