Seorang laki-laki tanpa baju atasan masuk ke dalam sebuah rumah sederhana dengan perabotan rumah tangga kayu yang sudah usang. Dia mengambil kaos lusuh dari dalam lemari, dipakainya bergantian dengan sepatu bot coklat yang terlihat usang pula. Disusul seorang perempuan muda yang memakai daster motif kembang-kembang, dengan mimik muka yang cemberut. Perempuan itu duduk di atas tempat tidur reot, diikuti si laki-laki.
Perempuan itu memanggil si laki-laki, perayu. Sedangkan si perayu tak punya panggilan kesayangan untuk si perempuan. Dia hanya memanggilnya dengan sebutan "Kau". Awalnya mereka memperdebatkan perihal kura-kura dan bekicot. Si perempuan tetap bersikukuh bahwa kura-kura dan bekicot sama. Si perayu jelas punya pendapat beda. Menurutnya, kura-kura dan bekicot tidaklah sama. Memang sama-sama berjalan lambat, sama-sama punya cangkang, tapi apakah kura-kura punya sungut?
Setelah bosan dengan perdebatan sepele yang berbuntut lempar-lemparan baju, si perempuan akhirnya mengeluh. Dia menyesal telah meninggalkan suami pertamanya dan lebih memilih hidup dengan si perayu. Si perempuan tak betah tinggal di rumah reot, apalagi di daerah perbatasan perang. Si perayu menyalahkan yang perempuan. Perayu berpendapat bahwa itu adalah salahnya si perempuan. "Bukannya kau sendiri yang memilih tempat tinggal disini? Kau kan yang memimpikan kehidupan indah di atas tanah ini!," begitu kata si perayu. Si perempuan cemberut, dia memukul-mukul si perayu.
DUAR!!! Suara bom meledak tepat di dekat jendela rumah mereka. Mereka tiarap menjauhi jendela. Si perempuan memerintahkan si perayu untuk melihat keluar jendela. Perang di mulai lagi. Dan mereka masih melanjutkan perdebatan kehidupan.
Tak lama dari luar terdengar suara sorak sorai dan nyanyian kemenangan. Kini, mereka berdua melongok ke luar jendela bersamaan. Ada yang menang dan ada yang kalah. Si perempuan bertanya, "Siapa yang menang?" Perayu berkata, "Ya, yang tidak kalah." Si perempuan bertanya lagi, "Siapa yang tidak kalah?" Perayu menjawab lagi dengan sedikit dongkol, "Ya, yang menang." Si perempuan masih tak puas, "Lalu kalau tidak ada yang menang dan tak ada yang kalah?" Si perayu berusaha bijak, "Itu namanya perdamaian." Setelah itu, mereka saling cubit-cubitan manja.
Inilah kisah hidup dua insan yang dipentaskan oleh Teater Garasi (1/12), terjebak dalam konflik-konflik kecil kehidupan. Mereka berdebat dengan segala argumentasi masing-masing di dalam situasi Perang Dunia II. Ada marah, canda, kecewa dan juga ketakutan yang menyelimuti diri mereka.
Menurut Andi Eswe, sutradara lakon "Kura-kura dan Bekicot" yang diambil dari naskah Eugene Ionesco ini, lakon ini hendak memberikan perenungan-perenungan bagi mereka yang melihatnya. Andi tak peduli orang-orang mengaitkan ini dengan terorisme atau perang yang sedang berkecamuk saat ini. Andi mengungkapkan bahwa ternyata di dalam situsi perang pun, manusia bisa menemukan kebahagian walaupun hanya secuil.
Perempuan itu memanggil si laki-laki, perayu. Sedangkan si perayu tak punya panggilan kesayangan untuk si perempuan. Dia hanya memanggilnya dengan sebutan "Kau". Awalnya mereka memperdebatkan perihal kura-kura dan bekicot. Si perempuan tetap bersikukuh bahwa kura-kura dan bekicot sama. Si perayu jelas punya pendapat beda. Menurutnya, kura-kura dan bekicot tidaklah sama. Memang sama-sama berjalan lambat, sama-sama punya cangkang, tapi apakah kura-kura punya sungut?
Setelah bosan dengan perdebatan sepele yang berbuntut lempar-lemparan baju, si perempuan akhirnya mengeluh. Dia menyesal telah meninggalkan suami pertamanya dan lebih memilih hidup dengan si perayu. Si perempuan tak betah tinggal di rumah reot, apalagi di daerah perbatasan perang. Si perayu menyalahkan yang perempuan. Perayu berpendapat bahwa itu adalah salahnya si perempuan. "Bukannya kau sendiri yang memilih tempat tinggal disini? Kau kan yang memimpikan kehidupan indah di atas tanah ini!," begitu kata si perayu. Si perempuan cemberut, dia memukul-mukul si perayu.
DUAR!!! Suara bom meledak tepat di dekat jendela rumah mereka. Mereka tiarap menjauhi jendela. Si perempuan memerintahkan si perayu untuk melihat keluar jendela. Perang di mulai lagi. Dan mereka masih melanjutkan perdebatan kehidupan.
Tak lama dari luar terdengar suara sorak sorai dan nyanyian kemenangan. Kini, mereka berdua melongok ke luar jendela bersamaan. Ada yang menang dan ada yang kalah. Si perempuan bertanya, "Siapa yang menang?" Perayu berkata, "Ya, yang tidak kalah." Si perempuan bertanya lagi, "Siapa yang tidak kalah?" Perayu menjawab lagi dengan sedikit dongkol, "Ya, yang menang." Si perempuan masih tak puas, "Lalu kalau tidak ada yang menang dan tak ada yang kalah?" Si perayu berusaha bijak, "Itu namanya perdamaian." Setelah itu, mereka saling cubit-cubitan manja.
Inilah kisah hidup dua insan yang dipentaskan oleh Teater Garasi (1/12), terjebak dalam konflik-konflik kecil kehidupan. Mereka berdebat dengan segala argumentasi masing-masing di dalam situasi Perang Dunia II. Ada marah, canda, kecewa dan juga ketakutan yang menyelimuti diri mereka.
Menurut Andi Eswe, sutradara lakon "Kura-kura dan Bekicot" yang diambil dari naskah Eugene Ionesco ini, lakon ini hendak memberikan perenungan-perenungan bagi mereka yang melihatnya. Andi tak peduli orang-orang mengaitkan ini dengan terorisme atau perang yang sedang berkecamuk saat ini. Andi mengungkapkan bahwa ternyata di dalam situsi perang pun, manusia bisa menemukan kebahagian walaupun hanya secuil.
Kirim Komentar