"Betul betul betul..." Itulah penggalan kalimat yang sering diucapkan si kembar Upin dan Ipin, dua tokoh animasi bocah kecil berkepala botak dari Malaysia yang belakangan ini kerap nongol di sebuah televisi swasta nasional dan digemari masyarakat.
Dengan menawarkan kisah lokal yang sederhana dan bahkan sangat dekat dengan budaya Indonesia, dua bocah itu mampu menarik simpati masyarakat Indonesia yang menontonnya. Bukan hanya bagi anak-anak, tapi orang dewasa juga tak segan mengikuti jalan cerita yang disampaikan oleh budak-budak kecil itu.
Tapi siapa sangka kalau Upin dan Ipin awalnya bukanlah menjadi karakter utama dalam film yang sejatinya hanyalah ingin menceritakan tentang anak-anak kampung, bagaimana kehidupannya, kenakalan anak-anak tersebut dan lain sebagainya.
Di balik kedua tokoh mengemaskan itu, ada seorang creative director yang sangat berperan yakni Muhammad Usamah Zaid, yang menciptakan kehidupan dan keseharian Upin dan Ipin Upin di Kampun Durian Runtuh.
"Mulanya Upin dan Ipin adalah karakter sampingan, bukan karakter utama. Waktu mau buat mini seri belum tahu karakteristiknya bagaimana. Kemudian kami memutuskan Upin dan Ipin ini tinggal dengan Opah, sehingga ada yang menjaga mereka, karena mereka yatim piatu," ujarnya di TBY, Minggu (1/8).
Sesungguhnya, Zaid ingin agar si kembar berkepala botak ini memiliki ayah dan ibu, namun karena pembuatan animasi ini hampir menyentuh deadline, maka dibuatlah Upin dan Ipin ini sebagai anak yatim.
"Jadi kami membuat hanya diperlihatkan kuburan orang tua Upin dan Ipin saja. Tapi mereka kan dijaga Opah, ada Kak Ros juga supaya mereka ada yang mengasuh. Upin dan Ipin pun bukan anak nakal, sehingga penonton pun akan merasa lebih sayang pada mereka karena tidak punya bapak," kata pria kelahiran 19 Desember 1983 ini.
Kemudian cerita Upin dan Ipin pun berkembang dengan memasukkan unsur multikultur. Beragam teman Upin dan Ipin dari macam-macam suku, seperti India atau Cina, dengan agama yang berbeda-beda membuat cerita Upin dan Ipin ini semakin kaya.
Tak disanka, masyarakat suka dengan tingkah polah si kembar tersebut. Hal itu tak lain dan tak bukan karena Upin dan Ipin mengangkat cerita keseharian yang dekat penonton. Bahkan mungkin saja, kisah yang dialamai oleh si kembar juga menjadi cerita penonton.
"Ya mungkin nasib baik juga Upin dan Ipin bisa berjaya. Apalagi setelah Upin dan Ipin ini muncul di televisi, rupanya ada pula yang mengupload di Youtube. Jadi mereka sangat membantu untuk promosi Upin dan Ipin," paparnya.
Dengan menciptakan Upin dan Ipin, Zaid mengaku bangga bahwa dengan cerita lokal dirinya mampu menghasilkan karya film animasi yang mungkin tak kalah dengan buatan barat atau Jepang.
Sementara itu untuk meraih penonton dari Indonesia, Zaid pun menciptakan karaker Susanti yang merupakan gadis kesil asal Indonesia yang harus turut orangtuanya pindah ke Malaysia.
"Kami pun memutuskan untuk memasukkan karakter Susanti yang merupakan pebulutangkis nasional Indonesia, Susi Susanti. Dan sambutan animasi Upin dan Ipin di Indonesia sangat baik. Untuk itu, karakter Susanti merupakan tribute kami pada Indonesia yang kami wakili pada sosok Susi Susanti," tuturnya.
Mengenai alunan nada lagu Rasa Sayange yang kerap terdengar di beberapa scooring dalam film, Zaid menanggapinya dengan cukup bijak. Dirinya mengaku bahwa sejak kecil, anak-anak Malaysia telah mendengar lagu tersebut. "Karena lagu tersebut sudah kami dengar sejak kecil, jadi kami juga pakai lagu itu dan lagu itu juga lagu yang dikenal orang Indonesia," tukasnya.
Memasuki bulan Ramadhan, Zaid menegaskan akan lebih mengembangkan cerita Upin dan Ipin, khususnya menambahkan kisah-kisah Islam seperti sunnah Rasul, dan lain sebagainya.
"Kalau untuk ide, meskipun awalnya sama, namun sekarang semua orang juga terlibat untuk menambahkan ide cerita agar lebih baik lagi," tandasnya.
Ternyata, untuk membuat satu episode atau sekitar tujuh mini seri Upin dan Ipin, diperlukan 40-50 orang untuk mengerjakannya dalam waktu sekitar 1,5 bulan.
Kirim Komentar