Seni & Budaya

Eksklusivitas Seni, Sebuah Keniscayaan

Oleh : Dude / Senin, 00 0000 00:00

Sejauh mana Anda dapat mengapresiasi atau bahkan mampu mengkoleksi karya seni yang dihasilkan oleh seniman khususnya seni rupa? Bisa dibilang hanya orang tertentu yang dapat melakukannya seperti kolektor dan masyarakat seni itu sendiri. Bisakah masyarakat awam dengan mudah dan murah melakukannya? Mengapresiasi, meminati atau bahkan memiliki karya seni? Siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab akan hal ini?

Eksklusivitas seni, hingga saat ini bukanlah sebuah wacana baru lagi dalam dunia seni khususnya seni rupa tak hanya di Indonesia, namun juga di berbagai negara lain di penjuru dunia. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pekerja seni dan pekerja kreatif sebagai salah satu faktor keberhasilan mereka pada ukuran sejauh mana karya mereka mampu dikomunikasikan kepada masyarakat.

"Sejak lama isu eksklusivitas seni menjadi sebuah wacana dalam dunia seni khususnya seni rupa tak hanya di Indonesia, namun juga di berbagai negara lain di penjuru dunia. Wacana ini seharusnya menjadi tantangan tersendiri bagi pekerja seni dan pekerja kreatif sebagai salah satu faktor keberhasilan mereka pada ukuran sejauh mana karya mereka mampu dikomunikasikan kepada masyarakat," kata Sujud Dartanto kepada GudegNet, Kamis (24/01) usai acara diskusi Biennale Jogja IX-2007 di beranda Impulse, kompleks Kanisius, Jalan Cempaka No. 9 Deresan Yogyakarta.

Sebuah kerja bersama adalah harga mati yang harus dibangun untuk paling tidak mereduksi wacana ini. Satu pihak saja tidaklah mampu berperan dalam memediasikan seni kepada masyarakat khususnya masyarakat awam. Lebih lanjut, hal ini juga untuk mengeliminir adanya paradok mengenai penolakan terhadap adanya sentralisasi dan rejimintasi yang menciptakan ukuran absolute terhadap seni.

"Tanggung jawab ini harus diletakkan tidak hanya kepada pendidik saja, namun juga kepada mediator seni, kurator, dan seniman itu sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut. Jika tidak, hal ini bisa memunculkan sebuah sentralisasi dan rejimintasi seni yang sejak dari dulu telah ditolak oleh kalangan seni," katanya.

Menurut Sujud, segala sesuatunya harus dikembalikan kepada masyarakat yang majemuk, bagaimana seni itu dipersembahkan untuk kemaslahatan bersama agar seni itu tidak hanya diasosiasikan sebagai seni untuk seni sendiri saja. Meski demikian, Sujud tidak serta merta optimis tentang hal tersebut, bahkan menurutnya itu adalah sebuah keniscayaan. Sebagai contoh, jika pasar atau kolektor seni yang mempunyai modal sehingga mau dan mampu mengapresiasi serta mengkoleksi karya seni, mau tidak mau akan membentuk eksklusivitas yang tak dapat dihindarkan.

"Segala sesuatunya itu harus dikembalikan lagi kepada publik yang majemuk. Bagaimana seni itu dipersembahkan untuk kemaslahatan bersama agar seni itu tidak hanya diasosiasikan sebagai seni untuk seni sendiri saja. Namun, saya sendiri menganggap bahwa hal tersebut adalah sebuah keniscayaan. Sebagai contoh, jika pasar atau kolektor seni yang mempunyai modal sehingga mau dan mampu mengapresiasi serta mengkoleksi karya seni, mau tidak mau akan membentuk eksklusivitas yang tak dapat dihindarkan," imbuhnya.

Sementara itu dari sisi masyarakat, mereka seharusnya memperoleh sebuah produksi pengetahuan tentang seni itu sendiri. Masyarakat berhak untuk mendapatkan hak publik dalam hal memperoleh pengetahuan mengenai seni. Pihak yang paling bertanggungjawab dalam hal ini adalah pendidik yang memberikan pengetahuan seni secara langsung kepada peserta didik yang nantinya harus mampu memediasikan pengetahuannya kepada masyarakat. Selain pendidik, peran pemerintah juga sangat diharapkan agar mampu mendekatkan jarak yang menganga antara masyarakat dan seni.

"Seharusnya, masyarakat memperoleh sebuah produksi pengetahuan tentang seni itu sendiri. Masyarakat berhak untuk mendapatkan hak publik dalam hal memperoleh pengetahuan mengenai seni. Pihak yang paling bertanggungjawab dalam hal ini adalah pendidik yang memberikan pengetahuan seni secara langsung kepada peserta didik yang nantinya harus mampu memediasikan pengetahuan yang dia punyai kepada masyarakat. Selain pendidik, peran pemerintah juga sangat diharapkan agar mampu mendekatkan jarak yang menganga antara masyarakat dan seni," pungkasnya.

Lain halnya dengan Samuel Indratma, menurutnya untuk lebih memperkenalkan seni kepada masyarakat, kita harus mengetahui dulu pola berpikir masyarakat setempat, bagaimana melakukan pendekatan yang benar dan efektif.

"Untuk mengenalkan seni kepada masyarakat, kita terlebih dahulu harus tahu struktur berpikir masyarakat setempat dalam hal ini Jogja. pada tahun 2002, saya memulai memperkenalkan seni mural ke masyarakat dengan menyebarkan majalah mural yang saya buat ke berbagai sudut di Kota Jogja seperti ke polsek-polsek, instansi kelurahan, dan institusi pendidikan. Dari situ timbul rasa ingin tahu yang secara lambat-laun akan memberikan pengetahunan kepada masyarakat untuk melihat dan mengapresiasi mural," ungkap seniman mural yang terakhir menggarap lukisan mural di jembatan layang Lempuyangan kepada GudegNet.

Ekslusivitas seni tidak akan serta merta memudar jika hanya ada beberapa pihak yang mengupayakannya. Pemerintah, akademis, kurator, pelaku seni serta masyarakat harus menjadikan seni itu sebagai sebuah hal yang mudah, murah dan menyenangkan untuk diapresiasi maupun dipunyai.


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    JOGJAFAMILY

    JOGJAFAMILY

    JogjaFamily 100,9 FM


    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RetjoBuntung 99.4 FM


    JIZ 89,5 FM

    JIZ 89,5 FM

    Jiz 89,5 FM


    SOLORADIO 92,9 FM

    SOLORADIO 92,9 FM

    Soloradio 92,9 FM SOLO


    UNIMMA FM 87,60

    UNIMMA FM 87,60

    Radio Unimma 87,60 FM


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini