Seni & Budaya

Spirit “Suket Godhong Dadi Rewang” Maslihar

Oleh : Moh. Jauhar al-Hakimi / Jumat, 30 Desember 2022 16:17
Spirit “Suket Godhong Dadi Rewang” Maslihar
Presentasi tiga karya Maslihar di Studio Pojok Ngasem UWM. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Gudeg.net – “Saya itu orangnya modies. Suka tampil beda dalam berpakaian. Salah satunya sepatu. Pernah satu ketika dapat honor, separuhnya saya pakai untuk beli sepatu. Bukan untuk wah-wahan, tapi memang saya merasa lebih nyaman aja dengan itu. Tapi ya kadang terbawa agak nggleleng. Ha ha ha.” kata seniman-perupa Maslihar membuka perbincangannya dengan Gudeg.net di Timboel Keramik, Kasongan, Kasihan-Bantul, Senin (26/12) sore.

Membaca realitas dari sekeliling terdekat bahkan dirinya sendiri, inilah yang sering dilakukan Maslihar untuk kemudian dituangkan ke dalam karyanya. Dari koleksi sepatu yang pernah dimilikinya, sekira tiga tahunan lalu Maslihar membuat karya series lukisan dengan menjadikan sepatu sebagai subjek-objek pembacaan realitas.

“Dengan menggunakan warna-warna cerah dan kontras. Perkembangan perupa muda ketika itu kecenderungannya kan begitu. Tapi itu hanya sebagai pintu masuk saja. Saya tetap memasukkan pesan-pesan kepada publik pada karya tersebut.” kata Maslihar.

Salah satunya adalah sebuah karya dalam medium cat akrilik di atas kanvas berukuran 200 cm x 180 cm dengan objek sepasang sepatu yang sedang trend di kawula muda dan menjadi trademark pebasket Michael Jordan. Pada karya lukisan tersebut yang dipamerkan pada acara Yogyakarta Annual Art #6-2021 di Bale Banjar Sangkring  Maslihar memberikan judul ‘Air Susu Dibalas Air Jordan’.

Air Susu Dibalas Air Jordan – 200 cm x 180 cm – cat akrilik di atas kanvas – 2021 – Maslihar. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

“Pesannya adalah sudahkah kita memberikan balasan dan tempat selayaknya bagi jasa ibu kita? Realitasnya (di kalangan muda), ketika ada kesempatan mereka dihadapkan pada pilihan membeli sepatu Air Jordan impiannya atau memberikan uang tersebut kepada ibunya, jangan-jangan mereka memilih yang pertama.” tukas Maslihar.

Beberapa waktu lalu 12-22 Desember 2022 tiga lukisan dalam gaya figuratif-naifnya dipamerkan pada Presentasi Tunggal Satu Karya di Studio Pojok Ngasem Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta.

Figur fantasi, warna cerah kontras, garis-garis ritmis namun menyebar secara acak, serta objek rumah kecil dan suasana alam pedesaan. Dalam karya berjudul ‘Nature lovers’ dengan medium cat akrilik di atas kanvas berukuran 100 cm x 80 cm, pembacaan Maslihar tertuju pada fenomena sosial yang dikenal secara populer dengan istilah flexing.

“Di era milenial sekarang ini banyak orang yang menyukai pemandangan alam demi kebutuhan konten untuk sosial media. Mereka sangat happy berbunga-bunga ketika menjumpai suatu pemandangan yang menakjubkan. Potret lantas membagikan di sosial medianya. Mungkin juga demi eksistensi. Tidak salah, hanya apakah kecintaan pada alam tersebut benar-benar dibawa dalam kehidupan sehari-hari? Mereka sendiri yang tahu.” jelas Maslihar.

Sementara pada karya berjudul ‘Sweety Lolypop’ Maslihar membaca bahwa selain bermain, dunia anak-anak adalah hadiah permen yang manis dari ibunya. Sesederhana itu kegembiraan bagi anak-anak.

