
Gemuruh rentetan tembakan senjata otomatis dan suara helikopter yang terbang rendah menggema di
Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Kamis malam (10/07). Ada layar besar di depan panggung, tapi bukannya film
"Rambo" atau
"Tour of Duty" yang diputar, yang ada malah 12 remaja yang terdiri putra dan putri berlarian dari tempat duduk penonton menuju panggung yang masih kelam. Di panggung itu, puluhan remaja yang merupakan panitia
Yogyakarta Gamelan Festival ke-13 mengitari panggung berukuran 18,80 x 14,80 meter tersebut. Usai beberapa putaran, dipandu oleh
Sapto Raharjo yang tak hanya bermain dengan
laptop-nya, tapi juga
slenthem dan
kendang, mereka memainkan sebuah komposisi pembuka pada sekitar pukul 20.30 WIB yang mampu mengawali pertunjukkan malam itu dengan tepukan riuh sekitar seribu penonton yang hadir.
Pada malam pembukaan Yogyakarta Gamelan Festival ke-13 malam tadi,
mbah Sapto-yang rambutnya makin merata putihnya-ternyata tak hanya tampil sebagai direktur festival, tapi bisa dibilang
nyambi sebagai pembawa acara yang tampil interaktif dengan penonton yang hadir. Di masa jeda sebelum pertunjukkan pertama, pendiri
Komunitas Gayam 16 ini sempat memberikan sedikit
wejangan kepada penonton tentang perlunya pengenalan gamelan sejak dini kepada anak-anak.
"Budaya adiluhung ini harus diteruskan kepada anak cucu kita dengan cara mengenalkan kepada mereka sejak usia dini, kalau perlu sejak umur lima tahun," katanya diiringi tawa.
Memasuki pertunjukkan pertama, sekitar pukul 20.45 WIB, sembilan anak dari SD Muhammadiyah Kadisoka, tampil ke panggung dengan gamelan mini yang mungkin hanya berukuran setengah kali dari ukuran gamelan normal. Ke-9 anak yang rata-rata baru naik ke kelas empat SD itu langsung memainkan komposisi
"Kebogiro" karya Ki Narto Sabdo dengan kompak. Komposisi kedua yang dimainkan oleh anak asuh Agus Budi Nugroho selanjutnya adalah
"Lancaran Manyar Sewu". Memasuki komposisi ketiga, dua laki-laki dari sembilan anak-anak tersebut yakni Fadel dan Patya berjalan mengitari panggung dengan membawa dua wayang, Gunungan dan Anoman sebagai pembuka komposisi
"Anoman Obong". Pada komposisi ini, Fadel memukau penonton dengan suara jernihnya saat nembang kisah Ramayana "Anoman Obong" yang diiringi permainan gamelan teman-temannya yang rancak. Pentas gamelan mini ini diakhiri dengan komposisi
"Rampak Setunggal" yang disambut riuh tepukan penonton yang hadir. Meski masih bermain dalam taraf komposisi dasar yang sederhana, anak-anak tersebut ternyata mampu berimprovisasi dengan komposisi tersebut sesuai dengan interpretasi mereka.
Usai tampil dengan empat komposisi yang bisa disebut harmoni untuk ukuran anak-anak, mbah Sapto sempat menanyai Fadel Ikram yang merupakan bintang dalam pertunjukkan malam tadi. Ternyata, anak kelas tiga yang akan masuk ke kelas empat SD ini nantinya ingin menjadi soerang dalang, untuk itu sejak dini ia sudah belajar gamelan. "Kalau besar nanti saya ingin jadi dalang," jawabnya polos yang disambut tepukan tangan penonton.

Jarum jam menunjukkan pukul 21.30 WIB ketika 16 orang berpakaian bak suku pedalaman memasuki panggung pertunjukkan. Sepuluh laki-laki dan enam perempuan itu masing-masing mengenakan atribut dan pakaian yang sepertinya memiliki arti dan peran sendiri-sendiri. Ternyata benar, mereka adalah masyarakat penghuni hutan yakni anak suku
Lalaeo,
Brangas, dan
Topolempa. Mereka yang disapa
To Wana atau orang
Wana ini berasal dari Kecamatan Bungku Utara Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah. Penampilan
folklife yang mereka diberi tajuk
"To Wana, The Indigenous Forest - Dwelling People in Morowali Central Sulawesi" ini diawali dengan
kayori atau syair pembuka yang mengungkapkan pesan melalui syair yang mengandung maskud tertentu secara tidak langsung. Menyambung
kayori, mereka memainkan secara
medley alat musik khas dari daerah mereka yang terdiri dari
tatali atau suling,
geso-geso yang menyerupai rebab,
popondo yang merupakan alat musik petik yang menggunakan bagian tubuh mereka sebagai resonator,
tutubua yang merupakan alat berdawai dari bambu, dan gong dan
ganda (kendang). Usai bermain musik, orang Wana ini unjuk gigi dengan tiga tarian mereka yakni
dendelu, salonde, dan
tendeboma. Dendelu adalah tarian melingkar dengan iringan syair yang dinyanyikan oleh penarinya sendiri. Sedangkan
salonde merupakan oleh para wanita untuk menyatakan rasa syukur atas berbagi hal. Dan
tendeboma adalah tarian yang dimainkan oleh seluruh peserta yakni pria dan wanita. Pada sesi selanjutnya, penampil yang juga tampil di sejumlah festival di empat kota besar lain di Indonesia yakni Bandung, Jakarta, Solo, dan Surabaya ini mengundang penonton untuk beradu betis dengan bermain
mawinti. Permainan khusus laki-laki ini memperagakan adu kekuatan betis yang biasanya dilakukan untuk mengisi waktu luang. Tak hanya sampai di sini saja, penampil laki-laki selanjutnya menunjukkan kebolehan mereka dalam hal menyumpit atau
tulup dalam permainan
manyopu yang sesungguhnya dilakukan untuk berburu binatang. Sejumlah balon yang digantung di sekitar panggung mereka pecahkan dengan mudah dengan alat berburu mereka yang mencapai panjang lebih dari dua meter itu. Setelah aksi menyumpit, orang Wana melakukan ritual penyembuhan untuk orang sakit yang mereka sebut dengan
momago. Upacara ini seorang dukun dipercaya sebagai perantara kekuatan roh untuk mengobati penyakit. Atraksi terakhir adalah upacara
momata yakni penghancuran rumah setelah ada salah satu keluarga mereka yang meninggal dunia. Mereka percaya bahwa bila ada yang meninggal, semua kenangan yang ada harus dihilangkan, di samping sebagai upaya menghilangkan kesialan karena ada orang yang telah meninggal pada tempat tersebut. Budaya penghancuran rumah ini tak lain merupakan katarsis orang Wana.
Sekitar pukul 22.30 WIB, pentas pembuka Yogyakarta Gamelan Festival ke-13 berakhir dengan apresiasi mendalam dari penonton yang memenuhi
Concert Hall TBY kepada panitia dan penampil yang telah mengisi pertunjukkan.
Kirim Komentar