Gudeg.net – “Ini diluar ekspektasi kami. Antusiasme pengunjung bagus meskipun penyajian kali ini berbeda dari sebelumnya. Sumonar Fest yang sebelumnya dihelat di ruang publik, saat dipindahkan ke ruang privat justru mendapat apresiasi yang menggembirakan dari pengunjung.” jelas Setyo ‘Tyo’ Harwanto General Manager (Saab! Production) selaku penyelenggara Sumonar 2022 kepada Gudeg.net beberapa jam sebelum penutupan Sumonar Fest 2022, Rabu (12/10) di Komplek Jogja National Museum (JNM).
Dua glass art karya Ivan Bestari Minar Pradipta diproyeksikan ke dinding JNM dalam Sumonar 2022. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Sumonar Fest 2022 berlangsung di dua tempat menggabungkan dua metode penyajian yakni di ruang publik sebagaimana selama ini Sumonar Fest dipresentasikan serta ruang privat di ruang pamer. Sebagai main show presentasi ruang publik Sumonar 2022 memanfaatkan kawasan Titik Nol Km Yogyakarta yang memiliki bangunan heritage dan memungkinkan dilakukan proyeksi karya video mapping sementara untuk penyajian di ruang privat memanfaatkan ruang-ruang di gedung Jogja National Museum.
Setyo Harwanto menjelaskan dari evaluasi tahun lalu, penyelenggaraan sebelum-sebelumnya Sumonar Fest hanya pasrah dengan kondisi ruang publik. Apa adanya ruang publik itu direspons sehingga kesulitan untuk menghitung/mengkalkulasi banyak hal.
Ketika dipindahkan ke ruang privat, metode yang digunakan pun mau tidak mau dengan menggunakan pendekatan kepariwisataan dengan memperhatikan layanan pengunjung, flow pengunjung harus diatur, rekayasa ruang harus mendapat sentuhan untuk mengakomodasi kebutuhan pengunjung.
“Atas kebutuhan dan kondisi tersebut, sebenarnya panitia Sumonar 2022 belum begitu percaya diri ketika harus menyelenggarakan dengan ticketing mengingat sebelum-sebelumnya tidak pernah menerapkan kebijakan itu (ticketing). Masih terbiasa di outdoor ruang publik yang tidak berbayar.” papar Tyo.
Pixelyviridae 2.0 – interaaktif digital mapping instalasi – KAE -2022. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Sumonar Fest 2022 merangkum berbagai program acara antara lain Opening Show, Video Mapping Show, Video Mapping Gallery & Exhibition, Art Performance, Workshop, Sumonium dan Creative Talk & Gathering yang secara keseluruhan digelar di Jogja National Museum, Wirobrajan, Yogyakarta.
Yang berbeda dan baru tahun ini Video Mapping Main Show yang diproyeksikan pada sebuah cagar budaya di Kawasan Nol KM pada Senin, (10/10) malam waktu setempat, meski sempat diguyur hujan namun tetap tidak mengurangi para animo pengendali cahaya yang berbondong-bondong mengabadikan moment bercahaya tersebut.
Selain itu, di venue utama Jogja National Museum, selama 9 hari penyelenggaraan proyek “Theatrica Realismus”, panitia mencatat jumlah sebesar 8.197 pengunjung yang turut ambil bagian dari Sumonar 2022 “Metamorpholux” dalam kunjungan langsung di JNM, meningkat drastis dibandingkan dengan catatan tahun lalu yang dimana Sumonar 2021 meraih angka kurang lebih sekitar 2.500 pengunjung dalam 7 hari penyelenggaraan festival cahaya.
Nikmat Sisa Penguasa – proyeksi kayu dan logam di atas lantai – Octo Cornelius – 2020/2021. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Lintasan masa Sumonar Fest
Sumonar lahir dari Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) melalui program proyeksi video mapping oleh Jogja Video Mapping Project (JVMP). Sejak tahun 2013 video mapping diperkenalkan di beberapa ruas jalan serta ruang publik memanfaatkan bangunan-bangunan heritage di wilayah Yogyakarta seperti kawasan Malioboro, Kantor Apotik Kimia Farma, Gedung Museum Bank Indonesia, Gedung BNI ’46, Kandang Menjangan.
Pada FKY 2016, JVMP mencoba dinding Tebing Breksi sebagai layar tangkapnya. Ketika itu karya video mapping dipresentasikan bersamaan dengan program FKY lainnya yakni konser-orkestra Singgih Sanjaya. Pada dinding Tebing Breksi yang berwarna gelap tidak memungkinkan untuk menangkap citraan karya video dipasang kain putih membentuk balon terbang Zeppelin. Pada objek berbentuk balon terbang itulah karya video mapping dipresentasikan.
