Gudeg.net- Wartawan foto Boy T Harjanto meluncurkan buku foto berjudul Letusan Merapi 21 di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Minggu (12/12) malam.
Buku yang berisikan kumpulan foto dokumentasi tentang aktivitas Gunung Merapi, mulai dari erupsi hingga kehidupan warga lereng Merapi telah dipersiapkan sejak tahun 2020 hingga 2021.
“Buku ini adalah buku seri ketujuh dari satu rangkaian buku yang sudah saya terbitkan sebelumnya. Ketujuh buku tersebut bertemakan gunung api, baik Merapi dan gunung lainnya,” ujar Boy T Harjanto.
Ketujuh bukunya yang telah terbit adalah Merapi 120 fps (2011), Merapi Volcano (2012), Erupsi Merapi (2013), Mt. Merapi (2014), erupsi Gunung Kelud (Kelud, 2014), Java Volcano Eruption (2015) dan Letusan Merapi 21 (2021).
Ia menjelaskan, fokus karya foto dalam setiap buku yang ia terbitkan juga berbeda-beda, menyesuaikan karakter aktivitas dari Gunung Merapi.
“Gunung Merapi itu unik, karakter erupsinya berbeda-beda dan dampaknya pun berbeda-beda hampir setiap tahunnya,” jelas pria yang akrab di sapa Mas Boy itu.
Sejumlah kendala ia hadapi dalam proses pemotretan untuk buku terbarunya ini, terlebih saat ini masih dalam situasi pandemi. Ia rela berhari-hari bahkan berminggu-minggu tidak pulang ke rumah untuk mengabadikan Merapi. Bahkan di saat bulan puasa pun tidak mengurungkan niatnya untuk tetap memotret.
“Puasa dan pandemi bagi saya sudah bukan halangan untuk tetap memoret Merapi, ya walau pun ada ketakutan tapi semua saya tepis. Jadi bisa dikatakan semua foto yang ada dalam buku foto ini saya rangkum selama terjadinya pandemi Covid-19,” tuturnya.
Foto-foto dalam bukunya itu berasal dari sejumlah lokasi pemotretan, seperti Gardu Pandang Gunung Merapi di Desa Turgo Sleman, Lapangan Kali Boyong Sleman, Desa Tunggularum dan Desa Kaliurang, Srumbung, Jawa Tengah.
Namun baginya, Gardu Pandang Desa Turgo adalah lokasi yang sangat ideal untuk memotret Merapi. Ia beralasan di lokasi itu sudut pandang Merapi sangat bagus dan berada pada jarak aman. Gardu pandang berjarak sekitar 7 Km dari puncak Merapi dan sesuai dengan jarak tangkap lensa yang ia gunakan.
Saking idealnya lokasi itu, ia sampai memboyong sejumlah perlengkapan dan kebutuhannya ke gardu pandang tersebut.
“Di Turgo, saya sampai bawa tenda untuk tidur, kantong tidur, bahan makanan hingga pakaian untuk ganti sehari-hari. Saya turun ke kota kalau ada perlu saja, kalau tidak ya, bertahan di sana,” kata pria kelahiran Surakarta ini.
Selain pandemi, banyak juga kendala lain yang dihadapai selama proses pemotretan Gunung Merapi “Kendala lain, seperti saat Merapi tertutup kabut atau hujan. Kondisi itu saya bisa tidak menghasilkan foto sama sekali, ya hasilnya hanya menunggu dan bisa berhari-hari, apalagi saat musim hujan," tambahnya.
Buku Letusan Merapi 21berjumlah 112 halama dan dibanderol dengan harga Rp. 70.000. Seluruh hasil penjualan buku akan disumbangkan kepada warga yang menjadi korban bencana erupsi Gunung Semeru. “Semoga bisa laris banyak dan semuanya akan saya sumbangkan melalui PFI Yogyakarta,” tandasnya.
Boy mengawali karir sebagai wartawan foto sejak tahun 1999 hingga kini dan ia adalah lulusan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Sejumlah kantor beriata yang pernah ia jalani sperti, Harian umum Bengawan Pos (2001-2003), Harian Pagi Indo Pos (2003-2009), Jakarta Globe Newspaper (photo stringer), European Pressphoto Agency (EPA) dan lainnya.
Kirim Komentar