Gudeg.net- Erupsi awan panas letusan yang terjadi di Gunung Merapi, (14/10) kemarin disebabkan oleh adanya akumulasi gas vulkanik yang terlepas secara tiba-tiba.
Hal tersebut dijelaskan oleh Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) DIY Hanik Humaida pada saat diwawancara oleh sejumlah awak media, Selasa (15/10).
Hanik mengutarakan, kejadian awan panas letusan ini sama persis seperti yang terjadi pada beberapa waktu lalu, dimana kolom asap letusannya saja yang berbeda. Letusan pertama sejak Merapi ditetapkan dalam status Waspada terjadi pada 22 September 2019 dengan tinggi kolom 800 meter diatas puncak.
“Untuk awan panas letusan kemarin, kolom asap letusan mencapai tinggi 3.000 meter dan menyebabkan hujan abu disekitar lereng Merapi,” tuturnya.
Kolom asap letusan yang cukup tinggi sempat mengakibatkan terjadi hujan abu di sebagian wilayah Magelang dan sekitarnya seperti Srumbung, Dukun, dan Salam.
“Hujan abu dilaporkan terjadi di sekitar Gunung Merapi dengan arah dominan ke sektor Barat sejauh 25 km dari puncak pada pukul 18:05 WIB,” ujar Kepala BPPTKG DIY itu.
Untuk mengantisipasi gangguan abu vulkanik terhadap penerbangan maka VONA (Volcano Observatory Notice for Aviation) diterbitkan dengan kode warna Orange.
Ancaman bahaya dari kejadian ini sama seperti sebelumnya yaitu Awan Panas Letusan (APL) yang bersumber dari material kubah lava. Hasil pemodelan menunjukkan jika kubah lava saat ini (468.000 m3) runtuh, luncuran awan panas tidak melebihi radius 3 km.
“Waga tetap kami himbau untuk tenang dan waspada, beraktifitas seperti biasanya dan tetap jaga jarak aman 3 km dari puncak Gunung Merapi,” himbau Hanik.
Untuk informasi resmi aktivitas G. Merapi, masyarakat dapat mengakses informasi melalui Pos Pengamatan G. Merapi terdekat, radio komunikasi pada frekuensi 165.075 MHz, website www.merapi.bgl.esdm.go.id, media sosial BPPTKG, atau ke kantor BPPTKG, Jalan Cendana No. 15 Yogyakarta, telepon (0274) 514192.
Kirim Komentar