Gudeg.net – “Dua kali Sultan Agung menyerang VOC di Batavia dengan armada lautnya dan mengalami kegagalan dalam penaklukkan. Saya jadi berpikir prajurit maritim Mataram saat itu secara visual seperti apa? Selama ini masyarakat mengenalnya sepuluh bregada Keraton Yogyakarta dan tidak ada satupun dari sepuluh itu yang menggambarkan sebagai prajurit maritim.” ujar seniman-perupa muda kelahiran Gunung Kidul Stefanus Endry Pragusta yang biasa dipanggil Endru.
Dari berbagai diskusi dengan koleganya Endru melakukan interpretasi ulang atas prajurit maritim Mataram di masa lalu dalam konteks hari ini sehingga lahirlah karya Brajal. Sebuah visualisasi rekaan prajurit maritim Mataram dalam hari ini yang bersama-sama memperjuangkan masa depan dalam budaya maritimnya di Laut Selatan.
Lahir dan besar di Tepus, Gunung Kidul, kultur Kejawen dan kultur pesisir menjadi keseharian Endru. Dari permasalahan sosial-lingkungan sehari-hari yang ada di sekitarnya lahir karya-karya Endru sebagai pembacaan realitas, interpretasi, sekaligus kritik atas permasalahan yang ada.
Dalam lima tahun terakhir Endru banyak menghasilkan karya tiga matra dalam tema yang berbeda. Sebagian besar tema tersebut sekaligus menjadi projek riset atas fenomena ataupun realitas sosial-lingkungan yang berkembang. Selain menjalani aktivitas sebagai seniman, Endru tercatat sebagai pengajar di SMKN Tepus, Gunung Kidul.
“Saat kuliah saya diarahkan pada konsentrasi lukis, sementara ketertarikan saya pada patung. Ya sudah... saya jalani saja. Tapi saya tetap berproses kreatif membuat karya tiga matra. Hingga dalam satu pameran karya tiga matra saya dikoleksi seniman patung Nyoman Nuarta dan beliau bercerita pada dosen pembimbing saya tentang karya tersebut.” papar Endru pada Gudeg.net, Minggu (14/8) siang.
Selain Nyoman Nuarta, karya Endru dikoleksi juga oleh seniman senior Aming Prayitno, influencer Ernanda Putra, serta beberapa kolektor dari Belanda, Malaysia, Philipina.
“Beberapa waktu lalu Iwan Yamin kolektor asal Belanda mengoleksi karya dua matra saya.” imbuh Endru.
Tahun 2018 dalam pameran tunggal perdananya Endru mengangkat realitas sosial masyarakat Gunung Kidul dalam tajuk “Playstore”. Ketika itu dengan teknologi sederhana yang ditanamkan pada karyanya, bisa jadi digunakan simbol oleh Endru bagi masyarakat untuk mengejar lajunya penetrasi investasi dalam dunia-indsutri pariwisata meskipun mungkin hanya untuk berebut remah-remah ekonomi yang tercecer dari pertarungan industri pariwisata di Gunung Kidul.
Apakah meningkatkat potensi diri dengan teknologi sederhana hanya untuk mengejar akselerasi menjadi cukup aman dalam banyak hal? Mampukah masyarakat bersaing? Atau justru terlindas dan tersingkir dalam kesunyian di tengah hiruk-pikuk industri pariwisata yang sedang bertumbuh? Pada titik tersebut, mungkin memerlukan pembacaan lain. Secara sederhana Endru sedang menggugah kesadaran bahwa Gunung Kidul dengan seluruh potensi wisata alamnya saat ini adalah playzone sekaligus playstore bagi siapapun.
Yogyakarta dalam membangun peradaban barunya (dalam program pembangunan di masa datang) yang unggul dengan strategi budaya: membalik paradigma ‘among tani’ menjadi ‘dagang layar’, yakni mengalihkan pusat pertumbuhan ekonomi dari arah wilayah daratan Pantura ke Pantai Selatan (Pansela) dengan berkembangnya klaster-klaster industri kecil dan agribisnis di pedesaan, serta industri kelautan, perikanan dan pariwisata maritim di wilayah pesisir, yang didukung oleh infrastruktur jalan Selatan-Selatan.
Paradigma ‘among tani’ menuju ‘dagang layar’ menjadi pilihan strategis yang harus diwujudkan. dari pembangunan berbasis daratan ke kemaritiman, dengan menggali, mengkaji dan menguji serta mengembangkan keunggulan lokal (local genius) berupa teknologi canggih saat membangun Borobudur misalnya. Konsekuensinya, Laut Selatan bukan lagi ditempatkan sebagai halaman belakang, tetapi justru dijadikan beranda depan.
Berkolaborasi dengan peneliti muda yang memiliki ketertarikan pada sejarah di nusantara Bagas Setia Wicaksana, Ruang Melamun, dan FFF Studio, saat ini Endru sedang menggarap projek “Mencari Kodok di Laut Selatan Jawa”.
“Pada awal kepemimpinannya, Sultan Agung merangkai sebuah koreografi tari Bedhaya. Hal itu diakukan untuk melegitimasi hubungan baik antara raja-raja Mataram yang diawali oleh Panembahan Senopati dengan Ratu Laut Kidul sebagai sosok perempuan perkasa yang diyakini banyak membantu keberlangsungan kehidupan Mataram.
Munculnya koreografi tari Bedhaya Ketawang, memberi arti bahwa Sultan Agung telah melakukan kerja pengarsiapan. Ia mengarsipkan sejarah perjuangan pendahulunya, khususnya Panembahan Senopati. Selain itu, Ia juga memerintahkan para Pujangga keraton untuk mencatat masa yang dianggap kejayaan ini. Mengarsip, berarti menyelamatkan; melestarikan; menghidupi; nguri-uri. Cerdas!”
Kutipan catatan di atas ditulis oleh Bagas sebagai interpretasinya atas salah satu karya tiga matra berjudul Brajal dalam medium pouster resin mix media berukuran 23cm x 20cm x 36 cm yang dibuat Endru.
Menarik ketika Endru mencoba merekonstruksi sejarah maritim di Mataram dalam karya Brajal. Kesadaran atas sejarah tidak sekedar mengenang kejayaan di masa lalu dan membekukannya, namun juga untuk diperjuangkan di masa dating sebagaimana visi yang pernah disampaikan Sri Sultan HB X “Dari Among Tani Menuju Dagang Layar”, dan hal tersebut direspons Bagas melalui pembacaan dalam perspektif maupun sudut pandang yang bisa jadi berbeda.
Tulisan tersebut sekaligus melengkapi catatan atas karya Brajal yang saat ini sedang dipresentasikan di Studio Kutunggu di Pojok Ngasem Universitas Widya Mataram hingga 2 September 2022.
Untuk kunjungan langsung terbatas harus mematuhi protokol kesehatan yang ada, serta melakukan reservasi dengan menghubungi Biro 3 Universitas Widya Mataram Yogyakarta terlebih dahulu untuk memastikan sesi waktu kunjungan yang tersedia.
After Celebrating (drawing series). (Foto: Endru)
Tadah Asih series – pouster resin mix media – 19 x 28 x 37 cm - Stefanus Endry Pragusta – 2022. (Foto: Endru)
Brajal – pouster resin mix media – 23 x 20 x 36 cm - Stefanus Endry Pragusta – 2022. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
‘Brajal’ karya Stefanus Endry Pragusta dalam Pameran Tunggal Satu Karya di Studio Kutunggu di Pojok Ngasem, UWM (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Kirim Komentar