![](/images/upload/ki_ledjar.jpg)
"Saya heran kok bisa mendapatkan penghargaan ini. Saya kan hanya mencoba untuk berkecimpung di dunia seni yang berhubungan dengan anak muda," ujarnya sesaat setelah menerima penghargaan di Jogja National Museum, Minggu (10/1).
Meski demikian, Ki Ledjar mengaku sangat bangga telah dianggap sebagai salah satu seniman yang berkualitas oleh panitia Biennale. "Saya hanyalah seniman tradisional yang kebetulan dianggap cukup berkualitas," ujarnya.
Seperti diketahui, Ki Ledjar Subroto merupakan sosok penemu dan kreator Wayang Kancil hingga kini masih konsisten pada jalurnya. Ia terus berkreasi mengembakangkan Wayang Kancil, mempertontonkannya di pangung-panggung kecil, menebarkan nilai-nilai kehidupan, terutama pada anak-anak yang menjadi segmen penontonnya.
"Saat ini wayang sudah tidak diminati lagi oleh anak muda, jadi pada tahun 1980-an saya punya ide untuk menciptakan wayang yang berbeda dengan wayang biasa," tukasnya seraya menyatakan bahwa wayang kancil ciptaanya bisa bergerak pada bagian kaki, mulut, dan ekor.
Ki Ledjar tak hanya berhenti di situ saja. Ia kini merambah cerita lain, yakni Wayang Proklamasi, antara lain berisi kisah-kisah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda. Ia menggubah tokoh-tokoh pejuang seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain, termasuk para Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Belanda.
"Dongeng untuk anak itu sekarang sudah dilupakan orangtua. Padahal untuk mendidik anak itu tidak perlu susah-susah dengan hukuman, cukup dengan bercerita," tegas Ki Ledjar kelahiran tahun 1938 ini.
Ki Ledjar yang sehari-harinya akrab dengan para perupa muda, mengaku wayang karyanya justru menjadi maskot di beberapa museum dan kolektor asing seperti di Tim Byard-Jones, University Of London, di Inggris, Ubersee Museum di Bremen, Dr Walter Angst di Kota Salem dan Arno Mozoni-Fresconi di Hamburg Jerman.
Selain itu, karya Ki Ledjar juga terdapat di Volkenkundig Museum Gerardus Van der Leeuw di Kota Groningen, V.M Clara Van Groenendael di Kota Amsterdam, Museum Westfreis, Museum Horn, di Kota Hoorn, Museum Tropen di Amsterdam, dan Museum Kantjiel, di Leiden, Belanda, Tamara Fielding "The Shadow Theater Of Java" di New York Amerikabierikat dan Museum Of Anthropology (Dominique Major) di Kanada. "Kesenian tradisional, khususnya pewayangan, tak akan saya biarkan sirna begitu saja," tegasnya.
Kirim Komentar