Setahun kemudian video mapping kembali menjadi program FKY 2017 salah satunya menjadikan pelataran nDalem Pugeran yang digunakan sebagai Panggung Mak Byarr! FKY 2017. Penampilan kelompok tari Anterdans yang mempresentasikan repertoar ‘Super Hanoman’ ketika itu mendapat sorotan karya video mapping yang diproyeksikan ke dinding nDalem Pugeran. Hal yang sama juga dilakukan pada penampilan penari DIdik Nini Thowok. Samifati (Prancis) dan juga orkestra Rully Shabara.
Presentasi karya video mapping pada FKY 2017 merupakan penyelenggaraan terakhir yang menjadi masih bagian dari FKY. Pada tahun 2018, meskipun dihelat pada saat bersamaan dengan FKY video mapping ketika telah berdiri sendiri sebagai sebuah festival dengan nama Jogja Video Mapping Festival (JVMF).
Karya video mapping di lorong lantai dasar JNM, Sumonar 2022. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
"FKY 30|2018 telah melahirkan sebuah festival dengan nama Jogja Video Mapping Festival (JVMF) melibatkan seniman video mapping dari Jogja, Malang, Bandung, Jakarta. Pada tahun-tahun mendatang JVMF akan menjadi festival mandiri (lepas FKY) dengan harapan menjadi salah satu festival tahunan di Yogyakarta." jelas Ketua FKY 2018 Robby Setiawan saat penutupan FKY.
Setahun kemudian JVMF digelar dengan nama Sumonar dengan mengajak komunitas video mapping dari beberapa kota diantaranya Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Bali, serta dari manca negara yakni Makau dan Filipina. Sumonar menjadi festival video mapping yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia.
Dalam sambutan pembukaan Sumonar 2019, Festival Director Sumonar 2019 Ishari ‘Ari Wulu’ Sahida menjelaskan bahwa pemilihan Sumonar menjadi festival video mapping pertama di Indonesia menggantikan Jogja Video Mapping Festival (JVMF). Sumonar 2019 yang mengangkat tema My Place My Time digelar di kawasan Titik Nol Km Yogyakarta,
“Selepas (penyelenggaraan) JVMF saat diselenggarakan Art Vision di Moscow, sebuah festival projection mapping dan VJ yang cukup terkenal di Eropa, kami mempresentasikan JVMF dan sepertinya namanya kurang Asia (sehingga sounding nama JVMF kurang begitu menarik perhatian publik video mappping di Art Vision). Malam ini sekaligus menjadi rebranding JVMF menjadi Sumonar,” jelas Ari Wulu tentang perubahan nama JVMF menjadi Sumonar dalam sambutan pembukaan festival, Jumat (26/7/2019) malam.
Video mapping di nDalem Pugeran saat FKY 2017. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Dengan adanya Sumonar, Ari berharap hal tersebut akan menjadi salah satu alasan mengapa banyak masyarakat di Indonesia maupun dunia mau kembali berkunjung ke Yogyakarta setahun sekali saat setiap Sumonar dihelat.
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak awal 2020 memaksa penyelenggara Sumonar berpikir ulang dan bersiasat mengingat presentasi karya video mapping selalu memanfaatkan ruang publik sebagai tempat presentasi karya dan ketika itu tidak memungkinkan untuk membuat acara di ruang publik akibat penerapan kebijakan PSBB dan PPKM.
Dengan mengangkat tajuk Mantra Lumina, Sumonar Fest 2020 disajikan dalam format daring (online) sepenuhnya dengan tidak adanya perjumpaan langsung dengan pengunjung untuk mengantisipasi penyebaran virus corona ketika itu.
Adanya perkembangan pandemic yang mulai membaik Sumonar Fest 2021 diselenggarakan dalam bauran daring dan luring. Dengan mengangkat tema Spectrum Optica, Sumonar 2021 bisa dikunjungi secara langsung terbatas dengan penerapan protokol kesehatan.
Video Mapping Main Show Sumonar 2022 di Titik Nol Km Yogyakarta. (Foto : official doc. Sumonar 2022)
Sumonar Fest, babak baru seni cahaya
Sumonar Fest 2022 melibatkan 40 seniman. Saat open submission sebanyak 27 seniman mendaftar. Setelah diseleksi terpilih 18 seniman untuk bergabung dengan 12 seniman yang undang sementara dari JVMP sendiri ada sekitar 10-an.
