Kutub utara-selatan, sebuah terminologi seni di Jogja yang hingga kini masih
juga dipertanyakan, diperdebatkan, dan dipertanyakan oleh berbagai pihak khususnya
masyarakat seni di Kota Gudeg ini.
Apa sebenarnya kutub utara-selatan itu? Masihkah relevan untuk dibicarakan saat
ini?
Kamis sore (24/01), Biennale Jogja IX-2007 menggelar side event berupa diskusi
bertajuk "Seni sebagai Media Komunikasi Keberagaman" di beranda Impulse, kompleks
Kanisius, Jalan Cempaka No. 9 Deresan Yogyakarta.
Diskusi yang menghadirkan salah satu kurator Biennale Jogja IX-2007, Sujud Dartanto
dan salah satu peserta Biennale Jogja IX Samuel Indratma yang lebih dikenal sebagai
koordinator Jogja Mural Forum (JMF) ini berlangsung santai dengan ditemani teh
hangat dan makanan ringan khas Jogja.
Dalam obrolannya, Samuel sendiri juga mempertanyakan relevansi istilah utara-selatan
yang hingga kini masih diperbincangkan bahkan masih dirasakan di Jogja. Menurutnya,
istilah ini tak semestinya dipertanyakan lagi karena ada permasalahan yang lebih
pelik dari pada hal tersebut yakni bagaimana mengatasi masalah seni rupa seperti
memperkenalkannya kepada masyarakat hingga ke pelosok dan bagaimana masyarakat
dapat mengerti pemahaman produk dari seni itu sendiri.
"Sepertinya tidak lagi relevan membicarakan masalah kutub utara-selatan saat
ini karena ada hal yang lebih penting dari itu seperti bagaimana mengatasi masalah
seni rupa seperti memperkenalkannya kepada masyarakat hingga ke pelosok serta
bagaimana masyarakat dapat mengerti pemahaman produk dari seni itu sendiri," kata
Samuel yang sore itu hadir dengan mengenakan setelan kemeja dan celana pendek
warna hitam.
Menurutnya, selain media yang berperan penting dalam penyampaian pesan seni dalam
karya yang dihasilkan oleh seniman, seniman juga harus memahami kultur yang ada
dalam masyarakat khususnya masyarakat awam, sepertinya ruang publik untuk memamerkan
karya mereka.
"Selain media yang berperan penting dalam penyampaian pesan seni, seniman juga
harus memahami kultur yang ada dalam masyarakat khususnya masyarakat awam. Sebagai
contoh, sepertinya kurang pas jika seorang seniman memamerkan karya instalasi
mereka di ruang publik (di lapangan, pinggi jalan dll), yang ada hanya akan ada
pertanyaan besar dari masyarakat awam mengenai hal tersebut," tambahnya.
Senada dengan Samuel, Sujud Dartanto juga mempertanyakan terminologi kutub utara-selatan
yang akhirnya menciptakan sebuah stereotype antar seniman. Pemasalahan yang harus
diantisipasi adalah bagaimana mengatasi kegagalan dari seniman dalam menyampaikan
karya seninya. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman produk seni itu sendiri.
"Terminologi kutub utara-selatan akhirnya menciptakan stereotype antar seniman.
Seharusnya tidak ada lagi hal seperti itu. Pemasalahan yang harus diantisipasi
adalah bagaimana mengatasi kegagalan dari seniman dalam menyampaikan karya seninya
yang banyak disebabkan kurangnya knowledge product seni itu sendiri," jelas Sujud.
Kutub utara-selatan kurang lebih membedakan antara dunia seni di Jogja selatan
dan dunia akademis di Jogja utara. Meski tidak teramat terang, namun posisi ini
secara tidak langsung akan menentukan siapa saja yang berkomunitas, bergaul, dan
melakukan aktivitas pada kutub tersebut. Jika kita menengok ke selatan, kita akan
dihadapkan pada beragam komunitas kesenian dan kegiatan seninya. Sementara itu
di kutub utara, dapat dilihat akademisi seni yang senantiasa berurusan dengan
studi dan paper yang lebih sering bergumul di komunitas akademis.
Kirim Komentar