Meski kebebasan berekspresi telah jelas-jelas diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun kebanyakan orang masih saja takut dalam berkarya khususnya kalangan sineas dalam membuat film religius.
"Saat ini ada ketakutan dari pihak sineas sebelum membuat film religius. Paling tidak, ada beberapa hal yang harus ditempuh terlebih dahulu sebelum membuat film bertemakan religius, seperti adanya tokoh religius yang bermain, dll," kata Garin Nugroho dalam Seminar "Sinema, Media, dan Islam", 3rd Jogja-Netpac Asian Film Festival di Auditorium Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta (11/08).
Gejala yang merupakan musuh bersama religiusitas ini seharusnya dihilangkan karena dapat menghambat kemajuan film Indonesia khususnya film religius. Jika dibiarkan, nantinya sineas bukannya takut pada undang-undang, tapi malah takut kepda kaum beragama.
"Film religius Indonesia mundur sama sekali. Hal ini disebabkan oleh ketakutan sineas terhadap kaum agama, dan bukan terhadap undang-undang yang ada," katanya.
Dalam dunia film religius Indonesia saat ini hampir tidak ada film yang benar-benar berbeda, semuanya seragam dan tidak ada yang menampilkan cerita lain tentang tema yang mengangkat kaum agamawan.
"Belum ada film religius di Indonesia yang mengangkat cerita misalnya yang mendiskusikan tentang kyai dan ustad, semuanya seragam dan biasanya sang kyai akan muncul dalam akhir cerita sebagai penengah dan penyelesai masalah," ujarnnya.
Menurut Garin, karya yang baik adalah karya yang mampu bermain dalam wilayah "tabu-tabu" dan dapat berguna bagi masyarakat yang menikmatinya.
Idealnya, media harus dapat menjadi mimbar baru dalam perfilman religius di Indonesia. Melalui film tersebut, tiap individu bebas menafsirkan apa yang mereka yakini dan apa yang mereka lihat.
"Saat ini ada ketakutan dari pihak sineas sebelum membuat film religius. Paling tidak, ada beberapa hal yang harus ditempuh terlebih dahulu sebelum membuat film bertemakan religius, seperti adanya tokoh religius yang bermain, dll," kata Garin Nugroho dalam Seminar "Sinema, Media, dan Islam", 3rd Jogja-Netpac Asian Film Festival di Auditorium Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta (11/08).
Gejala yang merupakan musuh bersama religiusitas ini seharusnya dihilangkan karena dapat menghambat kemajuan film Indonesia khususnya film religius. Jika dibiarkan, nantinya sineas bukannya takut pada undang-undang, tapi malah takut kepda kaum beragama.
"Film religius Indonesia mundur sama sekali. Hal ini disebabkan oleh ketakutan sineas terhadap kaum agama, dan bukan terhadap undang-undang yang ada," katanya.
Dalam dunia film religius Indonesia saat ini hampir tidak ada film yang benar-benar berbeda, semuanya seragam dan tidak ada yang menampilkan cerita lain tentang tema yang mengangkat kaum agamawan.
"Belum ada film religius di Indonesia yang mengangkat cerita misalnya yang mendiskusikan tentang kyai dan ustad, semuanya seragam dan biasanya sang kyai akan muncul dalam akhir cerita sebagai penengah dan penyelesai masalah," ujarnnya.
Menurut Garin, karya yang baik adalah karya yang mampu bermain dalam wilayah "tabu-tabu" dan dapat berguna bagi masyarakat yang menikmatinya.
Idealnya, media harus dapat menjadi mimbar baru dalam perfilman religius di Indonesia. Melalui film tersebut, tiap individu bebas menafsirkan apa yang mereka yakini dan apa yang mereka lihat.
Kirim Komentar