Tyo menjelaskan dari penyelenggaraan Sumonar 2022 terbaca karakteristik pengunjung/penikmat Sumonar diantaranya ada yang memang mencari kedalaman-kedalaman karya, ada pula yang mencari gula-gula atas cahaya dan warna, namun banyak juga dari pengunjung yang tidak sekedar berkomentar ‘yaaah… cuman sebentar’ tapi ada juga yang memberikan respons hingga hal teknis ‘coba ya warnanya ini, pasti bagus deh.
“Respons tersebut kami dapatkan saat di ruang pamer JNM maupun saat Main Show di Titik Nol Km Yogyakarta. Artinya selama empat tahun sejak 2019, Sumonar berhasil mengedukasi publik secara awam.” papar Tyo
Jika tahun 2019 banyak muncul pertanyaan dan komentar dari publik seputar teknis video mapping adalah presentasi dengan menggunakan proyektor, sambungkan laptop, ditembakkan ke dinding. Saat ini pengetahuan tersebut mulai bergeser dan berkembang bahwa prosesnya tidak sesederhana itu. Simpulan panitia tentang proses edukasi terjadi setelah empat tahun.
“Setidaknya publik sudah mulai aware atas pengetahuan, produksi karya video mapping, karya-karya instalasi cahaya misalnya : bagaimana cara memprogramnya, alat yang digunakan apa saja. Ekosistemnya sudah mulai terbangun.” kata Tyo
Pihak-pihak lain (swasta) pun mulai tertarik dengan lontaran ide-pertanyaan yang disampaikan kepada penyelenggara Sumonar apakah tidak tertarik membuat di mall ataupun kemungkinan treatment tersebut diaplikasikann di mall hingga peluang karya video mapping diperjualbelikan.
“Dan itu membuat kami juga berpikir bisa ini dijual treatment-nya seperti jualan karya instalasi seni. Jadi tidak hanya jualan konten asset digitalnya, tetapi juga bisa ini karya mau didisplay dimana? Di lobby hotel Anda? Di rumah Anda? Itu seperangkat proyektor, PC-laptop menjadi satu karya instalasi seni cahaya.” kata Tyo
1001 Malam : Mukbang Internet – video mapping instalasi – Studio Batu – 2022. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pola penyajian karya ke ruang privat-pamer membuka banyak kemungkinan pengembangan. Dalam perkembangannya seniman-seniman terlihat bahwa mereka pun berproses dengan treatment-treatment pada karya untuk merespons fasad gedung, namun ada juga seniman yang nyaman dengan karya yang intim dalam ruang (indoor).
“Kami dulu berpikirnya video mapping itu masuk ke pengkategorian new media art, karena beririsan dengan banyak hal terkait teknologi, bagaimana cara mempresentasikannya, kapan waktu untuk menikmatinya, ada story-nya, dan seterusnya yang kemudian masuk dalam new media art.” kata Tyo.
Saat perhelatan Sumonar 2020 dengan program Sumonium secara virtual melibatkan seniman VM dari dalam dan luar juga akademisi-pengamat diantaranya Sudjud Dartanto, Budi Irawanto, Irene Agrivine dengan satu legitimasi ketika itu bahwa Sumonar masuk dalam new media art untuk mengakomodasi seniman yang output karyanya berbasis seni cahaya.
Pada saat Sumonium Sumonar 2022, pengajar DKV ITT Telkom Purwokerto Arsita Pinandita melemparkan wacana bahwa seni cahaya perlu dilegitimasi secara institusional sehingga ditetapkan (oleh sebuah lembaga) sebagai kategori seni cahaya.
Karya video mapping di tangga JNM, Sumonar 2022. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Hal tersebut salah satunya didasarkan pada temuan beberapa karya pada Sumonar 2022 yang menggunakan teknologi analog sederhana ternyata mampu menghasilkan karya video mapping yang artistic-estetik. Artinya Sumonar bukan murni masuk kategori new media art, namun apapun karya yang dihasilkan seniman baik output maupun mediumnya adalah cahaya semua bisa masuk ke Sumonar Fest.
“Kita perlu penegasan (secara institusional) tersebut sehingga Sumonar bisa benar-benar menjadi ruang presentasi, ruang baca perayaan para pelaku seni cahaya. Untuk membaca apapun terkait dengan seni cahaya tersebut.” pungkas Setyo Harwanto.
Kirim Komentar