Sweety Lolypop – 100 cm x 80 cm – cat akrilik di atas kanvas – 2022 – Maslihar. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

“Masa-masa awal belajar membuat sketsa saya sering ke Pasar Ngasem. Ini pasar yang unik menurut saya. Penjual sayur dan bahan pangan, penjual kain, penjual tanaman dan ikan hias, juga penjual burung semua kumpul jadi satu di pasar itu. Di belakang pasar masih ada aktivitas lain dari warga. Transaksi penjual dan pembeli dengan latar suara kicauan burung bersautan dengan kicauan penjualnya. Ini menarik. Menikmati keramain burung berkicau di pasar dengan keriuhan pengunjung pasar adalah sesuatu yang menggembirakan.  Bagi saya, Pasar Burung Ngasem adalah kenangan yang indah.” papar Maslihar.

Ingatan tersebut direka ulang Maslihar pada karya berjudul ‘Nyanyian Pagi’ dalam medium cat akrilik di atas kanvas berukuran 150 cm x 100 cm dalam gaya figuratif-naif.

Pada ketiga karya tersebut Maslihar menghadirkan figur fantasi rekaannya : manusia bertelinga kelinci serta balutan warna pastel cerah.

“Mencoba hal baru. Biar tidak ketinggalan dengan trend generasi milenial. Ha ha ha.” Jelas Maslihar.

Bulan Desember 2018 Maslihar menggelar pameran tunggal bertajuk “Demi Waktu” di Kiniko Art, Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul. Ketika itu dia mempresentasikan karya lukisan di atas spons busa yang dijahit. Jahitan pada kain-spons membentuk objek-objek tiga dimensi dan berkontur.

“Ini pengembangan projek sebelumnya yang saya presentasikan di Indieart house setahun sebelumnya.” kata Maslihar.

Setahun sebelumnya, November 2017 Maslihar menggelar pameran tunggal keduanya bertajuk “Ronce”. Ketika itu dia melakukan eksperimen dengan membuat karya lukisan yang flat namun memberikan sentuhan visual tiga dimensi pada karya tersebut dengan permainan gradasi warna untuk membentuk kontur pada karyanya.

“Di ISI (Yogyakarta) saya masuk di jurusan Patung, tapi sampai saat ini belum pernah berkarya patung. Kemudian itu yang saya coba, bagaimana kalau membuat karya lukisan dengan memasukkan unsur volume pada karya.” ungkap Maslihar.

Nature Lovers – 100 cm x 80 cm – cat akrilik di atas kanvas – 2022 – Maslihar. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Ketika itu pameran “Ronce” sempat menjadi perbincangan hangat dan mendapat apresiasi yang bagus. Garis-garis (outline) yang menjadi ciri khas karya Maslihar berpadu dengan blok warna bergradasi membentuk citraan tiga dimensi pada kesan pandangan pertama mengajak pengunjung untuk mendekat melihat detail karya. Banyak pengunjung yang terhenyak ketika mengetahui bahwa karya yang dibuat Maslihar ketika itu sebenarnya adalah karya lukisan yang datar (flat).

Spirit Suket Godhong Dadi Rewang

Saat lulus dari Sekolas Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta pada tahun 1997, Maslihar mendapat tawaran untuk terlibat dalam satu projek oleh seniman-perupa muda yang sedang naik daun Entang Wiharso. Selama hampir 1,5 tahun Maslihar sekaligus belajar banyak hal langsung dari Entang termasuk dalam proses kreatif.

“Ketika itu karya yang saya buat banyak dipengaruhi oleh proses Entang baik dari sisi teknik, tema kekaryaan, maupun secara citraan. Gak ada gagah-gagahnya saat muncul “ini karya entang-entangane sapa?” mengomentari karya yang saya buat. Ha ha ha...” kenang Maslihar.

Pengalaman berproses di studio milik Entang Wiharso semakin menguatkan kebiasaan Maslihar membantu sesama seniman. Di kalangan koleganya Maslihar dikenal sebagai pribadi yang ringan tangan membantu sebisa yang dia mampu. Ini tidak lepas dari wejangan yang kerap diberikan simbahnya sebelum dia pindah ke Yogyakarta melanjutkan studi sekolah menengahnya.

