Suatu hari, seorang nenek yang sudah renta sedang mencuci baju di kali. Tiba-tiba, si nenek menemukan buah momo yang mengalir di sungai tempat ia mencuci. Buah momo tersebut akhirnya secara simbolis menandai lahirnya Momotaro sekaligus mengakhiri adegan pertama Teater Gamelan Momotaro oleh Teater Gamelan Marga Sari dari Osaka, Jepang.
Cerita Momotaro adalah sebuah cerita yang sudah sangat terkenal di Jepang. Cerita tersebut, Selasa malam ditampilkan oleh 12 seniman dari Negeri Sakura. Cerita yang kreasikan oleh Shin Nakagawa yang juga merupakan pimpinan Teater Gamelan Marga Sari tersebut malam itu mendapat sambutan yang meriah dari penonton yang memenuhi Gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta.
Teater yang telah sering dipentaskan di Jepang ini berbeda dengan teater biasa. Seluruh pemainnya memungkinkan untuk terlibat tak hanya dalam berperan, tapi juga dalam bermusik dan menari. Meski hampir keseluruhan pemain gamelan berasal dari Jepang, namun sedikitpun mereka tak terlihat kikuk dalam memainkan alat musik tradisional asli Indonesia tersebut.
Momotaro kurang lebih bercerita tentang lahirnya seorang anak kecil berkat sepasang kakek nenek miskin di sebuah desa. Dalam hidupnya, Momo adalah seorang anak yang memiliki budi pekerti yang baik, sehingga dia dapat melewati dan mengalahkan segala kekuatan jahat yang mengganggunya. Bahkan setelah itu ia menjadi kaya raya karena berhasil mengalahkan raksasa jahat, Oni dan mengambil pusaka dari Oni.
Menurut Shin Nakagawa yang dulu sempat belajar gamelan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, konon Momotaro sudah beredar di Jepang sejak abad ke-16 dengan sejumlah versi. Pada kesempatan malam tadi, Nakagawa ingin memperkenalkan legenda rakyat Jepang kepada masyarakat Indonesia khususnya Yogyakarta dengan iringan musik gamelan.
Meski dengan dialog mungkin agak sulit dimengerti oleh penonton, namun secara umum, pentas Teater Gamelan Momotaro yang berdurasi sekitar 150 menit itu berhasil menghibur masyarakat Yogyakarta. Sesekali, pemainnya juga menyisipkan bahasa Jepang yang malah membuat penonton tertawa.
Pentas ini merupakan respon seniman Jepang terhadap budaya gamelan Indonesia yang saat ini telah tersebar di banyak negara. Jika orang lain saja bisa mempertahankan dan mengembangkan budaya kita, maka tak ada alasan bagi kita untuk tidak melakukannya.
Cerita Momotaro adalah sebuah cerita yang sudah sangat terkenal di Jepang. Cerita tersebut, Selasa malam ditampilkan oleh 12 seniman dari Negeri Sakura. Cerita yang kreasikan oleh Shin Nakagawa yang juga merupakan pimpinan Teater Gamelan Marga Sari tersebut malam itu mendapat sambutan yang meriah dari penonton yang memenuhi Gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta.
Teater yang telah sering dipentaskan di Jepang ini berbeda dengan teater biasa. Seluruh pemainnya memungkinkan untuk terlibat tak hanya dalam berperan, tapi juga dalam bermusik dan menari. Meski hampir keseluruhan pemain gamelan berasal dari Jepang, namun sedikitpun mereka tak terlihat kikuk dalam memainkan alat musik tradisional asli Indonesia tersebut.
Momotaro kurang lebih bercerita tentang lahirnya seorang anak kecil berkat sepasang kakek nenek miskin di sebuah desa. Dalam hidupnya, Momo adalah seorang anak yang memiliki budi pekerti yang baik, sehingga dia dapat melewati dan mengalahkan segala kekuatan jahat yang mengganggunya. Bahkan setelah itu ia menjadi kaya raya karena berhasil mengalahkan raksasa jahat, Oni dan mengambil pusaka dari Oni.
Menurut Shin Nakagawa yang dulu sempat belajar gamelan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, konon Momotaro sudah beredar di Jepang sejak abad ke-16 dengan sejumlah versi. Pada kesempatan malam tadi, Nakagawa ingin memperkenalkan legenda rakyat Jepang kepada masyarakat Indonesia khususnya Yogyakarta dengan iringan musik gamelan.
Meski dengan dialog mungkin agak sulit dimengerti oleh penonton, namun secara umum, pentas Teater Gamelan Momotaro yang berdurasi sekitar 150 menit itu berhasil menghibur masyarakat Yogyakarta. Sesekali, pemainnya juga menyisipkan bahasa Jepang yang malah membuat penonton tertawa.
Pentas ini merupakan respon seniman Jepang terhadap budaya gamelan Indonesia yang saat ini telah tersebar di banyak negara. Jika orang lain saja bisa mempertahankan dan mengembangkan budaya kita, maka tak ada alasan bagi kita untuk tidak melakukannya.
Kirim Komentar