Gudeg.net- Pandemi Covid-19 berdampak pada ekonomi masyarakat kelas bawah. Pendapatan yang tidak menentu serta tingginya biaya hidup menjadi alasan sejumlah orang menjual barang berharga.
Seperti yang dilakukan oleh Marsudi (58 tahun), warga Kampung Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Ia terpaksa menjual becak kesayangannya guna memenuhi kebutuhan hidup.
Sepinya penumpang, ditambah mulai menurunya kesehatan menjadi alasan utama Marsudi untuk menjual becak satu-satunya yang dimilikinya sejak tahun 1984.
“Ya, karena keadaan mas, becak ini saya jual,” ujar Marsudi saat memajang becaknya di Jalan AM Sangaji, Kota Yogyakarta, Selasa (28/12).
Becak miliknya masih terbilang cukup bagus, bangku penumpang yang masih layak dan tidak sobek serta atapnya pun masih terbungkus kanvas dengan rapi. Selain itu, sadel becak masih dapat digunakan dengan rantai yang tidak berbunyi saat di gowes.
Marsudi berencana menjual becaknya kepada siapa pun yang hendak membelinya. Tulisan dijual dengan menggunakan bekas karton mi instan pun ia tempelkan pada bagian depan dan samping becak kesayangannya ini.
“Saya rencana jual Rp. 700.000, dan hari ini sudah ada empat orang yang melihat-lihat, tapi ya belum pasti jadi dibeli apa tidak. Katanya mau menghubungi lagi,” jelasnya lirih sambil mengusap keringat di dahi.
Sedari awal ditemui Gudegnet, bapak dengan dua orang anak ini sering sekali mengurut-urut lutut kaki sebelah kirinya. Ternyata, terdapat bekas jahitan melingkar pada tempurung lututnya.
“Iki mas (ini mas), tempurung lututku sakit karena pernah jatuh saat membantu tetangga membangun rumah di kampung. Dioperasi dan dipasang pen,” kata dia sambil mengelus-elus lututnya.
Ia bercerita, lututnya sering terasa linu dan sakit meskipun pen di tempurungnya telah dilepas. Karena itu ia tidak cukup kuat untuk mengayuh becak jika mendapat penumpang cukup jauh.
Menurutnya, bila hanya satu penumpang masih bisa dibawanya tapi lebih dari itu sudah tidak sanggup. Karena itu ia sering menolak penumpang.
“Sering mas, penumpang saya tolak karena tidak mau mengecewakan. Nek (kalau) penumpang luwih seko siiji, wis rakuat mas (lebih dari satu, sudah tidak kuat),” tuturnya.
Selama menjadi tukang becak, Marsudi hanya sekali seminggu pulang ke kampungnya. Jika malam tiba, ia hanya bisa tidur di pinggiran toko atau tepian jalan, selama tidak mengganggu orang lain.
Jika pulang kampung, Marsudi biasa menitipkan becaknya di sekitar Pasar Kranggan dengan biaya Rp.1000 per malamnya.
“Pulang ga mesti mas, kadang seminggu sekali, kadang tiga hari. Kecuali dihubungi orang rumah, harus pulang,” tambah pria yang hanya memakai sendal jepit dan celana pendek sobek itu.
Jika becaknya laku, Marsudi akan pulang dan akan mencoba untuk menjadi buruh bangunan di kampung halamannya.
“Pingine (inginnya) cepat laku mas, biar bisa pulang, dekat sama keluarga. Istri juga khawatir terus dengan kesehatan kaki saya ini,” harapnya.
Becak milik Marsudi terdaftar sebagai Kendaraan Tidak Bermotor di Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta dan ia biasa menunggu penumpang atau mangkal di sekitar Pasar Kranggan hingga Kantor Harian Jogja, Jalan AM Sangaji, Yogyakarta.
Kirim Komentar