“Saat masih duduk di bangku SMP Simbah pernah berpesan le, mbesuk nek nyambut gawe kuwi sing temen-tuhu. Sing gemati kanthi ikhlas. Ora usah mikir entuk walesan apa ora. Diniati wae kanthi ikhlas, mengko lak entuk walesan dhewe. Ora usah sumelang. Suket godhong dadi rewang. Itu disampaikan Simbah saat tahu niat saya untuk melanjutkan sekolah ke luar daerah saya (Cepu, Blora). Ya saya pegang wejangan Simbah.” jelas Maslihar.

Suket godhong dadi rewang seolah menjadi mantra sakti bagi Maslihar dan kerap diucapkan Maslihar saat dimintai bantuan oleh sesama seniman. Apakah mantra tersebut memberikan pengaruh pada berseni rupa bagi Maslihar atau bahkan dituangkan ke dalam karyanya?

“Saya belum pernah menuangkan ke dalam karya, namun justru saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari saya. Itu tidak sekedar ucapan, namun sebuah semangat. Tentang menjalani hidup dengan keikhlasan. Suket godhong dadi rewang bagi saya adalah spirit. Bisa hadir dimana saja dalam kehidupan kita.” kata Maslihar

Diksi suket godhong dadi rewang menarik perhatian seniman grafis Samuel Indratma sehingga pada tahun 2015 Sam meminta ijin Maslihar untuk menggunakan kalimat tersebut sebagai judul pameran tunggalnya di Bentara Budaya Yogyakarta.

Maslihar menjelaskan bahwa nilai-nilai seperti suket godhong dadi rewang banyak hidup di masyarakat pedesaan dengan realitas kaum abangan dan warga nahdliyin seperti di desanya.

“Waktu saya kecil, kalau sudah menjelang petang simbok selalu bilang ‘kana budhal ngaji mara langgar. ora apa-apa sak isamu. ora ketang rubuh-rubuh gedhang. Ini kan sederhana dalam pengucapannya, namun nilai-nilainya sangat dalam dan mengena. Belajar srawung, belajar hidup dengan sewajarnya, dan ikhlas menjalaninya. Sederhana namun harus ada proses pembiasaan. Denggan begitu secara tidak langsung melekat dalam diri. Akan dengan sendirinya muncul dalam diri kita.” imbuh Maslihar.

Dua pesan dari simbok dan simbahnya telah turut membentuk pribadi Maslihar yang mudah bergaul dan masuk ke berbagai komunitas seni di Yogyakarta, dan dengan ringan tangannya dia bisa masuk ke berbagai lintas generasi seniman-perupa. Pembukaan pameran seni rupa di Yogyakarta menjadi salah satu saksi bagaimana Maslihar kerap hadir menjadi pemandu acara. Kalaupun dalam dua tahun terakhir ini dia memang agak menarik diri dari keramaian seni rupa Yogyakarta, bukan karena pandemi yang terjadi, namun lebih untuk mengintimi sejenak dirinya sendiri.

“Ada satu lagi pesan dari Simbah yang masih saya ingat. Sebenarnya lebih reflektif untuk diri sendiri. Mungkin suatu saat akan saya eksplorasi ke dalam karya. Mungkin ya,.... saya tidak janji. Ha ha ha...” pungkas Maslihar mengakhiri perbincangan.

Dalam penyikapan menepi sejenak dari riuhnya dunia seni rupa Yogyakarta, bisa jadi Maslihar sedang menjadi suket godhong untuk dirinya sendiri.


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    UNIMMA FM 87,60

    UNIMMA FM 87,60

    Radio Unimma 87,60 FM


    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    ARGOSOSRO FM 93,2

    ARGOSOSRO FM 93,2

    Argososro 93,2 FM


    JOGJAFAMILY

    JOGJAFAMILY

    JogjaFamily 100,9 FM


    JIZ 89,5 FM

    JIZ 89,5 FM

    Jiz 89,5 FM



    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini